(Foto: Ilustrasi Polisi adalah Pelaku Kekerasan/Bintang)

Marhaen, Jakarta – Kriminalisasi oleh polisi terhadap massa aksi masih langgeng hingga saat ini, seperti yang terjadi saat May Day 2025. Mulai dari barista, ojol, kurir, mahasiswa, jurnalis, paralegal, hingga paramedis menjadi korban brutalitas aparat. Mereka diculik, dipukul, dicekik, ditelanjangi, diinjak, dan juga terjadi kekerasan seksual. Bahkan, jika dijumlahkan terdapat 17 macam tindakan represif yang dilakukan oleh gabungan dari Polri, TNI, dan Pemda Jakarta.

Seperti yang dialami oleh Cho Yong Gi sebagai paramedis pada saat aksi tersebut berlangsung, saat itu ia mendengar ada massa aksi yang terluka (kepalanya bocor) dan dirinya segera menuju posko paramedis untuk membantu secepatnya, tetapi yang terjadi adalah ia dihalangi, dituduh provokator, tubuhnya dipiting, hingga dipukul bertubi-tubi oleh polisi sampai kesulitan untuk bernapas (karena lehernya ditimpa dan ditendang).

Kemudian, Jorgiana selaku paralegal dari tim medis turut membantu Cho Yong Gi saat dikeroyok, tetapi aparat tak mengindahkan hal itu dan keduanya dipaksa masuk ke dalam mobil tahanan. Jorgiana menanyakan dasar penangkapan ini terhadap polisi tersebut. Akan tetapi, bukan jawaban yang didapat malahan dirinya ikut dipukuli, diteriaki makian seperti “Lonte! Perek! Telanjangin!”, hingga ia merasa ada tangan yang memegang paha, payudara, pantat, dan tali pakaian dalamnya ditarik-tarik.

Tindakan represif serupa tersebut juga dirasakan oleh Arief, Danar, Eka, Gregah, Zilan, dan warga sipil lainnya yang tersebar di berbagai titik. Namun, dalam tulisan kali ini saya akan lebih menyoroti mengenai 14 korban kriminalisasi saat aksi May Day 2025 di Jakarta yang ditangkap paksa oleh aparat kepolisian dan kemudian ditetapkan menjadi tersangka tanpa proses yang jelas.

Tidak hanya saat aksi berlangsung saja, tetapi tindakan represif tersebut juga terjadi saat proses interogasi hingga selepas penahanan. Bahkan, warga sipil yang sekadar ingin menonton The Brandals dan The Jansen juga terkena perlakuan tak manusiawi dari aparat kepolisian tersebut.

Seperti yang dirasakan oleh Arief, Eka, Zilan mereka hanya ingin menyaksikan kedua band tersebut tampil saat May Day 2025 di Jakarta. Namun, mereka bertiga ditangkap dengan kondisi badan sudah berdarah-darah seperti kepala bocor dan hidung mimisan. Bahkan, Eka dibawa ke ruang pemeriksaan tanpa kehadiran pendamping hukum dan dituduh sebagai anarko serta dipaksa untuk tidak menggunakan pengacara oleh penyidik. Hal serupa juga dialami oleh Zilan.

Mereka, 14 korban kriminalisasi saat May Day 2025 di Jakarta yang diperlakukan sangat tidak manusiawi tersebut, dengan tindakan represif yang telah saya uraikan sebagian di paragraf sebelumnya. Namun, bukannya aparat kepolisian yang terjerat pasal, tetapi justru empat orang paramedis dikenakan Pasal 216 dan 218 serta sepuluh orang lainnya dijerat Pasal 212, 216, dan 218 tanpa proses penetapan dan pembuktian yang jelas.

Selanjutnya, 14 korban kriminalisasi saat May Day 2025 di Jakarta tersebut melawan balik bersama Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) dengan membuat enam laporan di Mabes Polri, rincian laporannya adalah terdapat empat laporan pidana (satu mengenai kekerasan seksual dan ketiganya terkait pengeroyokan dan penganiayaan) serta ada dua laporan lainnya, yakni mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik) terkait adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya serta pengaduan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) mengenai terdapat pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat.

Pelaporan tersebut dilakukan pada tanggal 17 Juni 2025. Namun, pada 19 Juni 2025, laporan yang dibuat di Mabes Polri atau Bareskrim tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya yang mana itu merupakan pihak yang dilaporkan. Setelah melakukan pelaporan tersebut, mulai terjadi rentetan intimidasi.

“Dimulai pada tanggal 20 Juni, salah satu dari kami itu tempat tinggalnya dibobol dan nggak ada barang berharga yang hilang, tapi barang-barang di dalam kamarnya itu berantakan, jadi emang ada orang masuk kayak mencari sesuatu, habis itu ditinggalkan dalam bentuk berantakan. Itu insiden pertama, setelah itu mulai ada serangan digital itu beberapa di antara kami itu menerima spam call, jadi dihajar telepon dengan nomor yang banyak itu terjadi beberapa hari. Setelah itu terjadi lagi, serangan digital yang bertujuan untuk mengambil alih akun WhatsApp, itu terjadi setiap hari di jam 1 pagi,” ujar Teguh Aprianto sebagai salah satu korban kriminalisasi. Disampaikan dalam Siaran Pers berjudul “Kongkalikong Polisi” diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Selasa (05/08/2025). 

Serta, puncaknya terjadi pada tanggal 30 Juli 2025, salah satu dari 14 korban kriminalisasi May Day 2025 di Jakarta tersebut diculik dan disekap. Korban ditabrak saat sedang mengendarai sepeda motor di sekitar Universitas Indonesia pada waktu subuh, setelah ditabrak langsung dimasukkan ke dalam mobil dan disiksa sambil diinterogasi. Setiap mendapatkan jawaban yang tidak diharapkan oleh pelaku, pipi korban disundut dengan rokok berkali-kali. Korban dipaksa untuk mengidentifikasi puluhan foto yang berkaitan dengan massa aksi dan tindakan keji tersebut berlangsung selama kurang lebih 40 menit. Korban mendengar percakapan dari salah satu pelaku sedang menerima telepon dari atasannya, terdengar penggunaan kata ‘ndan’ yang sering digunakan oleh aparat penegak hukum. 

“Jadi mungkin tambahan detail, total pelaku itu berjumlah lima orang menggunakan sebuah mobil sienta hitam. Badannya tegap, besar, dan semuanya menggunakan topeng tutup kepala (balaclava). Jadi, emang menyerupai penculik,” tambahnya. 




Penulis: Bintang Prakasa

Editor: Reysa Aura P.