Nasir, Mahasiswa UBK



Judul Buku : Jejak Intel Jepang,  Kisah  Pembelotan Tomegoro Yoshizumi
Penulis             : Wenri Wanhar
KMN                 : 20205140030
Editor                : Hendri F. Isnaeni
Desain Sampul : Agus Istianto
Penerbit            : Buku Kompas (PT Kompas Media Nusantara)
Halaman           :  208
Harga                : Rp 59.000 

Banyak diantara kita yang mungkin belum mengetahui tentang sejarah seorang petinggi intelijen Jepang, Tomegoro Yoshizumi, berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia, tentunya hal ini sangat misterius, sebab Jepang adalah salah satu Negara yang juga menjajah Indonesia nan dikenal dengan sistem romusha, namun salah satu petinggi dari Negara penjajah itu berbalik arah untuk membela Negara jajahannya.
 

Buku yang ditulis oleh alumni Universitas Bung Karno, Wenri Wanhar ini, memberikan pengetahuan baru kepada seluruh masyarakat khususnya mahasiswa tentang sejarah Indonesia, dan  orang penting yang terlibat dalam sejarah itu.
 

Meski desain buku tidak tertata rapi, namun buku ini tak kehilangan makna dan informasi, sebab teknik penulisannya pun dikemas dalam bentuk feature serta didukung oleh Data-data objektif, sehingga kala membaca buku ini, pembaca pun merasa terlibat langsung dalam pergolakan perjuangan dan politik saat itu.
 

Pemimpin redaksi majalah Hsitoria, Bonnie Triyana, dalam endosmennya di buku ini, mengatakan  di antara cerita kekejian Jepang di Indonesia selama 3,5 tahun, terselip Kisah-kisah tentara Jepang yang justru banting setir, membela bangsa yang didudukinya, Wenri Wanhar menyalakan pelita kecil dalam terowongan sejarah masa itu yang sampai kini masih remang-remang.

Selain itu, Guru Besar Ilmu Sejarah & Dekan Fakultas Ilmu Budaya  Universitas Andalas, Padang, Prof. Dr. Gusti Asnan, pun ikut mengapresiasi buku ini.  "Karya Wenri Wanhar ini memiliki arti yang besar dalam historiografi Jepang di Indonesia,” kata dia. “Kontribusi lain dari karya Wenri ini adalah kemampuannya menyajikan cara kerja “sang mata-mata” yang serba misterius dengan kelompok-kelompok revolusioner Indonesia yang selama ini juga nyaris tidak mendapat tempat dalam penulisan sejarah nasional.”
 

Konon pada 22 Agustus 1945, seminggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka merupakan salah satu buronan politik yang dicari oleh intelijen Jepang, kala itu membai’at Kepala Inteleijen  Kaigun Bukanfu (Dinas Perhubungan Angkatan Laut Jepang), Tomegoro Yoshizumi, menjadi warga Negara Indonesia, Tan Malaka pula memberi nama Arif.

Pembai’atan digelar di rumah Ahmad Soebardjo, Jalan Cikini Raya 82, Jakarta. Peristiwa itu pun  disaksikan oleh sejumlah tokoh penting, seperti perumus naskah proklamasi, Soebardjo, dan juga tokoh penting asal Jepang, yaitu Shigetada Nishijima, tangan kanan Laksamana Maeda.

Sejak menjadi Indonesia, Bung Arif langsung memainkan peran, Mula-mula dia menyelundupkan Barang-barang berharga dari kantor Kaigun Bukanfu,  kemudian dijualnya di Kota. Uang hasil penjualan diberikan pada Tan Malaka sebagi dana revolusi.

Selain itu, Bung Arif  mendampingi Tan Malaka ke Bayah, Banten, untuk  menjemput naskah Matrealisme Dialektika dan Logika (Madilog) yang legendaris kala ini. Ia pun membangun Laskar gerilya, Setelah terbentuk, melalui perantara Jawara Banten, Entol Chaerudin, laskar tersebut digabungkan dengan Persatuan Perjuangan (PP) yang di pimpinan oleh Tan Malaka.

“Wenri Wanhar membuka bagi kita beberapa misteri,” kata Harry A Poeze, KITLV Leiden, Belanda. Poeze tidak berlebihan. dalam bukunya Wenri mengisahkan, di penghujung 1945, mantan kepala intel Jepang itu mengorganisir buruh galangan kapal PT PAL, Surabaya. Berbekal Perkakas-perkakas dan Teknisi-teknisi di PT PAL, dia mendirikan beberapa pabrik dan bengkel senjata.

Pabrik-pabrik itu memproduksi berbagai jenis senjata untuk didistribusikan kepada Pejuang-pejuang di garis depan. Inilah pabrik senjata pertama milik angkatan perang Indonesia. Yang berdiri Awal 1946. kala meninjau pabrik dan bengkel senjata itu, Bung Karno pun terkagum-kagum.

Namun, pada April 1946 meletus pertempuran laut di Selat Bali, pertempuran laut  pertama yang dilakoni angkatan perang Indonesia. Dan ini pula satu-satunya pertempuran laut yang dimenangkan angkatan perang Indonesia, setidaknya hingga hari ini. Otak pertempuran tersebut adalah Bung Arif.

Selebihnya, pada Agustus 1948 Bung Arif yang lahir pada 1991 di Oizumi Mura Nishitagawa, prefektur  Yamagata, Jepang, pun membentuk satuan tempur Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) yang beranggotakan bekas serdadu Jepang, sewaktu gerilya sertra memimpin PGI, Bung Arif pun gugur di Blitar, Jawa Timur. Pusaranya di Taman Makam Pahlawan, Blitar. Tak jauh dari makam Bung Karno.

Agaknya, Bung Karno cukup terkesan dengan sosok Yoshizumi alias Bung Arif. Pada 15 Februari 1958, Bung Karno menulis syair berbunyi:

Kepada sdr Ichiki Tatsuo
dan sdr Yoshizumi Tomegoro
Kemerdekaan bukanlah milik
suatu bangsa sadja, tetapi
milik semua manusia


Oleh pemerintah Jepang, syair ini diukir pada sebuah monumen di kuil Budha Seisho yang berlokasi di sekitar Tokyo Tower, simbol Negara matahari terbit. Orang Jepang pun menyebutnya Soekarno Hi.