Redaksi

Sumber Gambar: Google

Marhaen, Jakarta - Dewasa ini, mahasiswa selalu diidentikan dengan Agen of change and social of control. Yang selalu kritis terhadap regulasi pemerintah pusat maupun daerah. Sudah bukan rahasia dan bukan pula hal yang asing lagi bagi kita, khususunya mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), untuk menyikapi berbagai kejanggalan regulasi pemerintah. tak sedikit diantara kita menyikapinya dengan aksi massa. yang sudah barang tentu metode ini harus memobilisasi massa atau mahasiswa. Dan tak sedikit diantara kita yang ikut menggelar aksi tersebut. 

Contoh kasus, ketika mahasiswa menyikapi konflik politik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). Begitu banyak mahasiswa yang merespon kisruh politik ini dengan mendukung salah satu kubu. Memang tak salah mahasiswa menyikapi berbagai situasi nasional, daerah maupun internasional. Entah politik sosial, budaya, ekonomi, bahkan agama.

Sayangnya, respon mahasiswa tersebut selalu dengan aksi massa, yang belum tentu melahirkan solusi positif. Kenapa demikian? Mari kita berpikir dengan akal sehat, rasional dengan tidak mengedepankan ego dan emosi. Aksi massa kerap dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi. Jika ingin menyampaikan aspirasi kepada presiden, kenapa kita harus menyampaikannya di jalanan? Bukankah presiden mempunyai kantor? Kenapa kita tidak mengunjunginya di kantor dan menyampaikan aspirasi tersebut?

Metode itu mungkin paling efektif untuk menyampaikan aspirasi. ketimbang dengan membuang waktu dan tenaga dijalanan yang belum tentu sang Presiden meresponnya.

Mari kita berilustrasi sejenak, dengan memposisikan diri kita sebagai presiden atau petinggi. Lantas, ada yang mengkritik dengan cara aksi massa dijalanan. Apakah kita merespon kritik tersebut? Mungkin tidak, sebab mungkin tudingan dalam orasi-orasi koordinator lapangan serta komponen aksi lainnya tidak objektif. sehingga kita sakit hati dengan tudingan itu, kemudian mengarahkan Polisi bahkan TNI untuk menghadapi aksi massa tersebut.

Aksi Massa Bayaran

Hal ini bukanlah hal yang asing lagi bagi kita. Masyarakat pun demikian, mereka juga sudah mengenal aksi massa atau massa bayaran. Dan tak sedikit pula mahasiswa yang menjadi pelopor dari aksi tersebut. Apakaha ini yang namanya indenpenden? Bukankah mahsiswa harus independen dari kepentinga politik?. Memang mahasiswa harus kritis, tapi mahasiswa tidak dibenarkan jika menjual gagasannya, dengan mendukung kepentingan kubu tertentu.

Pada 1 Desember 1977, salah satu sastrawan Universitas Indonesia (UI) WS Rendra pernah mengkritik melalui sajak, mahasiswa yang menggadaikan ide dan gagasan terhadap kepentingan politik tertentu. Dalam sajaknya ia mengakatakan

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik, tidak selalu berguna.? Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. Orang berkata Kami punya maksud baik. Dan kita bertanya : Maksud baik saudara untuk siapa ?.”

Dalam bait lainnya Ia mengekaskan “Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya : Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah akan menjadi alat penindasan ? kita menuntut jawaban. Di bawah matahari yang ini kita ber tanya : Ada yang menangis, ada yang men dera. Ada yang habis, ada yang mengikis. Dan maksud baik kitamemihak yang mana?"

Sajak tersebut memang dipersembahkan untuk mahasiswa kala itu. Namun, sajak ini masih sangat relefan saat ini. Karena aksi massa seoalah-olah dijadikan sebagai lapangan pencaharian oleh berbagai kalangan aktivis mahasiswa. Memang kita tidak memungkiri bahwa mahasiswa butuh uang dan melanggengkan perjuangan pun butuh logistik. Tapi apakah hanya dengan cara menggadai atau menjual gagasan terhadap kepentingan politik tertentu kita bisa mendapatkan uang?

Sangat ironis, kita kerap mengganggap presiden sebagai boneka negara tertentu. Namun, kita sendiri juga sebenarnya adalah boneka. Bonekanya para stake holder.