Ihza Pandu Prasetyo - MarhaenPress 



Soekarno dalam Pidato Upacara 17 Agustus 1964 menyatakan:
“… Revolusi kita bukan sekedar mengusir pemerintahan Belanda dari Indonesia.Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju 3 kerangka yang sudah terkenal:
·         Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme,
·         Revolusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru,
·         Tanpa exploitation d’l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation…”[1]

Atas dasar Revolusi Indonesia yang melahirkan segala sesuatunya seperti Pancasila dan UUD 1945 maka Soekarno menyatakan; sebelumnya Bangsa Indonesia sempat “keblinger”.Maksudnya adalah, bangsa Indonesia sebelumnya mau menerima RIS (Republik Indonesia Serikat) dan KMB (Konferensi Meja Bundar). Kedua kondisi tersebut yang mendorong perpecahan di Indonesia seperti lahirnya PRRI/Permesta dan DI/TII juga pergerakan kalangan bawah yang tidak menerima kondisi-kondisi kerja yang masih sama seperti zaman kolonial. Sebenarnya “keblinger” tersebut adalah “keblingernya” para pemimpin Indonesia bukan bangsa Indonesia, termasuk Soekarno sendiri.[2]

Soekarno mulai berubah menjadi radikal revolusioner semenjak 1960-an. Soekarno akhirnya menyadari kekeliruannya pada masa lalu yang menentang kebijakan-kebijakan Tan Malaka.Soedirman sendiri yang tidak menuruti perintah Soekarno akhirnya terbukti menyelamatkan kemerdekaan Indonesia. Keputusan Soedirman yang tidak mau menyerah dan bergerilya sesuai keputusan Tan Malaka itu, akhirnya berhasil membuktikan eksistensi Indonesia yang memudahkan aksi-aksi diplomasi, karena berhasil membuktikan perjuangan kemerdekaan Indonesia belum berakhir dan Republik masih ada.

Pengalaman-pengalaman Soekarno yang ragu terhadap kemampuan bangsa Indonesia serta mudah percaya pada janji-janji asing (Belanda-Jepang-Amerika-Inggris) membuat dia akhirnya harus bermusuhan dengan kawan-kawannya sendiri dan beberapa terpaksa dieksekusi.Pengalaman-pengalaman ini membentuk jiwa radikalisasi Soekarno, yaitu Soekarno telah hilang kepercayaan kepada Barat.Kehilangan kepercayaan pada Barat ini yang membuat dirinya menjalin suatu persekutuan baru dengan Aidit.Hasil persekutuan itu membuat Soekarno mulai melirik Perjuangan Kelas tetapi perjalanannya juga terseok-seok karena keraguan dan illusi tentang Persatuan.

Hal terpenting dalam Perjuangan Kelas bukanlah memusuhi si manusia-manusia yang berada dalam kelas penghisap tetapi memusuhi perbuatan-perbuatan dan sistem penghisapan itu. Soekarno selama ini dihinggapi illusi bahwa Pejuangan Kelas akan memecah Indonesia, dia terombang-ambing dalam keraguan selama hidupnya. Dia berpikir Perjuangan Kelas adalah dengan pembunuhan satu populasi kepada populasi lain yang artinya perang saudara.
Apa yang dipikirkan Soekarno ini memang bukan tanpa dasar tetapi itu bukanlah karena faktor si kelas proletariat, tetapi faktor kelas penghisap yang melawan dengan membunuh. Jika kelas penghisap menerima keadaan maka perang saudara itu tidak terjadi. Jika kita mempelajari Revolusi Bolshevik, perang saudara terjadi justru karena adaanya dorongan dari faktor luar, yaitu Pemerintah-Pemerintah Eropa Barat dan AS yang ketakutan akan penyebaran pengaruh revolusi tersebut. Faktor luar ini mendorong faktor dalam, terutama golongan-golongan penghisap Rusia yang umumnya masih belum menerima kebenaran-kebenaran sosialisme. Kita harus membedakan 3 (tiga) tipikal golongan penghisap:
1. Golongan penghisap yang memahami bahwa sosialisme itu salah, menolak perubahan sistem karena dia memahami sosialisme tidak sesuai dengan nilai kebenaran yang dia anut. Menghabisi dirinya jika membiarkan kelas proletariat menang yaitu bukan hanya mengganti sistem tetapi mengeksekusi mati dirinya sebagai hukuman.
2. Golongan penghisap yang memahami bahwa sosialisme itu benar, tetapi menolak perubahan sistem karena dia terpaksa harus melawan sebab sosialisme dalam pandangannya akan mengeksekusi mati dirinya atau menempatkannya ke dalam Gulag sebagai hukuman.
3. Golongan penghisap yang memahami bahwa sosialisme itu benar, tetapi menolak perubahan sistem karena dia memang egois dan ingin selalu memperoleh keistimewaan-keistimewaan dalam sistem.
Memahami Perjuangan Kelas yang benar itu memang tidak mudah, kita menemukan dalam sejarah kekeliruan parah tentang Perjuangan Kelas seperti Pol Pot (Kamboja).Pol Pot adalah suatu contoh dimana kekeliruan terbesar tentang memahami Perjuangan Kelas atau mengatasnamakan Perjuangan Kelas. Pol Pot seperti seorang Ustadz yang melakukan sesuatu dari Al-Quran setelah membaca Al-Quran seperti apa adanya yang tertulis. Bahkan Vietnam sendiri yang waktu itu sebenarnya keliru dalam memahami Perjuangan Kelas (birokratisme) sadar bahwa Pol Pot keliru.Oleh kerena itu Vietnam mengakhiri rezim Pol Pot dengan operasi militer.
Segala hal tentang Pol Pot akhirnya pun diwarnai misteri, karena ternyata dia juga memiliki kerja sama dengan AS dan juga dengan RRC. Misteri itu adalah; Apa maunya Pol Pot sebenarnya? Memajukan Marxisme keseluruh dunia atau mengakhirinya? Sebab apa yang dia lakukan selalu menjadi amunisi propaganda AS-Inggris ke seluruh dunia tentang sosialisme itu, disamping itu RRC pun mendanai Pol Pot karena tahu jika RRC tidak mau maka AS yang mau. Jika ada tentara bayaran dan preman bayaran maka disini ada juga rezim bayaran.
Pada masa Perjuangan Kelas, golongan penghisap melakukan perlawanan karena dia harus melakukan itu, karena itu muara dari konsep bertahan hidupnya.Golongan penghisap memandang itu sebagai suatu kebenaran dan keharusan.Solusinya sesuai pengembangan Teori Gramsci, Perjuangan Kelas adalah perjuangan ekonomi yang harus diiringi mekanisme manipulasi pikiran terhadap semua golongan.Aidit sebenarnya sudah mengerti pemahaman ini oleh karena itu dia memperlihatkan dalam rekomendasi laporannya bahwa PKI harus “mengantisipasi agar para tani miskin yang menjadi tani sedang atau tani kaya yang terbantu oleh PKI tidak berubah menjadi kelas penghisap”. Artinya setiap manusia yang berada dalam sistem tata kelola ekonomi penghisapan, saat berada diatas akan melakukan penghisapan karena itu adalah cara bekerjanya sistem.
Dari hasil riset Aidit dapat diketahui sudah sangat parahnya penderitaan kaum tani pada tahun-tahun itu semenjak kemerdekaan Indonesia.Indonesia itu merdeka tetapi kebanyakan kaum tani masih terjajah. Aidit pun memahami akhirnya bahwa Politik Indonesia cenderung ke kiri (Soekarno-Aidit) tetapi Ekonomi Indonesia cenderung ke kanan. Pemahaman Aidit ini secara nyata beliau buka karena beliau pun mendapatkan pemahaman ini karena para kader, serikat-serikat buruh dan tani yang membuka pemahaman Aidit ini. Dibawah ini mari kita kutip beberapa laporan Aidit tersebut.
Dapat juga diketahui taraf hidup berbagai kelas dan golongan di desa. Suatu gambaran tentang taraf hidup Rakyat di desa dapat dilihat dari anggaran belanja buruh tani, tani miskin, dan tani kaya di Desa Tegalsari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut .Taraf hidup kaum buruh tani dan tani miskin Jawa Barat adalah sangat rendah dan terus merosot.Perumahan, perabot rumah, dan pakaiannya serba kurang dan buruk. Buruh tani dan tani miskin sering tidak mempunyai pakaian untuk ganti, sehingga dengan menyindir pakaian woleta dari orang-orang berpunya di desa, mereka mengatakan bahwa yang dipakainya adalah “jolèta”, yaitu“jol deui èta deui” (tiap-tiap kali tampil, pakaiannya itu-itu juga), atau juga dikatakan pakaian mereka sama seperti “pakaian wayang”, artinya siang dan malam itu, di rumah dan bepergian itu, pendeknya tidak pernah berganti.[3]

Makanan mereka juga sangat kurang, jika bukan musim panen jarang makan nasi dan jika makan nasi hanya satu kali sehari.Apalagi pada musim paceklik atau untuk nelayan pada musim Barat (angin kencang).Menurut istilah nelayan “cul dayung, adol sarung”, artinya sudah tidak ada pekerjaan, harus menjual pakaian.Tani sedang juga makin sulit penghidupannya, walaupun mereka umumnya memiliki tanah dan alat-alat produksi yang dapat mencukupi kebutuhan makanan mereka yang pokok. Selama riset dijumpai tani sedang, walaupun masih memiliki persediaan makanan, namun hanya makan sekali sehari untuk menjaga jangan sampai barang miliknya yang masih ada harus dijual atau digadaikan jika persediaan makan telah habis sebelum panen.[4]

Sebaliknya, tuan tanah dan tani kaya tetap hidup mewah di segala musim. Golongan-golongan inilah yang tahun-tahun belakangan ini membikin banyak gedung-gedung baru di desa-desa dengan perabot-perabot rumah yang mewah dan dengan membawa barang-barang mewah seperti transistor, pick-up, dan piringan-piringan hitam ala “ngak-ngik-ngok” sehingga “kebudayaan” imperialis mulai bikin berisik di desa-desa. Perbandingan antara taraf hidup buruh tani dan tani miskin di satu pihak dengan tuan tanah dan tani kaya di pihak lain, mempertajam kontradiksi-kontradiksi antara kelas-kelas yang menghisap dengan kelas-kelas yang dihisap di desa-desa.[5]

Demikian pula guru-guru sekolah sebagai penerima gaji tetap, karena harga-harga barang-barang pokok terus membubung.Gaji seorang guru ada kalanya lebih rendah daripada upah seorang buruh cangkul, sedangkan guru memerlukan standar hidup yang lebih tinggi. Kemelaratan dan kemerosotan taraf hidup yang dialami oleh mayoritas penduduk desa, yaitu buruh tani, tani miskin, dan juga tani sedang, serta tukang-tukang kerajinan tangan, kaum intelektual, dan seniman desa, dan lain-lain dengan jelas membuktikan bahwa selama sisa-sisa feodalisme di desa belum dikikis habis, tidak mungkin terdapat pasaran nasional yang kuat dan stabil sebagai syarat mutlak untuk memperkembangkan industri nasional yang modern. Oleh karena itulah, betapa omong kosongnya mereka yang berbicara tentang mengindustrialisasi dan memodernisasi negeri, tetapi bungkam seribu bahasa tentang pengikisan sisa-sisa feodalisme.[6]

Kemerosotan taraf hidup kelas-kelas yang merupakan tenaga produktif pokok di desa mengakibatkan kemerosotan daya produksi pertanian.Di samping kekurangan makanan yang menurunkan daya kerja buruh tani dan tani miskin, kemampuan tani miskin dan tani sedang untuk mengongkosi produksi terus merosot. Hal ini langsung membahayakan proses produksi pertanian itu sendiri. Kaum tani terpaksa mencari pekerjaan sambilan, dan dalam musim paceklik, kerja sambilan malahan menjadi kerja pokok. Urbanisasi, yaitu mengalirnya penduduk desa ke kota-kota, menjadi masalah besar karena mereka belum tentu mendapat lapangan kerja di kota, sehingga menambah jumlah penduduk yang terlepas dari kerja produktif.[7]

Hasil-hasil riset membuktikan bahwa kemerosotan taraf hidup merupakan akibat daripada struktur ekonomi Indonesia yang kolonial dan setengah feodal, dan proses kemerosotan itu semakin dipercepat dengan adanya inflasi hebat yang dialami akhir-akhir ini, terutama setelah teror ekonomi 26 Mei 1963 (konflik rasialis Cina di Bandung). Berbeda dengan pandangan cetek dan reaksioner yang disebar-sebarkan oleh sarjana-sarjana ekonomi borjuis yang jahat, seperti Profesor Sadli, yang menganggap bahwa kaum tani tidak dirugikan oleh inflasi, karena mereka tidak termasuk golongan yang berpendapatan tetap, kenyataannya ialah bahwa justru kaum tani, khususnya kaum buruh tani dan tani miskin yang merupakan mayoritas dari penduduk desa, langsung menjadi korban dari peningkatan harga-harga, karena mereka harus membeli sebagian besar dari kebutuhan-kebutuhan pokok mereka di pasar.[8]

Ketidakmampuan kaum tani dan nelayan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka memaksa mereka untuk semakin sering meminjam uang atau mengijonkan hasil-hasil produksi mereka.Hutang dan ijon yang dalam keadaan tidak ada inflasi sudah merupakan penghisapan yang berat, lebih-lebih bersifat memeras dalam keadaan inflasi di mana pinjaman atau ijon diberikan misalnya dalam bentuk uang dan harus dibayar kembali dengan bunga yang tinggi atau dalam bentuk natura sewaktu harga-harga pasar jauh lebih tinggi.
Inflasi serta kemerosotan taraf hidup kaum tani mengakibatkan bahwa sistem ijon semakin merajalela dan tengkulak-tengkulak jahat semakin keras mencekik leher kaum produsen melalui cara-cara perdagangan yang bersifat monopoli. Keadaan-keadaan tersebut memaksa kaum tani miskin dan juga sebagian tani sedang untuk menggadaikan tanahnya yang biasanya menyebabkan tanah itu praktis menjadi milik tani kaya atau tuan tanah. Dengan demikian, inflasi dan kemerosotan taraf hidup memperkuat pemusatan pemilikan tanah di tangan tuan tanah dan tani kaya. Malah banyak tani kaya yang dalam proses ini berkembang menjadi tuan tanah. Berhubung dengan faktor-faktor tersebut di atas, dan dalam keadaan inflasi serta macetnya pelaksanaan UUPBH (Undang-Undang Pendapatan Bagi Hasil) dan UUPA(Undang-Undang Pokok Agraria), maka dapat disimpulkan bahwa penghisapan sisa-sisa feodalisme di desa bukannya berkurang, tapi bahkan lebih hebat dan lebih hebat lagi.[9]

Catatan Kaki

[1] Pidato Soekarno pada upacara Kemerdekaan Indonesia di Tahun 1964.
[2] Ibid
[3] D.N Aidit, Laporan Singkat Tentang Hasil Riset Mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Kaum Tani di Jawa Barat, 1964, Lampiran II, hal.93.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid