(Sumber Foto: Chairil
Anwar, pelopor angkatan 45/Wikimedia Commons)
Chairil Anwar dilahirkan
tanggal 12 Juli 1922 di Medan (Deli), Sumatera Barat. Umur 26 tahun 9 bulan dan
dijuluki “Si Binatang Jalang” (dari karyanya yang berjudul Aku)
Meninggal pada 28 April 1949 di Jakarta.
Untuk pertama kali menulis
sajak-sajak sesudah jepang mendrat dalam tahun 1942. Chairil lahir dan
dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya
pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah
mempublikasikan puisi pertamanya
pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai
dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak
jarang multi-interpretasi. Dia adalah pelopor angkatan 45. Pengaruhnya baru
meluas sesudah Revolusi dan Zaman Merdeka. Revolusioner dalam bentuk dan isi
sajak, membawa aliran Expressionisme, terpengaruh oleh Slauerhoff, Marsaman,
Ter Braak, Du Perron. Ia pernah menjadi Redaktur Majalah “Gema Suasana”, bulan
februari 1948 bersama dengan Ida Nasution. Lalu memimpin Majalah “Gelanggang”,
lampiran kebudayaan wartasepekan, dan di majalah “Siasat”.
Kumpulan sajak-sajaknya: Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang
Terhempas dan Yang Putus, Tiga Menguak Takdir (kumpulan bersama Rivai Apin,
Asrul Sani, Chairil Anwar)
Terjemahan-terjemahannya:
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (Le Retour de I’Enfant Prodigue), penulis asli
Andre Gide, terbitan Pustaka Rakyat 1948. Kena Gempur (Raid) penulis asli Jhon
Steinbech. Terbitan Balai Pustaka 1951.
Kehidupan
Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera
Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes
dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai Bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya
pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya
selalu memanjakannya. Namun,
Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun:
sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam
pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), Sekolah dasar untuk
orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.Ia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Ondwewijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15
tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada usia 19 tahun, setelah
perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang
Jakarta) di mana ia berkenalan dengan dunia sastra: walau telah bercerai,
ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Perancis dan
Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang
internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald
Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis
tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan
kesusasteraan Indonesia.
Kiprah
Kepenyairan
Nama Chairil mulai terkenal dalam
dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada
tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi
yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan
puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak
yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan
semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Ketika menjadi penyiar
radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir
hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di
Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Kemudian ia
memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka
dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir
tahun 1948.
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya.
Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil
meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949 penyebab kematiannya
tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC.
Ia dimakamkan
sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil
dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia
dirawat Karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita
penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga
timbul lah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah.
Tapi, menjelang akhir hayatnya ia me nggigau karena tinggi panas badannya, dan
di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku..."
Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan
keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda
dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan
pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati
sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal
Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan
mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang
Terampas Dan Jang Putus".
Selama hidupnya, Chairil telah
menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan
hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai
Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling
terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya
baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga
buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama
berjudulderu Campur Debu (1949),
kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang
Terhempas dan Yang Putus (1949), danTiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan
Rivai Apin).
Karya
Tulis Chairil Anwar yang Diterbitkan
1. Deru Campur Debu (1949)
2. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (1949)
3. Tiga Menguak Takdir (1950)
(dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
4. “Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi
sajak 1942-1949”. Disunting oleh Pamusuk Eneste, kata .penutup oleh Sapardi
Djiko Damono (1986)
5. Derai-derai Cemara (1998)
6. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre
Gide
7. Kena Gempur (1951), terjemahan Karya Jhon
Steinbeck
Karya
Chairil Anwar di Terjemahan ke Bahasa Asing
Karya-karya Chairil juga banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain Bahasa Inggris, Jerman, Bahasa
Rusia, dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
· "Sharp gravel, Indonesian
poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
· "Cuatro poemas indonesios [por]
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
· Chairil Anwar: Selected Poems oleh
Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
· "Only Dust: Three Modern
Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua
Pocket Poets, 1969)
· The Complete Poetry and Prose of
Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State
University of New York Press, 1970)
· The Complete Poems of Chairil Anwar,
disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin
(Singapore: University Education Press, 1974)
· Feuer und Asche: sämtliche Gedichte,
Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
· The Voice of the Night: Complete
Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio
University, Center for International Studies, 1993)
· Dalam Kumpulan "Poeti
Indonezii" (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan oleh S. Semovolos.
Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960, № 2, hlm. 39-42.
· Dalam Kumpulan "Golosa Tryoh
Tisyach Ostrovov" (Suara Tiga Ribu Pulau). Terjemahan oleh Sergei
Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.
· Dalam kumpulan "Pokoryat
Vishinu" (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair Malaysia dan Indonesia
dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.
Karya-karya
Tentang penyair Chairil Anwar
· Chairil Anwar: memperingati hari 28
April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan,
Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953).
· Boen S. Oemarjati, "Chairil
Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
· Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit
pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin,
1974)
· S.U.S. Nababan, "A Linguistic
Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
· Arief Budiman, "Chairil Anwar:
Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
· Robin Anne Ross, Some Prominent
Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
· H.B. Jassin, "Chairil Anwar,
pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta:
Gunung Agung, 1983)
· Husain Junus, "Gaya bahasa
Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
· Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa
puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
· Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan
perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
· Pamusuk Eneste, "Mengenal
Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
· Zaenal Hakim, "Edisi kritis
puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
· Drama Pengadilan
Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Iqho, di
Gedung Kesenian Kota Tegal (2016)
Dalam sebuah sajaknya,
Chairil Anwar menyebut dirinya “Aku ini
binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”. Lalu Chairil juga menulis
optimistis: “Aku mau hidup seribu tahun
lagi!”. Namun, pada tahun terakhir menjelang kematiannya, dia sadar, hidup
yang diinginkannya serba mustahil: “Hidup
hanya menunda kekalahan… sebelum pada ahirnya kita menyerah.”
Enam puluh delapan tahun sudah Chairil meninggalkan kita. Ia meninggal pada 1949 di usia relatif muda:
26 tahun 9 bulan. Ia menderita penuh paradoks, tapi dari kemiskinan penyair
kurus berwajah tirus dengan mata merah ini lahir sajak-sajak yang memperkaya
bahasa Indonesia. Tahun-tahun ketika Charil Anwar menciptakan sajak-sajaknya,
bahasa Indonesia adalah bangunan yang belum lengkap. Bahasa Indonesia banyak
mengalami pergantian ejaan serta berusaha melepaskan diri dari bahasa daerah
yang mengepung dan menjadi bahasa utama hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Bahkan peran sastra pun pada masa-masa itu kerap diragukan, disepelekan. Namun
Chairil dengan gagah ada di lapangan yang masih berbahasa minoritas itu. Hal
yang menakjubkan dalam puisinya adalah puisi itu mematangkan bahasa Indonesia
yang belum matang dan belum cukup digerakan itu.Chairil menjadi sebuah ikon.
Riwayat hidup dan puisi-puisinya memperkaya kita semua, ia adalah perwujudan
sepenuhnya dari pepatah Ars longa, vita
brevis. Hidup itu singkat, Seni itu abadi.
|
0 Comments