oleh Hari Hadi
(foto: kompasiana)


Penangkapan lima belas Aktivis Pers Mahasiswa dan pemukulan terhadap tiga warga di Palihan, yang melakukan aksi Solidaritas Anti Penggusuran Paksa Lahan Kulon Progo Yogyakarta pada Selasa pagi (5/11). Ini adalah salah satu bentuk kebrutalan dan kesewenangan - wenangan pihak keamanan Polisi Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam tugasnya mengamankan keamanan masyarakat. Peristiwa ini adalah salah satu bentuk pelanggaran hukum Hak Asasi Manusia (HAM) serta bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian, diantaranya Pasal 100 Undang –undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penangulangan huru-hara. Aparat polisi juga sudah bertindak arogan kepada Pers Mahasiswa yang bertentangan dengan Undang-Undang Pers yang dengan tegas melindungi kebebasan wartawan memperoleh, mendokumentasikan dan menyebarkan berita.

Sejak 25 Januari 2011 polemik penolakan terhadap pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Angkasa Pura 1 (AP 1) bersepakat dalam kerja sama dengan Invenstor Asing yang berasal dari India, GK Power & Infrastruktur, untuk pembangunan Mega Proyek Bandar Udara Internasional di Pesisir Kulon Progo, DIY.

Warga yang tergabung dalam Organisasi Warga Wahana Tri Tunggal (WTT) yang melawan upaya pematokan lahan sepihak oleh PT. AP 1. massif dilakukan warga yang menolak penggusurani. Penolakan demi penolakan yang berakhir bentrok dengan 1000 lebih aparat gabungan militer, polisi dan satpol pp, hasilnya 4 orang petani di kriminalisasi pada 23 September 2014 dan divonis 4 bulan masa tahanan dari 8 bulan tuntutan hukum. Represi aparat sepanjang perjuangan warga tetapi tidak membuat warga surut semangatnya untuk mempertahankan tanahnya walau di intimindasi dan ancaman sampai hari ini.

Lahirnya Undang-undang Keistimewahan Yogyakarta No. 13 tahun 2012 memberi jalan Kesultanan dan Kadipaten untuk memberlakuakan kembali Hukum Kolonial tersebut. Puncaknya. dengan disahkanya Perda Istimewa Pemanfaatan dan Pengelolaan Tanah Sultan dan Pakualaman, Desember tahun lalu. Pakualaman mengklaim kepemilikan tanah warga seluas 170 hektar dan mendapat ganti rugi paling besar, 727 miliyar rupiah dari PT AP 1 dan pembangunan di atas lahan warga Kulon Progo yang luasnya 637 hektar dipergunakan untuk merealisasikan ambisi Pemerintah Indonesia untuk membangun “Airport City” atau Kota Bandara di Kulon Progo, akibatnya dari pembangunan bandara ini adalah terusirnya warga lokal untuk kepentingan poperti dan industri pemodal-pemodal besar yang sangat di dukung oleh Pemerintahan DIY.

Ini menunjukan bahwa pembangunan yang sudah tidak pro-rakyat, sifat pembangunan yang tidak berpihak kepada kaum Marhaen. Alih-alih atas nama pembangunan tetapi dengan cara mengorbankan kehidupan kaum  Marhaen, masyarakat yang tidak memiliki banyak mata pencarian di ambil lahannya dengan cara kolonial. Enam desa yang terkena imbas dari penggusuran bisa dibayangkan, relokasi pun belum tentu menjadi solusi untuk masyarakat di wilayah adminitrasi Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo adalah kawasan pertanian yang sangat produktif sebagai sumber pendapatan ekonomi rumah tangga mata pencarian banyak yang menggantungkan penghidupan dengan bertani dikawasan tersebut.

Dalam kasus penggusuran ini harusnya Pemerintah Daerah serta Pusat harus melihat sisi kemanusian dan ekologis sumber daya alam di daerah penggusuran, tapi negara justru semakin brutal dengan mega proyek industri untuk kemajuan pasar melalui UU No.2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Meskipun dalam prakteknya pihak swasta yang paling di untungkan karena pendanaan pembangunanya dalam bentuk investasi asing atau pinjaman luar negeri.

Dalam permasalahan penggusuran lahan masyarakat diatas akan timbul banyak efek dan kerugian masyarakat, bukan hanya ekonomi saja, tetapi ada beberapa aspek yang harus di timbang lagi secara materil dan non materil seperti perampasan ruang hidup dan penghidupan, perusakan ekosistem,  penghacuran cagar budaya, kehancuran tatanan sosial. Ini akan menjadi beban materil dan non materil yang akan di emban masyarakat korban penggusuran paksa Bandara Yogyakarta di masa yang akan datang dan saya tidak setuju dengan kejadian penahanan aktivis pers mahasiswa serta masyarakat Kulon Progo!

Sumber :Jogja Darurat Agrarian, FPMJ, LPM Kognisia, Kontras, Aji Jogya.