oleh Rainz
(foto: wardah.co.id)

Bagian 2

Mobil yang kubawa ini masih terus membelah kota Jakarta, meski waktu telah menunjukkan jam 8 malam, tapi keramaian kota Jakarta ini seperti tidak ada habisnya. Macet selalu terjadi dimana-mana, banyak orang beranggapan, macet begini bisa terjadi karena bus kota menunggu di sembarang tempat, lampu merah yang terlalu lama, atau memang terlalu banyak kendaraan sampai kota ini tidak mampu lagi menampungnya.
                                           
Bagi sebagian orang, macet seperti ini tentu bisa dianggap musibah ataupun bisa menjadi berkah. Bagi mereka yang beranggapan waktu adalah yang terpenting tentu macet begini merupakan salah satu musibah. Tapi, bagi sebagian yang lain, macet bisa jadi merupakan sesuatu yang ditunggu, seperti para pengamen pinggir jalan, ataupun para penjual yang mencoba menjajakan dagangan kepada mereka yang terjebak macet. Inilah yang kumaksudkan macet pun bisa menjadi berkah.

Diantara penjual itu ada salah satu pedagang yang menjual kacang rebus yang terlihat masih hangat karena asap masih mengebul dan keluar dari sela-sela tumpukan kacang rebus. Lebih baik aku membeli beberapa (bungkus) untuk ku nikmati sendiri dari pada melihat si Zain tertidur. Saat mobilku mendekati tukang kacangnya, aku turunkan kaca mobil di sebelah kiri sambil berteriak

“bang, kacang rebusnya yang masih hangat satu bungkus saja”
“baik, pak”

Lalu pedagang tersebut menyodorkan bungkusan kacang rebusnya ke dalam mobil

“ini pak, satu bungkus 10 ribu”
“ini uangnya, terima kasih bang”
“sama-sama, pak”

Aneh, apakah si Zain benar-benar telah tertidur pulas, aku sudah sengaja teriak dengan kerasnya tapi dia sama sekali tidak terganggu. Pekerjaan apa yang dilakukannya tadi malam? Sampai aku teriak pun dia tidak bangun juga.

Yah sudahlah dari pada terus mengganggunya, lebih baik aku menikmati hangatnya kacang rebus ini. Menikmati macet dan kacang rebus, memang sudah menjadi penghantar perjalanan ini, yah meskipun aku juga lapar, tapi mengganjal perut dengan kacang rebus juga tidak ada salahnya.

Mobil pun akhirnya sampai di kawasan kosan kami, kosan yang berdekatan dengan taman menteng ini berdinding dasar kayu, berwarna putih dengan dua tiang kayu menjulang tinggi di beranda depan, beratapkan kayu dan juga mempunyai garasi di samping kanan beranda. Sekilas kami kira ini adalah rumah kayu seperti rumah gadang ada di desa kami tapi ternyata agak berbeda, yaitu dari lantainya yang dari marmer dan perabotan mewah yang menghiasi dalam kosan ini, kalau kata Zain sepertinya pemilik kosan sengaja menampilkan kesederhanaan tapi tidak dengan isi rumahnya. Begitulah gambaran kosan yang kami huni dikawasan Menteng ini, menurutku rumah ini tidak cocok disebut kosan karena berada dikawasan elit di Ibu Kota, tapi Zain tetap menyebut rumah ini kosan, sebab kami memang hanya menempati kosan ini.

Kami berdua menempati kosan ini dengan "cuma-cuma", itupun karena Pak Abdul sang pemilik rumah memaksa untuk tidak membebankan biaya tinggal kepada kami, sebab beasiswa yang diberikan olehnya termasuk untuk menempati rumahnya ini. Pak Abdul sendiri merupakan seorang pedagang batik sukses di kota Malang, ia seorang duda yang mempunyai anak perempuan yang saat ini menempuh kuliah di luar negeri, dan mengenai istrinya, ia tak pernah menceritakannya, namun Pak Abdul sendiri tidak tinggal bersama kita, ia mengatakan lebih senang berada di kota Malang karena dekat dengan sanak saudara.

Kami berkenalan dengannya di saat kami mendaftar beasiswa di Lembaga Perbantuan Dana Mahasiswa di Jakarta, meskipun aku dan Zain bukanlah siswa berprestasi di tempat asal kami yaitu pelosok desa di Sumatera Barat. Semulanya kami sempat putus asa disebabkan uang yang kami bawa dari desa semakin menipis dan jika memang di tahun itu kami belum mendapatkan beasiswa kamipun belum mendapatkan pekerjaan yang dapat menyokong kehidupan kami di Ibu Kota yang terkenal ganas ini. Meskipun begitu, Pak Abdul tetap saja memberikan kami bantuan beasiswa yang menurutku beasiswa yang diberikannya ialah beasiswa yang unik, yaitu pak Abdul memberikan beasiswa berupa rumah untuk kami tempati dan disediakan pula fasilitas seperti mobil, motor, dan juga uang kuliah.

Beasiswa yang unik ini membuat aku terheran-heran, ketika aku mendesaknya untuk menjawab pertanyaan, apa alasannya untuk memberikan kami beasiswa. Dengan senyuman khas dan dengan wajah sumringah ia mengatakan bahwa ada dua hal yang membuat ia tertarik. Pertama, tulisan artikelku mengenai kritikan terhadap politik timur dan barat dan tulisan Zain mengenai kritikannya tentang globalisasi yang berpangaruh terhadap nasionalisme bangsa. Dan yang kedua, bahwa kami mengingatkan dirinya ketika ia dulu menjadi mahasiswa, katanya “mahasiswa melarat tapi bermimpi besar”.

Meski saat mendengar itu aku agak sedikit tersentil, tapi tetap saja perasaan senang dan bahagia tak bisa aku sembunyikan. Bagi aku dan Zain yang memang perantau dari seberang pulau, dengan beasiswa diberikan oleh pak Abdul merupakan berkah serta rezeki yang tak terkira, sudah kuliah gratis, dapat tempat tinggal, dan fasilitas pula. Tentu ini akan mengurangi beban dari orang tua kami masing-masing. Dan pak Abdul tentu juga mengingatkan kepada kami bahwa beasiswa ini adalah sebuah amanah, dan sebuah amanah itu haruslah dapat dijaga dan dipegang baik-baik. Kualitas seorang manusia terlihat dari dirinya dalam menjaga sebuah amanah.

Mobil Honda CR-V yang kubawa inipun telah sampai di depan pagar kosan,

“Zain, hei Zain, bangun”
“iya, kenapa za?”
“kita sudah sampai, bisakah kau membuka pagar”

Zainpun mengangkat topi kupluk hitamnya, lalu turun dari mobil, sambil setengah berlari menuju gerbang untuk membuka pintu gerbang berwarna putih dengan pembawaanya yang masih tidak ku mengerti dari pertama aku menjemput dirinya di stasiun kereta. Setelah itu ia langsung menuju ke dalam kosan.

“Dikira aku pembantunya apa? bukannya membantuku malah langsung pergi saja ke dalam kosan,” gerutuku.

Dengan pelan dan berhati-hati aku berusaha memasukkan mobil ini ke dalam garasi kosan, gawat juga kalo mobil ini tergores, dengan apa aku menggantinya nanti? bisa-bisa hilang kepercayaan Pak Abdul kepadaku dan Zain, setelah aku turun dari mobil dan menutup pintu gerbang, aku bergegas langsung menuju ke dalam kosan, mencari Zain, dan meminta penjelasan, tapi saat aku melangkah dari garasi ke ruang tamu, aku melihat dia telah membuka pintu depan, dan langsung mengambil motor dan pergi tanpa mengatakan satu katapun kepadaku. Aku berusaha mengejar Zain, tapi dirinya sudah hilang di kegelapan jalan.

Aku mencoba menghubungi ponselnya Zain beberapa kali, tapi tak juga diangkat. Aku coba menghubunginya via media sosial, tapi tertulis di status pribadinya, bahwa dirinya terakhir aktif jam 9 pagi tadi. Disaat aku mencoba menuliskan pesan di medsos Zain, ponselku berdering.

“kalian sudah sampai kosan?”
“kami baru sampai beberapa menit yang lalu”
“kok tidak mengabari aku, kalau kalian sudah sampai kosan”
“kelupaan Nayla, tapi aku sedang bingung sekarang, tanpa bilang apapun, tadi Zain pergi lagi”
“hah, pergi kemana?, bukannya kalian baru saja sampai”
“aku tidak tahu, sebentar ada pesan masuk ke medsos ku, dari Zain, dia hanya menulis 3 hari”
“dia tidak menulis apa-apa lagi selain 3 hari?”
“tidak, hanya itu saja”
“aku kekosan kalian yah, penasaran”
“kayaknya sudah terlalu malam Nayla, tidak enak juga kalau dilihat tetangga, dikampus saja aku cerita semuanya”
“wilayah yang kalian tinggali itu kawasan elit, lagian mana ada tetangga kalian yang sangat peduli sampai berfikiran begitu”
“bicaramu sarkastik sekali, besok saja di kelas aku ceritakan, lagipula mata kuliah yang pertama yang kutahu dosennya sedang menghadiri seminar di Kemenlu, jadi besok kita punya waktu panjang sampai nanti mata kuliah selanjutnya, bagaimana?” tawarku.
“ya sudah, kalau begitu aku tunggu ceritamu besok ”
“ok, sampai bertemu”

Setelah kututup pembicaraanku dengan Nayla, aku menuju ke kamarku dilantai dua dan segera merebahkan badanku di kasur, sambil mencoba memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatku itu. Banyak asumsi dan spekulasi yang terfikirkan oleh ku, tapi dari pada memikirkan hal yang tidak jelas, lebih baik aku segera Sholat Isya dan tidur.

Bersambung..