(Foto : Cover Buku Agnosia Karya Ibrahim Parungguputo/Google)


Judul Novel : Agnosia
Penulis : Ibrahim Paranggupito
Penerbit     : Pastel Books
ISBN 978-602-6716-21-7
Tebal : 172 Halaman


Agnosia adalah novel bergenre horror. Novel ini dibuat saat penulis masih duduk di bangku SMA dan sempat mati suri selama 6 Tahun karena mengalami beberapa penolakan. Buku ini mengisahkan seorang anak yang bernama Lily menderita penyakit Agnosia karena kecerobohan sang kakak, Helen namanya.

Tiga tahun lalu saat Helen, sang kaka mengajak Lily yang masih berusia 4 tahun ke sebuah taman hiburan. Sebenarnya acara ini direncanakan Helen dan kedua temannya, Jes dan Feni untuk mengisi liburan, tetapi Lily memaksa untuk ikut. Setiba di taman hiburan, mereka memutuskan untuk mengantre di wahana roller coaster. Namun karena tinggi Lily belum cukup, ia memutuskan untuk menunggu di susunan kursi melingkar yang di naungi payung tanpa di temani siapapun. Awalnya semua berjalan dengan baik, Lily menghabiskan minuman yang dipegangnya dan setelah itu membeli balon dengan uang yang diberi sang kakak. Sekitar setengah jam kemudian Helen, Jes dan Feni menyudahi wahana roller coaster. Helen merasa puas. Seketika menengadah, merasa tertarik dengan balon yang melayang ke angkasa! Meninggalkan pemiliknya… saat itu batin Helen mulai di penuhi oleh perasaan tidak karuan. Dan yaa, perasaan itu benar ketika ia melihat sekerumun orang di depannya, ia menyelinap masuk kedalam kerumunan itu. Betapa terkejutnya Helen melihat seorang petugas menggendong seseorang yang ternyata adalah Lily. Lily tak sadarkan diri dan menurut saksi mata Lily terjatuh dari kursi. Petugas itu menyarankan untuk membawa Lily ke ruang kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan medis.

Selang dua jam, akhirnya Lily tersadar. Helen bertanya kepada Lily “Kamu terjatuh dari kursi, Lily… kok bisa?”. “Balonnya lepas… Aku mau coba ambil… tapi, malah kepeleset” Jawab Lily sambil menggaruk-garuki kepala dan tersenyum. Melihat senyum Lily, Helen merasa lega. Satu minggu berlalu. Helen sudah menceritakan semua yang terjadi kepada orangtuanya. Setelah mendengar cerita Helen, orangtuanya memeriksakan Lily kerumah sakit dan berhari-hari kemudian Lily melakukan pengecekan medis. Helen ikut bergabung dengan orangtuanya, sambil meminta penjelasan mengenai kondisi adiknya. “Bagaimana? Apa yang dikatakan dokter?” Helen memulai pembicaraan. “Lily tak dapat melihat dengan jelas,” jawab Ibunya dengan lemas. “Apa yang terjadi dengan matanya?” Tanya Helen lagi. “Bukan matanya, tapi dari otaknya. Saat lily terjatuh, pasti kepalanya terbentur keras.” Jawab Ayah. Batin Helen kembali terpukul. Kembali dia merasa bersalah. “Meskipun mata Lily berfungsi normal, tetapi rangsangan yang diterima oleh otaknya bermasalah. Lily jadi enggak bisa mengenali objek dengan baik. Gangguan otak tersebut berdampak pada persepsi Lily. Apa yang Lily lihat belum tentu sama dengan yang diterima oleh otaknya.” Ibu

“Dokter bilang Agnosia,” ayahnya melanjutkan, “Associative Visual Agnosia lebih tepatnya. Syukurlah, cedera tersebut hanya menyerang rangsangan yang diterima oleh mata. Keadaannya bisa lebih buruk. Bisa saja rangsangan dari indra yang lain pun ikut terganggu.” 

Semenjak Lily di diagnosa menderita Agnosia, Helen terus mendalami tentang jenis cedera otak. Agnosia adalah penyakit neurologis. Helen pernah membaca artikel mengenai jenis-jenis agnosia. Dia merasa bersyukur karena agnosia yang Lily derita adalah associative visual agnosia sehingga dia masih bisa menggambar objek visual dengan cara menirunya. Helen tak dapat membayangkan jika Lily terkena apperceptive visual agnosia. Dalam artikel itu, tertulis jika jenis agnosia tersebut dapat memberikan persepsi penglihatan yang sangat berbeda sehingga membuat penderita mengalami kesulitan dalam meniru atau menggambar suatu benda. Bahkan, penderita apperceptive visual agnosia bisa jadi tidak bisa membedakan sebuah buku yang terbuka dengan sebuah laptop.

Sebenarnya masih banyak jenis-jenis agnosia lainnya. Tapi dia hanya mendalami jenis agnosia yang Lily derita associative visual agnosia, bentuk spesifik dari sindrom tersebut adalah prosopagnosiaProsopagnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali wajah. Penderitanya akan sulit membedakan seseorang dari seseorang lainnya.

Suatu hari, Lily bercerita bahwa ia mempunyai teman baru bernama Samara. Helen merasa heran karena tidak ada yang bernama Samara di Sekolah Lily. Yang membuat samara penasaran Lily bilang Samara pernah mengatakan bahwa rumahnya di daerah sini. Rumahnya kecil terbuat dari kayu dan dia tidak nyaman tinggal disana. Jadi, sesekali dia pindah ke sini. Lily bilang samara sangat benci, saat orang lain menganggapnya tidak ada. Semenjak kehadiran Samara teman khayalan Lily, Helen menyebutnya banyak kejadian-kejadian mengerikan datang silih berganti mulai dari vas keramik yang pecah, kucing hitam tetangga yang mati, darah yang menempel ditembok bahkan lantai, disusul seorang anak laki-laki yang patah tulang dan patung wanita kayu yang terbakar. Kata Lily, Samara yang melakukannya. Hingga suatu hari Helen bertemu dengan Samara. Mereka bertemu di dunia yang berbeda dengan dunia Helen sebenarnya. Samara ingin menggantikan posisi Helen disamping Lily karena Samara merasa Helen terlalu lemah untuk menjaga adiknya, Namun dengan usaha yang kuat Helen mampu mengalahkan Samara dan menguncinya kembali di rumah pohon itu lalu Helen kembali ke dunia asalnya.

Menurut saya novel ini sangat menarik, alur cerita yang digunakan adalah alur campuran. Novel ini menggunakan alur dimana si penulis dalam awal cerita menjelaskan tentang kehidupan saat ini namun ditengah jalan cerita ia menceritakan kembali hal di masa lalu yang menyebabkan Lily, salah satu tokoh yang ada dalam novel tersebut menderita Agnosia. Dari cerita novel ini juga menambah pengetahuan saya mengenai salah satu Syndrom Agnosia yang sebelumnya saya tidak tau bahkan saya tidak pernah mendengar mengenai hal tersebut.  Kelebihan dari novel ini menurut saya selain hanya sekedar sebagai bacaan, novel ini juga menambah sedikit pengetahuan bagi pembacanya. Bahasa yang digunakan dalam penulisan novel inipun masih terbilang ringan, apalagi ditambah dengan ilustrasi pendukung yang membuat pembaca mudah memahami isi novel tersebut. 

Namun, sepertinya buku ini kurang diminati oleh banyak orang dan buku ini terbilang sulit untuk ditemukan di toko-toko buku. Selain itu, dalam ceita ini ada bagian yang kurang saya pahami terutama pada bagian dimana Lily mempunyai teman baru karena si penulis tidak menceritakan awal mula Lily bertemu dengan Samara, Makhluk tak kasat mata itu atau dari mana Samara berasal. Sampai saat ini saya masih sedikit bingung sebenarnya Samara itu makhluk si penghuni topeng atau makhluk yang tinggal dirumah pohon.


Penulis :  Nur Fuzi Lestari