(Foto: ilustrasi konflik Rusia - Ukraina/widea.com)

Sejak Kamis (24/2) pekan lalu, mata dunia sedang mengawasi Eropa Timur. Konflik Rusia dan Ukraina menjadi sebuah perbincangan dan kekhawatiran global. Banyak isu yang beredar di kalangan masyarakat luas tentang konflik negara kakak-beradik ini. Latar belakang yang dikemukakan dari Zelensky (Presiden Ukraina) dan Putin (Presiden Rusia) memiliki sisi yang bertolak belakang dan berkaitan dengan kejadian masa lampau yang semestinya dapat diselesaikan dengan dialog antar satu sama lain. 

Konflik Rusia dan Ukraina diawali dengan permintaan bantuan pertahanan dari petinggi Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Pihak Ukraina merasa bahwa Rusia terlalu ikut campur urusan stabilitas dalam negeri Ukraina. Republik Donbass dianggap sebagai milisi pemberontak yang harus ditangani oleh Pemerintah Ukraina. Di sisi lain, Rusia memberikan bantuan berupa perlindungan kepada rakyat Donbass, karena latar belakang sejarah yang memiliki keeratan terhadap rakyat Ukraina. Pihak Kremlin (pusat pemerintahan) di Moskow menyatakan bantuan perlindungan rakyat Donbass adalah bentuk tanggung jawab Rusia, terhadap pencegahan pelecehan dan genosida yang telah terjadi sejak 2014 (setelah penggulingan presiden Viktor Yanukovych).

Sejarah Ukraina merupakan bentuk romantisme Uni Soviet, karena keruntuhan Uni Soviet juga Ukraina menjadi negara merdeka pada tahun 1991. Kewaspadaan Rusia terhadap Ukraina bukanlah sesuatu hal yang luar biasa sebenarnya. Setelah runtuhnya Uni Soviet, semua negara di Eropa yang pernah bergabung dengan Uni Soviet seperti Belarus, Ukraina dan Rusia mendirikan persemakmuran negara-negara merdeka (CIS) yang disebut perjanjian Belavezha. Penandatangan itu lalu diikuti oleh delapan negara lainnya, kecuali Estonia, Latvia dan Lithuania. Kemungkinan dalam perjanjian Belavezha itu ada hal-hal yang dibicarakan tentang asas netralitas negara-negara CIS.

Alur Konflik

Permasalahan ini perlu dulu diurai dari hulu agar polemik tentang Rusia dan Ukraina ini menjadi jelas. Sejak berpisahnya negara-negara bekas Uni Soviet, NATO terus mencoba merangkul negara-negara tersebut masuk dalam keanggotaan. Sejak berakhirnya perang dingin antara blok timur dan blok barat, permusuhan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) memasuki babak baru. Keruntuhan Uni Soviet membawa angin segar, karena Amerika menginginkan banyak hal dari negara-negara tersebut. Satu-satunya negara bekas jajahan Uni Soviet di Eropa yang tidak pernah dipaksakan adalah Rusia. Negara-negara bekas Uni Soviet seperti Estonia, Latvia dan Lithuania telah menjadi anggota NATO pada tahun 2004. Saat itu Rusia tidak bisa memberikan masukan dan saran atau mengingatkan secara tegas kepada ketiga negara tersebut karena terikat dengan Perjanjian Roma 2002 (Declaration Rome Summit 2002).

Isu tentang keinginan bergabungnya Ukraina ke NATO, mendapat pertentangan keras dari Rusia. Selain faktor kesamaan nasib dan perjuangan ketika berada dalam Uni Soviet, Ukraina seperti halaman rumah bagi Rusia. Jika Ukraina disetujui masuk sebagai anggota NATO, itu sama saja Rusia mengundang orang lain untuk mengancam keamanan dan pertahanan negaranya. Sikap Rusia terkesan egois dalam hal itu, namun Rusia sudah mencoba mengingatkan NATO untuk tidak membujuk negara bekas Uni Soviet menjadi anggota. Tetapi peringatan itu tidak diindahkan oleh NATO ataupun AS sebagai salah satu pendiri aliansi tersebut.

AS melalui NATO memang ingin melakukan ekspansi untuk melemahkan posisi yang berseberangan dengan AS. Jika diperhatikan negara-negara besar dan kuat dari segi militer yang dikhawatirkan AS, pasti akan ada pangkalan militer NATO atau mitra dari NATO. Di asia ada Mongolia, Jepang, Korea, Pakistan dan Afghanistan. Meskipun kemitraan seperti Pakistan dan Afghanistan melalui hal yang kontroversial seperti dibombardirnya Afghanistan setelah tragedi 9/11.

Biar bagaimanapun, Rusia tetaplah salah satu negara superpower yang disegani oleh dunia. Peralatan pertahanan, peralatan tempur hingga bom nuklir banyak dimiliki oleh Rusia hingga saat ini. Menariknya dari apa yang terjadi saat ini, Putin tetap menyebut ini sebagai Operasi Khusus Militer bukan Invasi Militer. Hal ini karena Putin tidak menginginkan pendudukan wilayah Ukraina, melainkan agar Ukraina meletakan senjata dan memahami kembali asas netralitas yang dipegang teguh sejak perjanjian Belavezha (1991). Selain itu Putin tidak ingin menyerang warga sipil dan hanya menyerang infrastruktur militer yang ada. Operasi militer kali ini menurutnya adalah bentuk Putin memperlihatkan bahwa NATO tidak seperti yang dipikirkan oleh Zelensky.

Hal itu terbukti karena sampai Sabtu (26/2), ketika Zelensky melakukan Konferens pers, dirinya mengaku seperti didorong untuk berhadapan langsung dengan rusia, lalu dibiarkan berjuang sendirian. Zelensky bahkan meminta anggota NATO untuk segera menyetujui Ukraina masuk menjadi Anggota, tetapi tidak ada jawaban. AS beserta aliansinya akhirnya mengeluarkan sanksi bagi Putin dan Menteri Luar Negeri Rusia yang kemudian menyusul untuk Rusia. Penutupan jalur udara bagi maskapai Rusia, dikeluarkannya Rusia dari jaringan SWIFT (Society for World Interbank Financial Telecommunications), pembekuan cadangan dana Rusia di bank dunia, hingga hal-hal yang tidak masuk akal dalam dunia olahraga.

Rusia memang menghadapi sanksi yang tidak pernah dilakukan sebelumnya di dunia. Sanksi terbesar dan terberat baru terjadi pertama kali dan itu terjadi ketika Putin telah menyetujui permintaan Zelensky untuk adanya pembicaraan terkait konflik Rusia dan Ukraina. Zelensky memang mengambil banyak untung dari konflik yang terjadi kali ini dengan hanya mengambil sedikit tanggung jawab. Empati dari setiap negara dikonversi oleh Zelensky, bukan hanya sebagai bantuan tapi jug sanksi bagi Rusia.

Mendesak Uni Eropa dan NATO untuk menerima Ukraina yang sedang berkonflik sebagai anggota aliansi tersebut. NATO belum memperbolehkan, karena Ukraina sedang berkonflik. Berbeda dengan Uni Eropa yang akhir mengabulkan permintaan Ukraina. Apa yang terjadi saat ini adalah permainan politik Zelensky yang memanfaatkan celah dari konflik Rusia dan Ukraina. Dirinya sadar bahwa dunia sedang fokus memperhatikan Ukraina dan ramai-ramai mengeroyok Rusia.

Kecerdikan Zelensky memanfaatkan empati perlu mendapatkan acungan jempol, meskipun mengorbankan darah rakyatnya. Kebijakan yang Zelensky buat tentang tidak diperbolehkannya warga negara laki-laki berusia 18-60 tahun untuk mengungsi, aturan jam malam, memperbolehkan milisi ultra kanan (neo nazi dan nasionalis) dipersenjatai. Kabar terakhir dari Ukraina setiap tahanan kriminal yang mau melawan Rusia akan dibebaskan dan dipersenjatai. Kebijakan Zelensky semakin ugal-ugal setelah militer di banyak kota. Ukraina dipukul mundur dan itu dipengaruhi pengaruh-pengaruh negara barat (NATO dan Amerika).

Monopoli Media oleh Barat pada Konflik Rusia - Ukraina

Jika dicermati dari dimulainya operasi khusus militer hingga adanya pertemuan Rusia dan Ukraina di Belarus, berita-berita yang didapat adalah berita-berita dari media barat yang semuanya memiliki sudut pandang Zelensky. Hampir tidak ada berita dari ukraina, kecuali berasal dari rusia itu sendiri yang memvalidasi dan verifikasi ke Putin. Padahal dalam konflik Ukraina dan Rusia tidak ada penetapan korban dan pelaku, Rusia juga tidak melakukan penutupan terhadap akses informasi ke jurnalis.

Secara tidak langsung, kemungkinan yang terjadi pada konflik Ukraina adalah bentuk perang proxy dan perang opini publik. AS berharap dengan membentuk opini publik dapat melemahkan Rusia. Sehingga tidak heran banyak media mendorong pemberitaan dari sisi Ukraina tanpa ada validasi dari sisi Rusia, serta pemblokiran akses informasi dari Rusia.

Beberapa hari kemarin, Penulis mencoba untuk membuka situs pemerintahan resmi rusia en.kremlin.ru dan government.ru juga tidak dapat diakses. Selain itu semua kantor berita yang nama domainnya berasal dari rusia juga tidak bisa diakses. Sehingga mencari informasi tentang Rusia dari konferensi pers China, meskipun tidak terlibat media mencoba mendesak pemerintahan China untuk mendesak Rusia. Setiap media hampir terus menerus menanyakan sikap China terhadap konflik Ukraina dan selalu dijawab dengan bahasa diplomatis.

Pihak-pihak yang Terlibat

NATO dan AS bertanggung jawab atas konflik Rusia dan Ukraina ini. Setidaknya China yang pada saat pemungutan suara tentang mengecam Rusia di DK-PBB Abstain, menjelaskan pada konferensi pers hari Rabu (23/02), “Sejak 2011, AS telah memberlakukan lebih dari 100 sanksi terhadap Rusia. Namun, apakah sanksi AS memecahkan masalah? Apakah dunia menjadi tempat yang lebih baik karena sanksi itu? Akankah masalah Ukraina selesai dengan sendirinya berkat sanksi AS terhadap Rusia? Akankah keamanan Eropa lebih terjamin berkat sanksi AS terhadap Rusia? Kami berharap pihak-pihak terkait akan memikirkan hal ini secara serius dan berusaha untuk menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi.” China sebagai salah satu negara besar mampu untuk meredam gejolak konflik yang terjadi.

Amerika Serikat (AS) memang terkesan ugal-ugalan dalam mengeluarkan sanksi, seperti sebuah kewajiban bagi AS ketika ada negara yang berkonflik, meskipun bukan urusan mereka, AS akan tetap memberikan sanksi. Selain itu jika diteliti dari banyaknya kasus penyerangan AS dan NATO ke negara-negara seperti Irak, Afghanistan, Suriah dan beberapa wilayah lainnya selalu didahului dengan disinformasi yang menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Sehingga banyak orang beramai-ramai mengeroyok satu obyek akibat disinformasi yang tersebar.

Tetapi patut untuk terus diamati bagaimana dan kemana konflik Ukraina akan berlanjut. Perundingan damai yang cepat tentu tidak dikehendaki oleh AS dan NATO, itu sebabnya perundingan yang seharusnya berlangsung sejak Sabtu (26/02) belum juga terlaksana. Karena memang AS menginginkan Rusia lemah secara ekonomi, sebab mengurusi konflik ukraina. Sedangkan, pada sisi lain Sanksi pada Rusia telah dilemparkan dari sisi ekonomi bahkan hingga membabi buta. Setidaknya ini menjadi sebuah studi kasus yang polanya terus berulang dan terus dimainkan oleh AS dan barat.

Kontributor : Yazid Fahmi (Mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI)

Editor : Dika Maulana