(Foto: Weltevreden zaman dulu/kumparan.com)

Marhaen, Jakarta - Pada awal abad ke-19, pusat pemerintahan kolonial Belanda dipindah ke Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) merupakan kawasan yang dipilih oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels. Maka tak heran, kawasan Weltevreden 'gudangnya' perkantoran, pusat pemerintahan, dan juga peninggalan sejarah, terutama di masa kolonial. 

Pemindahan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Benteng Batavia ke Weltevreden merupakan salah satu bentuk realisasi tugas utama yang diberikan Raja Lodewijk kepada Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebagai pengganti dari pusat pemerintahan lama di kawasan Benteng Batavia, dataran rendah pesisir utara Jawa, karena permasalahan lingkungan, seperti banjir, dan menjangkitnya penyakit khas daerah tropis, serta menjadi mudahnya bagi musuh yang datang dari arah laut sebab daerahnya yang berada di tepi pantai. 

Strategisnya batavia yang dikenal sebagai penggerak roda ekonomi dan banyaknya gedung pusat pemerintahan pada zaman kolonial Belanda. Gedung-gedung tersebut masih ada yang berdiri kokoh, mengalami pemugaran, bahkan dibangun sebagai tempat ibadah. Berikut 7 jejak sejarah Masa Kolonial Belanda yang masih ada sampai sekarang :

1. Museum Maritim
(Foto: Museum Maritim/museum.co.id)

Museum maritim merupakan tempat yang menjadi sejarah tentang kemaritiman Indonesia. Sejak abad ke 9 nenek moyang bangsa Indonesia telah berlayar jauh menggunakan kapal, karena pengalaman berlayar mereka  menjadikan Indonesia dijuluki sebagai sang penjelajah samudera, maka dari itu nenek moyang Indonesia meninggalkan banyak peninggalan benda-benda bersejarah yang digunakan untuk berlayar, hingga kemudian dibentuklah museum maritim untuk mengabadikan benda-benda tersebut salah satunya museum maritim.

Museum maritim merupakan sebuah museum yang terletak di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Museum maritim ialah salah satu museum yang berisikan tentang kemaritiman Indonesia. Di dalam museum maritim terdapat sebuah ruangan pameran  khusus tentang benda-benda bersejarah maritim Indonesia seperti kapal, lukisan, senjata angkatan laut, atau benda-benda lain yang berhubungan dengan dunia maritim mulai dari zaman kerajaan hingga masa kolonial.

2. Gedung OLVEH
(Foto: Gedung OLVEH/katadata.co.id)

Gedung OLVEH, sebuah gedung yang memanjakan mata dengan arsitekturnya yang tidak biasa, dengan nuansa bangunan khas Belanda. Gedung OLVEH merupakan sebuah gedung peninggalan masa kolonial Belanda dari perusahaan Onderlinge Levensverzekering Van Eigen Hulp (OLVEH) sebuah perusahaan asuransi pada masa Belanda.

Gedung ini didirikan pada 1921 dan diresmikan tahun 1922 dengan bangunan tiga lantai dan dua menara, lalu yang menjadi kantor perusahaan OLVEH ialah lantai satu sementara dua lantai lainnya disewakan, hal in disebabkan oleh biaya pembangunan dari gedung ini yang sedikit sekitar 250.000 gulden hingga pada akhirnya pihak OLVEH menyewa dua gedung tersebut untuk menghemat biaya. Pada tahun 2010 gedung ini ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya.

3. Galeri Kunstkring
(Foto: Galeri Kunstkring/tuguhotels.com)

Galeri Seni Kunstkring yang berada di Menteng, diresmikan pada tahun 1914 oleh Gubernur Hindia-Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg. Dulunya galeri ini merupakan galeri terpandang sekitar 1920-1930. Banyak seniman yang berlomba-lomba memamerkan karyanya di galeri tersebut. Ketika pada masa kejayaannya pada sore ataupun malam hari, Kunstkring dijadikan sebagai ajang kongkow para pelukis Eropa yang tergabung dalam Nederlandsch-Indie Kunstkring.

Adapun pameran yang digelar di galeri ini dahulu ialah  pameran lukisan karya maestro dunia semacam Pablo Picasso, Kees van Dongen, Van Gogh, Soutin, Marc Chagall, Campigli dan Jan Sluijter pada April 1937 dan masih banyak lagi.

4. Gereja Immanuel
(Foto: Gereja Immanuel/twitter.com)

Gereja Immanuel dulunya dikenal dengan Willemskerk yaitu sebuah gereja pada masa Belanda yang diperuntukkan bagi petinggi Belanda untuk beribadah, gereja yang dibangun mulai 1834 merupakan rancangan dari J.H. Horst. Awalnya para petinggi ini beribadah di sekitar kota tua, namun karena  lambat laun daerah kota tua makin sempit dan menjadi tempat kumuh, hingga akhirnya para petinggi-petinggi ini berpindah ke Gambir yang disebut sebagai kota baru.

Lewat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tanggal 29 Maret 1993 dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Gereja Immanuel ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya, karena gedung ini menyimpan sejuta sejarah perkembangan Batavia pada zaman dulu.

5. Masjid Cut Meutia
(Foto: Masjid Cut Meutia/Instagram @santoso_ilham)

Masjid Cut Meutia, sebuah masjid peninggalan Belanda. Gedung yang semula merupakan gedung kantor disulap menjadi sebuah masjid. Masjid Cut Meutia atau biasa disebut Masjid Boplo ini terletak di Jl. Cut Meutia no 1 Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat.

Dulunya Masjid ini merupakan gedung kantor biro arsitek N. V. (Naamloze Vennootschap, atau Perseroan terbatas) De Bouwploeg merupakan sebuah perusahan biro arsitektur dan pengembang bernama N.V. De Bouwploeg yaitu sebuah perusahan yang dibentuk untuk membangun perumahan masyarakat Belanda di Batavia, gedung ini selesai dibangun pada 1921.

6. The Hermitage Hotel
(Foto: The Hermitage Hotel/agoda.com)

The Hermitage Hotel ialah salah satu gedung peninggalan Belanda yang sekarang dialihfungsikan sebagai hotel, dulunya gedung ini dijadikan sebagai kantor pusat telekomunikasi Belanda bernama Telefoongebouw yang didirikan tahun 1923. Setelah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, pernah dijadikan sebagai kantor Departemen Pendidikan dan Pengajaran, maupun menjadi kampus Universitas Bung Karno pada tahun 1999. Namun tidak bertahan lama, barulah pada 2008 dijadikan sebagai thotel yang megah. 

7. Mercusuar Sunda Kelapa
(Foto: Mercusuar Sunda Kelapa/Instagram)

Mercusuar Sunda Kelapa yang bakal membuat kamu membayangkan bagaimana kapal-kapal armada dahulu berlalu-lalang di sekitar mercusuar ini. Mercusuar ini telah dibangun sejak 1862, di pelabuhan ikan Muara Baru, Jakarta Utara, merupakan pengganti dari menara Syahbandar. Memiliki bentuk bulat, dengan ketinggian mencapai 17 meter, pada badannya terdapat tiga buah lubang kecil yang digunakan sebagai ventilasi juga sebagai jendela penerang ketika malam ataupun siang hari.

Menara ini berfungsi sebagai penunjuk lalu lintas untuk kapal-kapal yang melintas sekitarnya. Pada abad 17 dan 19 banyak didatangi oleh armada mancanegara sebelum pelabuhan Tanjung Priok dibangun. Kini mercusuar ini ditutupi oleh gedung-gedung dan pabrik.



Penulis : Maria Goreti Ceria
Editor : Devi Oktaviana