(Foto: sedang berlangsungnya acara/Dinda)

Marhaen, Jakarta - Universitas Bung Karno (UBK) bersama Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat mengadakan seminar mengenai "Penegakan Hukum yang Humanis Melalui Pendekatan Restorative Justice" yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa Universitas Bung Karno. Selasa (30/05/23). 

Restorative Justice itu sendiri merupakan proses yang dilakukan dari luar sistem peradilan pidana untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi pihak korban dan pelaku. Penerapan restorative justice tercantum dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

Lebih lanjut, penegakan hukum restorative justice telah dibawa pada masa Yunani Kuno dengan semboyan "Salus Populi Suprema Lex Esto," memiliki arti "Keselamatan manusia adalah hukum tertinggi." Hal ini disampaikan lebih lanjut oleh Rizky Pratama selaku Jaksa Fungsional dari Kejari Jakarta Pusat, mengatakan, 

"Kemudian, Prof. Satjipto Rahardjo yang terkenal dengan teori hukum progresifnya mengemukakan teori tentang Restorative of Justice, dia bilang begini, 'Hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum.' Ini membantu kita memahami bahwa hukum harus demi mewujudkan kesejahteraan manusia bukan sebaliknya mengorbankan manusia demi sebuah hukum atau keteraturan, niscaya adalah sebuah penyimpangan hukum itu sendiri," terangnya. 

Penerapan keadilan restoratif di Indonesia, telah ditetapkan pada Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penghentian penuntutan atas keadilan restoratif bertujuan mewujudkan kepastian, ketertiban hukum, keadilan, kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan. 

Namun, peradilan tersebut memiliki beberapa syarat dan batasan yang dapat menghentikan penuntutan antara lain seperti baru pertama kali melakukan tindak pidana, nilai kerugian tidak lebih dari 2,5 juta, kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku, dan respon positif masyarakat.

Batasan keadilan restoratif juga disinggung oleh Hudi Yusuf selaku Dosen Fakultas Hukum UBK, ia mengatakan bahwa hanya tindak pidana ringan bahkan di kepolisian memiliki keteraturan yang sama dengan nilai kerugian 2,5 juta rupiah. Peraturan tersebut dikatakan sudah direvisi, menurut penuturannya, peraturan tersebut tidak memiliki limit nilai kerugian namun hanya sebuah tindak pidana ringan di bawah lima tahun dan memungkinkan keadilan restoratif.

Peradilan tersebut dilakukan secara ketat dari pihak bawah ke atas yaitu pihak penuntut umum meminta persetujuan kepala cabang kejaksaan negeri, dilanjutkan persetujuan kepala kejaksaan tinggi hingga persetujuan kepada kejaksaan agung agar tidak terjadi penyalahgunaan keadilan restoratif. 

Oleh karena itu, tata cara upaya perdamaian dilakukan saat melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti tindak pidana. Upaya pertama akan dilakukan pemanggilan korban secara sah atas alasan pemanggilan, maka korban harus menuliskan berkas perkaranya dan diberitahukan hak penolakan pada korban.

“Yang pertama penuntut umum menawarkan upaya perdamaian kepada korban dan tersangka tanpa paksaan, tekanan dan intimidasi. Upaya perdamaian dilakukan pada tahap penuntutan yaitu pada saat penyerahan tersangka dan barang bukti. Kemudian keperluan perdamaian, penuntut umum memanggil korban secara sah dengan alasan pemanggilan. Dalam penjelasan pada upaya perdamaian diberitahukan juga hak untuk menolak dari pihak korban (jadi korban juga berhak menolak ya),” ucap Rizky.

Capaian akhir dan selesainya peradilan restorative justice, akan berdampak baik serta menarik respon positif dari masyarakat sebagai penilaian bagi kejaksaan. Pertimbangan ini juga termuat pada syarat keadilan restoratif karenanya sangat diharapkan akan menghasilkan respon positif dari masyarakat.

Hudi Yusuf menyetujui peradilan pada keadilan restoratif karena melihat perkembangannya sekarang serta diharapkan dapat lebih berkembang yang di mana bukan pada tindak pidana ringan saja tetapi tindak pidana berat dapat diberikan ruang keadilan restoratif. Hal ini diberikan contoh seperti pengguna narkoba atau terorisme menurutnya dapat dilihat melalui asas kausalitas.




Penulis : Muhammad Rizki 

Editor : Bintang Prakasa