(Foto: spanduk tulisan  oleh warga Wadas/Dinda)

Marhaen, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama LBH Yogyakarta serta warga Wadas mengadakan konferensi pers dan melakukan aksi audiensi di depan rumah aspirasi relawan Ganjar dengan tajuk "IPL Habis: Proyek Pertambangan Terus Berlanjut dan Persoalan Wadas yang Tidak Pernah Usai" dengan membangun kolaborasi perlawanan terkait habisnya Izin Penetapan Lokasi (IPL) pertambangan, Rabu (26/07/2023). 

Dikutip dari ylbhi.or.id, aksi yang dilakukan ini sebagai respon masyarakat sipil dan warga Wadas mengenai perkataan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada forum Rakernas Apeksi 2023 di Makassar mengatakan bahwa ganti rugi kasus pertambangan telah diberikan kepada ketua kelompok Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) sejumlah 11 miliar merupakan pernyataan yang dibuat-buat. 

Menurut Raudatul Jannah selaku bagian LBH Yogyakarta, memberikan keterangan bahwa pemberian uang tersebut telah  diterima oleh Insin Sutrisno yang pernah menjabat sebagai  pemimpin Gempadewa. Ia memiliki tanah seluas 2 hektar lalu diserahkan dan diberikan harga yang diklaim Ganjar sebagai ganti rugi. Namun, nyatanya masih terdapat 30% warga dusun yang menolak menyerahkan lahannya. 

Pertambangan yang dilakukan di desa Wadas termasuk ilegal dengan prosedur pembebasan tanah menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, kasus pertambangan ini dimasukan ke dalam proyek pembangunan Bendungan Bener yang selaras dengan undang-undang, dan dianggap sebagai akal bulus pada kasus pertambangan ini tidak memerlukan izin pula termasuk satu IPL dengan bendungan. 

“Pertimbangan dalam persetujuan, mempertimbangkan bahwa seharusnya di desa wadas itu pakai izin pertambangan. Nah, cuman di sana kan tidak pakai, pakainya itu mekanisme pembebasan tanah yang menggunakan Undang-undang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum itu tadi, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 kalau tidak salah. Nah, itu dia satu include tuh sama bendungan, karena Bendungan Bener itu memang proyek kepentingan umum. Nah, kami melihatnya mengakali nih, pemerintah mengakali biar pertambangannya juga tidak perlu izin itu masukin ke satu IPL sama bendungan,” ucap Jannah. 

Pengakalan lain pemerintah ini diperkuat oleh data yang dilansir dari walhi-jogja.or.id, penggugatan warga Wadas melalui Gempadewa di PTUN Jakarta pada tanggal 10 Januari yang dilayangkan kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas surat rekomendasi bahwa pertambangan batuan andesit di Desa Wadas tidak perlu izin. Hasil dari kasasi ini, Raudatul menanggapi bahwa putusan tersebut sebagai ketegasan dan kejelasan pertambangan di Wadas adalah ilegal dan surat tersebut batal demi hukum.

“Nah, di PTUN Jakarta, majelis hakimnya memutuskan bahwa objeknya  bukan KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara), artinya kami menilai bahwa keputusan hakim ini mempertegas dan memperjelas bahwa: pertama, pertambangan di Wadas itu ilegal tidak ada izinnya. Ya, orang surat rekomendasi ini kan batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuataan hukum gitu, tidak bisa dijadikan legitimasi bahwa pertambangan di Wadas tidak butuh izin,” ujarnya. 

Putusan PTUN dari keterangan Raudatul dikatakan telah batal demi hukum, dan proses pembukaan akses jalan dari bendungan ke pertambangan haruslah dihentikan pula pertambangannya. IPL yang menaungi proses pertambangan ini juga telah habis pertanggal 7 Juni dan seharusnya pertamabangan tersebut tidak dilanjutkan, tetapi sampai saat ini sayangnya masih terus dilanjutkan.

IPL yang sudah habis masa berlakunya tetap dilanjutkan proyek pembangunan dan pertambangan tanpa memikirkan dampak yang berlaku, bahkan seperti dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial timbul memberatkan warga Wadas. Tanah yang menjadi pemasukan bagi warga, beberapa sudah terjual kemudian dimiliki negara dipergunakan bukan menjadi lahan pertanian, tetapi memutus lapangan pekerjaan yang ada di daerah Wadas.

“Banyak ya, kalau dari bencana dampak kaya hari ini aja tambangnya timbul dampaknya sosial, ekonomi, dampak lingkungan. Jadi, di Wadas itu kan ada beberapa yang kemudian sudah melepas tanahnya karena tekanan, teror dan sebagainya. Nah, akhirnya dari tanah yang seluas 100 hektar tadinya bergerak untuk warga akan tetapi beberapa itu kemudian sudah bebas dan milik negara, akhirnya itu fungsinya tidak menjadi lahan pertanian lagi makanya kemudian warga petani kehilangan pekerjaan di situ,” ujar Siswanto selaku warga Wadas dan anggota kelompok Gempadewa.

Banyaknya dampak yang dihasilkan dan juga perlunya upaya lanjutan, membuat Raudatul dari kelompok masyarakat dan kuasa hukum atas gugatan dampak rona lingkungan dengan naungan LBH Jakarta melalui ikatan solidaritas meminta bantuan kepada pihak-pihak yang terlibat seperti Walhi, Greenpeace, KontraS, serta lainnya atau individu untuk support persoalan narasi tanding, kampanye publik. Penyebaran dilakukan melalui media sosial, medium organisasi, dengan memberikan informasi ke media arus utama seperti CNN, Tempo dan media daerah di Yogyakarta.

Harapan warga Wadas saat ini adalah penghentian pertambangan. Siswanto sendiri menjelaskan bahwa dirinya disuruh menyerahkan lahannya terkait pertambangan dan proyek pembangunan bendungan. Perlawanan warga terhadap aparat terjadi begitu represif, meninggalkan trauma berkepanjangan dan menimbulkan rasa takut hingga selalu diancam oleh pejabat setempat.

”Bayangkan gini, warga desa, warga pelosok yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba ditangkap, dibawa pakai mobil penangkapan. Dibawa ke polres. Apakah ini bukan suatu hal yang menyakitkan bagi warga? Ya, kalau memang warga itu salah. Misalkan gini, maling, korupsi atau apa, mereka itu bertahan dengan tanah yang tidak mau dijual. Tidak salah apa-apa, kok ditangkap. Saya sering ketemu kok, sama lurahnya sama camatnya. Ya, mereka memang mendukungnya sana, sebetulnya sering mengintimidasi aku juga supaya cepet-cepet nyerahin kalau nggak ancamannya konsinyasi, “ kata Siswanto.



Penulis: Muhammad Rizki

Editor: Na'ilah Panrita Hartono