Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak dari moyang-moyang kita mempunyai anak yang sangat banyak. Akan tetapi, zaman sekarang memiliki 2 anak saja sudah dianggap banyak oleh pandangan umum. Hal itu bisa terlaksana juga karena adanya program pemerintah, yaitu Keluarga Berencana (KB) yang membatasi kelahiran dan mengatur jarak kelahiran.
Dahulu, moyang kita meyakini bahwa “banyak anak banyak rezeki”. Keyakinan ini membuat mereka terus menambah keturunan tanpa banyak pertimbangan. Meskipun kini para ibu cenderung memiliki lebih sedikit anak, tetapi pemikiran tersebut masih sering terdengar. Slogan penuh dengan harapan yang membuat para moyang kita terus beranak-pinak macam tikus.
Jika ditarik ke sejarahnya ternyata “banyak anak banyak rezeki” merupakan slogan yang digunakan untuk propaganda Belanda. Pada tahun 1830 setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda menanggung utang sebesar 32 juta gulden. Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia pada saat itu usul untuk memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) untuk keluar dari krisis ekonomi.
Singkatnya, sistem tanam paksa adalah paksaan dari Belanda untuk warga Indonesia menanam komoditas ekspor seperti kopi dan teh. Panen yang telah dihasilkan diberikan ke pemerintah kolonial dengan harga yang sangat murah sebagai pengganti pajak tanah. Lalu dijual hasil panen tersebut dengan harga yang jauh lebih mahal ke pasar internasional.
Pemerintah saat itu setuju atas permintaan Van Den Bosch, sistem tanam paksa akhirnya diketuk palu dan semua pulau jawa dibebankan dengan sistem tersebut. Belanda sendiri butuh tenaga kerja yang sangat banyak agar sistem tanam paksa ini berjalan dengan maksimal untuk membalikkan perekonomian Belanda.
Profesor emeritus sosiologi pedesaan, Benjamin dengan risetnya berjudul Demand for Labor and Population Growth in Colonial Java (1973) menjelaskan bagaimana pertumbuhan penduduk Indonesia dengan banyaknya permintaan pekerja oleh Belanda sangat beriringan. Belanda juga butuh sarana prasarana, memperbaiki infrastruktur, membangun jalan, dan pendukung yang lain, sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang berlimpah sekaligus murah.
Belanda juga tidak hanya berhenti di tanam paksa, mereka membuat peraturan baru dengan membagikan semua tanahnya kepada rakyat secara merata. Dengan begitu orang-orang yang tidak mempunyai tanah juga bisa langsung menanam komoditi ekspor secara langsung untuk diberikan kepada Belanda.
Belanda membiarkan para petani menjadi pemilik tanah karena hanya dengan begitu mereka bisa ditagih pajak tanah yang kemudian diganti dengan kerja bakti atau tanam paksa. Pajak itu sangatlah besar bagi para petani itulah sebabnya kebanyakan petani saat itu ingin keluarga yang besar agar membantu ia untuk menggarap tanah.
Karena semua petani memiliki tanah, mereka sudah tidak memikirkan caranya membagi warisan dan tanah diantara anak-anaknya yang terlalu banyak. Akhirnya petani berpikir makin banyak yang turun tangan, semakin ringan pula kerja mereka sehingga diturunkan lah semua anak-anak mereka untuk bekerja menggarap padi.
Bukan hanya anak-anak yang bekerja di lahan, terkadang banyak ibu-ibu yang juga bekerja di ladang dan meninggalkan bayi-bayi mereka di rumah. Secara otomatis, para ibu akan jarang dirumah dan berhenti untuk menyusui bayinya. Secara biologis ketika para ibu berhenti menyusui atau menyapih bayinya lebih awal, maka akan meningkatkan kemungkinan untuk hamil kembali.
Zaman dulu slogan “banyak anak banyak rezeki” bisa diterapkan karena pada zaman itu Indonesia adalah negara agraris yang mempunyai banyak lahan pertanian. Untuk sekarang terutama di Ibukota harus mempunyai keterampilan khusus untuk bisa bekerja. Maka dari itu, pada zaman sekarang yang harus diutamakan oleh para orang tua adalah pendidikan dan kesehatan anak hingga dewasa nanti.
Pada zaman sekarang sangat susah untuk menerapkan “banyak anak banyak rezeki” dikarenakan kebutuhan anak yang tiap tahunnya semakin mahal, dimulai dari susu anak, popok anak, pendidikan anak, dan kesehatan anak. Memang benar pemerintah Indonesia menerapkan makan bergizi gratis di zaman sekarang, tetapi saya ragu makan malamnya akan bergizi atau tidak dikarenakan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena efisiensi yang ditetapkan pemerintah.
Ketika anak-anak hanya difokuskan untuk mencari uang dan makanan sejak kecil, mereka akan lebih mudah dibodohi dan dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Inilah mengapa pendidikan sangat penting agar ketika mereka dewasa, mereka menyadari bahwa diri mereka dan keluarganya sedang dieksploitasi oleh para penguasa. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya penguasa yang membatasi pendidikan rakyatnya agar mereka mudah dibodohi.
Punya anak juga bukan hanya tentang rezeki, tetapi bagaimana kita mengerti tentang psikologis anak, kesiapan kita sebagai orang tua, dan kecerdasan emosional kita sebagai orang tua. Karena kebahagiaan dalam melahirkan dan membesarkan anak seharusnya tidak hanya terletak pada orang tuanya, tetapi juga pada perkembangan dan kebahagiaan anak itu sendiri.
Disaat moyang kita menggaungkan slogan “banyak anak banyak rezeki” dengan kencangnya, maka Belanda juga akan tertawa dengan kencangnya atas kebodohan kita. Mereka tertawa sembari menikmati hasil jerih payah moyang kita dahulu, menikmati hutang mereka yang terbayar dan menikmati pekerja kita yang semakin hari semakin banyak untuk membantu mereka.
0 Comments