Foto : Ilustrasi
Marhaen, Jakarta_Tindakan kampus Universitas 17 Agustus (UNTAG) 1945 Jakarta, men Drop Out (DO) mahasiswa dengan surat  keputusan nomor  03/SK-REK/SM/II/2014, tentang penerapan sanksi akademis bagi mahasiswa Fakultas ISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, tertanggal 3 Februari 2014, di gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 11 Juni 2014.

Mamat Suryadi, salah satu mahasiswa UNTAG yang menjadi korban DO, dalam release yang diterima redaksi Marhaen, mengatakan ia dan ketujuh temannya (baca berita sebelumnya) di DO Karena mengkritisi kampus dalam bentuk aksi massa yang digelar pada 19 hingga 20 Desember 2013. hal itu dilakukan karena rektor UNTAG mebekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan beberapa UKM, diantaranya Pecinta Alam dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).

“Selain itu, beberapa pungutan atas ujian susulan, dan denda keterlambatan pembayaran uang kuliah juga menjadi pemicu, karena rata-rata mahasiswa di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan banyak hal-hal lainnya,” kata Mamat dalam releasenya (11/6).

Ia menjelaskan, gugatan tersebut adalah tindak lanjut dari gugatan yang dilakukan pada 2 Mei 2014 di kementrian pendidikan dan kebudayaan (KEMENDIKBUD).  Rektor UNTAG adalah perpanjang tangan menteri pendidikan dan Kebudayaan dalam melaksanakan pendidikan tinggi, lanjut dia.

“Dari berbagai peraturan perundang-undangan mulai dari undang-umdang Sistem Pendidikan Nasional hingga surat edaran direktorat jendral Pendidikan Tinggi secara jelas menyatakan bahwa Rektor tidak bisa menjabat jika tidak disetujui oleh Menteri,” katnya.

Rektor harus bertindak arif nan bijaksana dan sesuai dengan HAM, hukum dan Asas-Asas Pemerintahan yang Baik (AAUPB) karena merupakan Pejabat Tata Usaha Negara, harus jauh dari sifat arogan yang ditunjukkan dalam kasus ini.

“Sangat memalukan, aksi unjuk rasa mahasiswa yang damai dan tertib di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia di ganjar dengan hukuman yang begitu menohok, tindakan ini jelas mematikan hak atas pendidikan para mahasiswa. Penting juga untuk diketahui bahwa tindakan sewenang-wenang seperti ini bukan yang pertama kalinya terjadi,” ujarnya.

Hal serupa menimpa beberapa mahasiswa dari berbagai fakultas, lanjutnya yang berunjuk rasa pada bulan maret 2013. Ia berharap  majelis Hakim PTUN menyatakan bahwa SK Rektor UNTAG tersebut, bertentangan dengan HAM, Peraturan perndang-undang dan  AAUPB.

Selain itu, ia juga berharap agar mejleis Hakim dengan perkara nomor 87/G/2014/PTUN-JKT, membatalkan SK Rektor no. 87/G/2014/PTUN-JKT yang dirterbitkan pada 3 Februari 2014.

“Otoritas pendidikan di Indonesia seperti kementrian pendidikan dan kebudayaan agar turun tangan menangani pemecatan,skorsing dan pemberangusan organisasi mahasiswa ini, dan mahasiswa se Jabodetabek agar dapat menunjukkan solidaritas dalam kasus ini,” ujarnya. (NS)