Amos Sury'el
Marhaen,Jakarta_ Bangsa Indonesia seharusnya bangga memiliki para pendiri yang memiliki pemikiran jauh kedepan, pemikiran mereka masih sangat relevan hingga sekarang di era yang di sebut era-Globalisasi ini. Para pendiri bangsa seperti bung Karno, Hatta, Sjahrir hingga Tan Malaka sebenarnya meninggalkan warisan yang begitu berharga untuk anak-anak bangsa yaitu pemikiran-pemikiran mereka.

Salah satu pemikran tersebut, yang mungkin dilupakan oleh generasi muda saat ini, adalah pemikiran presiden pertama RI yang juga proklamator kemerdekaan, bung Karno. Bung Karno banyak meninggalkan pemikirannya baik yang sudah berbentuk konsep ataupun masih dalam berbentuk jargon. Salah satunya ialah Trisakti, sebuah ajaran yang berisikan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam sosial budaya.

Ajaran Trisakti ini yang kemudian di adopsi Fidel Castro dalam konteks Kuba, sehingga terjadi revolusi Kuba. Castro secara konsisten mengadopsi dan menerapkan Trisakti Soekarno.  Hal itu terbukti dengan penolakan segala bentuk imperialisme barat dan penolakan campur tangan IMF dalam menyelesaikan masalah negaranya, dan juga menolak pendiktean oleh negara-negara barat. selain itu, Castro juga menasionalisasi dan mengusir perusahan-perusahan asing yang menguasai Kuba pada saat revolusi. Negara Kuba berusaha untuk berdikari, dan tidak mau terikat atau di beli kedaulatannya oleh bangsa asing.

Namun sebaliknya, dengan alih-alih globalisasi dan alasan negara tidak bisa menutup diri, di era modern ini pemerintah Indonesia terus memberikan dirinya kepada cengkraman asing dan peraktek-peraktek kapitalis-liberalis. Kata globalisasi sering di jadikan alasan untuk tetap mengantungkan diri pada kekuatan barat, di tambah lagi banyak orang pintar di negeri ini seakan memikirkan kepentingan negara namun di balik semua itu mereka bagai sel kanker yang mematikan dan melemahkan semua sector di negeri ini, mulai dari politik, ekonomi dan kebudayaan.

Melihat hal ini, saya jadi mengingat sebuah kisah tentang perajurit Janisary milik kekaisaran Ottoman Turki, cuplikan kisahnya seperti ini. “Kekaisaran mengambil anak-anak Nasrani di wilayah-wilayah Timur tengah yang masih berusia anak-anak, mereka mendidik anak-anak tersebut dengan cara mereka. Ketika usia anak-anak tersebut di rasa cukup dan ilmu yang di tanamkan mereka rasa cukup anak-anak itu di pulangkan kepada keluarga mereka masing-masing dan selanjutnya mereka membawa misi membunuh keluarga mereka”.

Di era modern ini, hal yang samapun masih terjadi, bukan membunuh secara fisik namun secara system. Mungkin anda pernah mendengar tentang “Mafia Berkeley”? ini bisa di tarik persamaannya dengan Janisary yang telah saya kisahkan. Parah ahli ekonomi kita, ahli politik kita, dan semua ahli yang kita miliki di didik secara barat dan mengenyam pendidikan barat. Setelah mereka di rasa sudah sepemikiran dan sudah di susupi oleh pemahaman ideologi asing, mereka di kirim balik ke Indonesia dan melemahkan sistem yang ada di Indonesia.

 Seperti itulah yang di lakukan oleh bangsa asing, namun kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan asing karena kesalahan itu juga di sebabkan bangsa kita sendiri. Kita masih memiliki mental terjajah, karena mengangap semua yang berbau barat itu hebat.

Saya jadi teringat yang di katakana oleh tokoh sosialis Itali, Antonio Gramsci, “melepaskan sebuah bangsa dari penjajahan itu tidak membutuhkan waktu yang lama, namun melepaskan mental terjajah dari sebuah bangsa membutuhkan waktu yang sangat lama”.

Hal ini terbukti pada bangsa kita, Agustus nanti kita akan merayakan 68 tahun kemerdekaan negara kita, 68 tahun kita merdeka secara fisik. Namun secara mental kita masih terjajah. Berpatokan dari apa yang di ungkapkan Gramsci jelas terlihat bahwa kita masih terjajah secara mental, orang-orang kita masih beranggapan segala sesuatu yang berasal dari barat (asal mula para kolonialis penjajah berasal) adalah yang terbaik.

Apa yang di ungkapkan oleh Gramsci, nampaknya di amini oleh Soekarno saat negara kita masih sangat muda, dalam pidatonya di KAA (Konfrensi Asia Afrika) April 1955 berusaha menunjukan wajah modern dari kolonialisme, beliau mengungkapkan jangan melihat imperialism dalam bentuk yang kelasik yakni menjajah secara fisik namun harus melihat wajah imperialism dalam bentuk yang modern. Ini maksudnya adalah imperialsme yang menjajah secara mental kita bukan fisik lagi. Penjajahan dalam bentuk yang modern khiasan yang saya gunakan untuk mengungkapkan dan di gunakan juga oleh kebanyakan orang dengan sebutan “rantai”.

Oleh sebab itu, artukel ini saya beri judul “rantai-rantai yang mengikat trisakti bangsa”. Trisakti merupakan gagasan yang di ungkapkan bung Karno untuk bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang berdaulat. Secara singkat cuplikan dari Trisakti adalah sebagai berikut “Berdaulat dalam politik, berdikari dalam Ekonomi, berkepribadian dalam social budaya”. Ketiga hal penting dalam Trisakti adalah hal-hal vital yang harus di jaga oleh sebuah bangsa jika ingin mandiri dan menjadi bangsa yang besar serta berkepribadian. Yaitu:

1.    Politik
2.    Ekonomi
3.    Sosial dan Budaya


Jika ketiga hal ini di rantai dan di belenggu, sebuah bangsa akan menjadi lemah dan menjadi bangsa yang terjajah. Terjajah yang saya maksud bukan secara fisik, melainkan penjajahn dengan model dan gaya baru seperti yang saya sudah jelaskan di paragraph-paragraph di atas. Bagian berikut ini, saya akan membahas ketiga rantai yang membelenggu Trisakti bangsa Indonesia.

Memang hal yang pertama dalam Trisakti adalah Politik, namun, saya tidak akan membahas rantai yang mengingat politik terlebih dahulu melainkan saya akan membahas rantai yang lebih vital, dan dari segi inilah asalmuasal rantai-rantai yang lain datang. Ekonomi, adalah dasar dari semuanya, kita mulai di ikat di mulai dari rantai ekonomi. Rantai Ekonomi yang di gunakan adalah hutang dan dana-dana hibah yang sebenarnya memikiki maksud terselbung.

Hutang merupakan rantai yang di gunakan untuk mengikat, almarhum ibu saya selalu mengajarkan janganlah engkau berhutang. Karena hutang adalah dosa. Hutang juga membuat orang terikat dan tidak dapat bergerak dengan bebas. Hutang yang di berikan Indonesia berawal di awal era ORBA, di mana rezim membuka ruang untuk berhutang yang sebelumnya di tutup rapat-rapat oleh bung Karno.

Hal ini jelas membuat bangsa kita menjadi terikat dan tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka mulai menyematkan rantai yang kedua, yaitu rantai kedaulatan di bidang politik. Kita sering kali tidak berkutik jika di hadapkan dengan masalah-masalah politik yang menyangkut kedaulatan negara kita. Sering kali kedaulatan kita tidak di hargai, dan di permainkan oleh bangsa asing. Banyak contoh kasus yang anda bisa liat selama beberapa decade terakhir ini seputar kedaulatan kita yang di permainkan.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) dan anggota LPM Diamma Universita Prof. Dr. Moestopo.