Darwin Nasution


Marhaen , Jakarta -Abstraksi : Satu tahun setelah terselenggaranya Konferensi Asia Afrika di Bandung, Bung Karno setelah mengunjungi beberapa negara, beberapa hari melakukan kunjungan resminya di Republik Rakyat Tiongkok. Hubungan persahabatan diantara kedua bangsa tersebut pada tahun-tahun itu sangat mesra dan mempunyai cita-cita bersama yaitu melenyapkan kolonialisme dan imperialisme dari muka bumi untuk selama-lamanya guna mencapai cita-cita yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat adil makmur dan terciptanya perdamaian dunia.

Kata Kunci : Bung Karno, Indonesia dan Tiongkok, TAP MPRS No. No. 33/1967

Naga Merah di Tahun Ketujuh

Waktu menunjukan pukul dua siang. Satu hari menjelang tujuh tahun perayaan hari berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Setelah mengunjungi Republik Rakyat Mongolia, Bung Karno menginjakkan kakinya di kota Beijing. Hari itu udara sedikit dingin sebab kota Beijing sudah memasuki musim gugur dengan suhu udara 22-12 derajat celcius. 

Kedatangan Bung Karno di Tiongkok secara khusus disambut oleh Ketua Mao Zedong, Perdana Menteri Zhou Enlai, Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Marsekal Zhu De, isteri Presiden Republik Tiongkok Pertama Dr. Sun Yatsen yaitu Song Qingling dan pemimpin Tiongkok lainnya baik itu dari Partai Komunis Tiongkok serta Partai-partai lainnya yang tergabung dalam Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok. Sorak sorai ribuan rakyat Tiongkok begitu hangatnya ikut menyambut kedatangan presiden dari negeri seribu pulau dan penggagas utama Konferensi Asia Afrika yang fenomenal tersebut. 

Lagu Indonesia Raya dan Barisan Para Sukarelawan pun berkumandang yang dimainkan oleh Tentara Pembebasan Rakyat. “Indonesia Raya Merdeka Merdeka Tanahku Negeriku yang Kucinta”, “Rakyat Tiongkok telah sampai pada masa yang paling berbahaya. Setiap orang dipanggil untuk bertindak. Bangkit! Bangkit! Bangkit!”. Begitu kira-kira, syair-syair lagu kebangsaan dua negara yang lahir pada saat suasana revolusi dan diciptakan oleh para komposer revolusioner dari negeri Asia berseru memanggil seluruh rakyat dunia yang masih terbelenggu oleh kolonialisme dan imperialisme untuk merdeka dan bangkit melawan.

Sambil tersenyum, Bung Karno yang pada saat itu menggunakan seragam kebesarannya sebagai pemimpin tertinggi angkatan perang Indonesia dan kopiah hitamnya berpidato didepan ribuan rakyat Tiongkok, “Setelah saya mengunjungi Uni Soviet, Yugoslavia, Austria, Czekoslovakia dan Mongolia, hari ini saya tiba di Peking disambut dengan meriah dan hangat. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara-saudara sekalian. 

Ucapan terima kasih ini bukan hanya dari diri pribadi saya saja tetapi ucapan terima kasih dari 82 juta rakyat Indonesia. Rasa hormat saudara-saudara sebenarnya adalah ditujukan untuk menghormati rakyat Indonesia. Tanpa rakyat, saya ini hanyalah orang biasa. Tanpa rakyat, saya ini bukan apa-apa. Saya ini bukanlah pemberi kemerdekaan rakyat Indonesia, tetapi kemerdekaan Indonesia itu berasal dari perjuangan rakyat Indonesia. 

Saya ini  bukanlah bapak rakyat Indonesia, tetapi saya adalah putera rakyat Indonesia. Oleh karena itu, rasa hormat saudara-saudara kepada saya, akan saya tujukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Saat ini saya bersama dengan rakyat Tiongkok. Bersama dengan 600 juta rakyat Tiongkok yang tiada henti-hentinya berjuang mencapai cita-cita. 

Saya berada disini demi untuk menguatkan hubungan persahabatan diantara rakyat Indonesia dan Tiongkok. Saya sangat percaya bahwa kerjasama persahabatan yang baik ini sangat mudah untuk dilaksanakan karena cita-cita rakyat Tiongkok dan Indonesia begitu banyak persamaannya. Mari kita bersama-sama untuk maju, wujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, dan wujudkan dunia yang damai abadi. Terima kasih!” Selama Bung Karno berpidato, tidak henti-hentinya rakyat Tiongkok bertepuk tangan.

“Hidup Persahabatan Rakyat Tiongkok dan Indonesia”, “Hidup Presiden Sukarno”, “Merdeka Bung”, sambil menjulurkan tangan mereka, pemuda-pemudi Tiongkok berusaha untuk bisa bersalaman dengan Bung Karno dan Ketua Mao. 

Bunga selamat datang diberikan kepada Bung Karno. Empat puluh menit kemudian, Bung Karno bersama Ketua Mao mengendarai mobil Ragtops diiringi dengan kendaraan yang ditumpangi oleh para pemimpin Tiongkok lainnya. Sepanjang 20 km perjalanan dari Bandar Udara Beijing menuju tempat kediaman para pemimpin RRT di Zhongnanhai, seratus ribu lebih warga kota Beijing tumpah ruah dan kata-kata sambutan selamat datang ditujukan untuk Bung Karno. 

“Salut untuk Bung Karno”, “Hidup Persahabatan yang Tak Terpatahkan antara Rakyat Indonesia dengan Rakyat Tiongkok”, “Hidup Perdamaian Asia Afrika dan Dunia”. Tak ketinggalan pula, bendera merah putih dan bendera merah lima bintang berkibar dimana-mana sebagai lambang persahabatan yang erat diantara kedua bangsa. 

Malam harinya, Ketua Mao mengundang Bung Karno dan PM Nepal Tanka Prasad Acharya untuk makan malam bersama. Hadir pula Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu yaitu Roeslan Abdulgani, dan Duta Besar Indonesia untuk RRT Sukardjo Wirjopranoto menemani Bung Karno. Sedangkan Ketua Mao sendiri ditemani oleh Zhou Enlai, Zhude, Liu Shaoqi, Song Qingling dan Chen Yi.

Mereka duduk dalam satu meja bersama. Dalam suasana yang hangat dan bersahabat, mereka saling tertawa dan menikmati makan malam masakan tradisional rakyat Tiongkok yang terkenal enak dan nikmat. Acara tersebut diabadikan oleh para jurnalis dari Indonesia dan Tiongkok. Bahkan sampai sekarang foto Bung Karno dan Ketua Mao disaat makan malam bersama tersebut bisa kita lihat dalam bentuk poster maupun kalender yang terpampang dalam rumah-rumah rakyat Indonesia yang masih mencintai Bung Karno.

Pada saat itu, Ketua Mao memberikan kata sambutan untuk para tamu yang hadir, “Para sahabat dan kawan-kawan semuanya, selamat datang di negeri kami, selamat datang di acara berdirinya negeri kami, kami ucapkan semoga sehat selalu untuk para sahabat dan kawan-kawan semuanya”. Bung Karno ikut mengucapkan selamat atas berdirinya Republik Rakyat Tiongkok yang ketujuh, “Saudara-saudaraku sekalian, hari ini saya senang sekali bisa menghadiri hari berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.

Saya ucapkan selamat untuk seluruh rakyat Tiongkok. Kemenangan Republik Rakyat Tiongkok, bagi kami adalah seperti kemenangan Republik Indonesia. Kita adalah teman dekat. Saya berharap agar Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia bisa maju dan bekerja bersama mencapai perdamaian dunia dan makmur bersama”. Tidak pula ketinggalan, PM Tanka Prasad Acharya dan PM Zhou Enlai ikut memberikan sambutan dan ditutup dengan bersulang ucapan selamat akan berdirinya RRT ketujuh dan terciptanya perdamaian dunia oleh PM Zhou Enlai. Ganbei!

Saat itu Bung Karno tidak menyia-nyiakan waktunya untuk tidak bercengkerama secara pribadi dengan Ketua Mao sebagai pemimpin besar revolusi Tiongkok yang sangat menggemparkan dunia sampai sekarang ini. Sambil bercengkerama, Bung Karno memegang tangan Ketua Mao, “ Tangan ini adalah tangan orang besar dari Timur”. Bung Karno melihat Ketua Mao sangat menikmati rokok yang dihisapnya. Bung Karno bercanda dengan Ketua Mao, “Kalau aku lihat, Ketua Mao dalam hal merokok adalah tidak ada duanya. Asap rokok yang mengepul tinggi bagaikan sepercik api yang dapat membakar ladang ilalang”. Sontak saja, semua orang yang mendengar pada saat itu langsung tertawa.

Ketua Mao pun pada hari ketiga Bung Karno di Tiongkok yaitu pada saat makan malam di Balai Huairen Zhongnanhai membalas candaan Bung Karno. Ketua Mao sangat tahu kalau Bung Karno itu sangat suka dengan masakan pedas, “Kalau aku lihat, Bung Karno dalam hal memakan cabai, saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Bung”. Padahal semua orang tahu bahwa Ketua Mao ini adalah orang Hunan yang sangat terkenal suka makan cabai.

Menurut penuturan cerita dari para pegawai Hotel Beijing yang pada saat itu ditugaskan oleh pemerintah Tiongkok untuk melayani segala kebutuhan dan keperluan Bung Karno. 

Selama Bung Karno di Tiongkok, para pemimpin negara maupun PKT sering mengunjungi Bung Karno. Wakil Ketua Zhu De dan PM Zhou Enlai terkadang dengan keluarga mereka, seharian penuh atau sekedar makan bersama.

Keakrabatan yang penuh rasa persahabatan tersebut juga bisa dilihat dari seringnya Ketua Mao menemui Bung Karno. Seperti yang diceritakan oleh para pegawai Hotel Beijing tersebut, ketika itu Ketua Mao sebagai pemimpin tertinggi di Tiongkok tidak pernah menunjukkan sekalipun di depan Bung Karno sebagai seorang Ketua. Namun justru sebaliknya, sikap yang sangat bersahabat membuat kedua pemimpin negara Asia tersebut semakin akrab. Semua orang melihat mereka berdua seakan-akan seperti dua orang yang sudah bersahabat sejak lama.

Ketua Mao sering memberikan bunga kepada Bung Karno sebagai tanda persahabatan yang erat diantara kedua pemimpin tersebut dan sebagai representasi dari dua bangsa besar. 

Ketua Mao memanggil Sukarno seperti kebiasaan rakyat Indonesia memanggil Sukarno yaitu Bung Karno. Begitu juga Bung Karno memanggil Mao Zedong dengan sebutan Ketua Mao seperti rakyat Tiongkok memanggil Mao Zedong. Bung Karno paham betul penggunaan kata “Ketua” yang dalam bahasa Mandarin adalah “Zhuxi”, maknanya tidak sama dengan penyebutan “Presiden” di negeri-negeri Barat. Bagi rakyat Tiongkok, penggunaan kata “Presiden” atau dalam bahasa Mandarin adalah “Zongtong” lebih bersifat kebarat-baratan dan borjuis. Presiden Tiongkok pertama hasil Revolusi Xinhai 1911 yaitu Dr. Sun Yatsen sendiri pun dipanggil dengan sebutan Zhuxi karena sifatnya lebih revolusioner. 

Masalah Taiwan dan Irian Barat

Indonesia dan Tiongkok saling memberikan dukungan dalam kancah dunia politik internasional. Misalkan saja, Tiongkok mendukung terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika, mendukung perjuangan rakyat Indonesia membebaskan Irian Barat (sekarang Papua) dari belenggu kolonialis Belanda. Begitupun sebaliknya, Indonesia adalah salah satu negara yang paling dini mengakui Tiongkok baru, mendukung RRT masuk sebagai anggota PBB dan kebijakan “Satu Tiongkok”. Liu Yentong, salah seorang politbiro PKT dibawah kepemimpinan Hu Jintao mengatakan bahwa, “Bangsa Tiongkok masih ingat betul bagaimana Bung Karno dengan gigih memperjuangkan Republik Rakyat Tiongkok agar menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB." 

Ketua Mao sangat menghormati Bung Karno karena berani melawan kolonialisme dan imperialisme. Pada saat Konferensi Asia Afrika, Bung Karno dengan lantang mengatakan bahwa dengan diselenggarakannya KAA di Bandung maka Asia dan Afrika baru telah lahir. Getaran tersebut sampai kepada telinga Ketua Mao dan mempengaruhi pikiran Ketua Mao. Khususnya adalah pada saat Bung Karno berpidato di depan Kongres AS yang mengutuk kolonialisme dan harus dimusnahkan di muka bumi ini karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karena itu, Ketua Mao mengatakan kepada Bung Karno, “Konferensi Bandung adalah konferensi yang sangat menggemparkan seluruh dunia. Dalam beberapa tahun ini, dunia telah berubah sangat banyak. Apakah Bung tidak merasakan itu semua?” Bung Karno merasakan hal yang sama, “Itu betul sekali. Dimanapun aku berada, semua orang membicarakan tentang Konferensi Bandung”. 

Ketua Mao mengapresiasi keberanian Bung Karno, “Membaca pidato Bung di AS, kami sangat gembira. Di negeri tersebut, pidato Bung sangatlah bagus, pidato Bung sebagai representasi dari seluruh Asia”. Dengan rasa percaya diri Bung Karno membalas pernyataan Ketua Mao, “Saya pikir saya berbicara untuk Asia”. Ketua Mao menambahkan, “Sebenarnya, Bung telah mewakili Asia, Afrika dan Amerika Latin”. Sambil bercanda, “Pelayanan di AS bagus kah?” Bung Karno menjawab, “Pada umumnya rakyat AS menyambut saya dengan sangat hangat. Namun kebanyakan dari pemimpin AS tidak senang. Karena saya berbicara apa adanya. Mereka tidak menyukainya. Kemanapun saya pergi, para jurnalis selalu bertanya kepada saya, bagaimana tanggapan Indonesia apabila Tiongkok masuk kedalam Persatuan Bangsa-bangsa? Dengan tegas kami menjawabnya, Tiongkok harus bergabung kedalam PBB sebab apabila 600 juta rakyat Tiongkok tidak terwakili kedalam PBB maka PBB menjadi tempat yang diperolok-olok”.

Sudah sejak lama RRT ingin bergabung kedalam PBB dan telah menjadi perhatian internasional. Ketua Mao ingin mendengar sendiri pandangan Bung Karno mengenai masalah tersebut, “Menurut Bung, apakah Tiongkok bergabung dengan PBB, lebih awal atau telat sedikit?”. Bung Karno menjawabnya, “Lebih awal lebih bagus”. Atas tanggapan Bung Karno tersebut, Ketua Mao menanggapinya dengan berkata perlahan-lahan, 

“Bergabung dengan PBB lebih awal atau belakangan, kami sudah mempersiapkan semuanya”.

Bung Karno berpandangan bahwa apabila Tiongkok tidak bergabung ke dalam PBB maka imperialisme akan semakin bengis.

Namun apabila Tiongkok bergabung kedalam PBB maka Tiongkok akan bisa memainkan peranannya untuk menghadapi segala upaya imperialis menanamkan dan menamcapkan kuku-kukunya di negeri-negeri yang dikontrol oleh mereka. Ketua Mao menanggapi pandangan Bung Karno tersebut sangat senang. Namun menurut Ketua Mao, “Permasalahannya adalah karena masalah Taiwan maka Tiongkok agak telat untuk masuk kedalam PBB. Enam ratus juta rakyat Tiongkok tidak masuk kedalam PBB itu tidaklah adil. PBB harus ada satu Tiongkok yaitu RRT. 

Tidak boleh ada Tiongkok lainnya selain RRT. Jika di dalam PBB ada perwakilan Taiwan maka RRT tidak mau masuk kedalam PBB.“

Ketua Mao mempunyai pandangan bahwa, “RRT adalah negara besar tetapi bukan negara yang kuat. Banyak orang yang tidak menganggap RRT, jadi mengapa harus terburu-buru bergabung kedalam PBB. Kami akan berfokus untuk menjalin persahabatan dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin serta setengah dari negara-negara di Eropa. Untuk menghadapi AS kami sudah mempersiapkannya dengan baik yaitu (1) terus berjuang; (2) tidak terlalu terburu-buru”. Ketua Mao juga berpandangan bahwa ada masalah lainnya yaitu embargo terhadap RRT, “Kami saat ini sangat kekurangan apel, kacang, kedelai. Kami bisi menunggu selama 11 tahun, dan sampai pada saat itu adalah rencana pembangunan lima tahun yang ketiga telah selesai, embargo dihapus kami bergabung kedalam PBB. Maka AS akan menyesal nantinya. Pada akhirnya semua itu harus berdasarkan inisiatif kami sendiri dan teman-teman kami.” 

Untuk masalah Taiwan, Ketua Mao percaya hanya ada dua jalan yaitu satu melalui Washington dan dua melalui Beijing. Berdasarkan situasi internasional pada saat itu, Ketua Mao berpandangan bahwa “jalan pertama tidaklah mungkin, namun pada suatu hari nanti, AS akan mengkhianati Taiwan. AS akan melepaskan perkawanan mereka dengan Taiwan. Kami akan memperbaiki kerjasama dengan mereka. Kami pernah bekerjasama dua kali, lalu mengapa kami tidak bisa bekerjasama untuk ketiga kalinya?” Atas analisis yang dalam dan pandangan yang fleksibel dan jauh kedepan dari Ketua Mao, Bung Karno sangat mengagumi Ketua Mao, “Analisis dan pandangan Ketua Mao sangat wajar, realistis dan sangat bagus”. Bung Karno juga memuji Ketua Mao, “Anda memang murid Kong Hucu yang pandai”. 

Benar saja, setelah tahun 1960, situasi internasional telah berubah drastis. Banyak negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin telah merdeka dan masuk menjadi anggota PBB dimana sebelumnya hanya berjumlah 60 negara sedangkan pada saat itu sudah menjadi 99 negara. Maka pada Sidang PBB ke-16 di tahun 1961, suara yang mendukung RRT bergabung kedalam PBB dari 11 suara menjadi 42 suara, sedangkan suara abstain dari 4 suara menjadi 22 suara. Hingga pada tahun 1971, situasi perang dingin mulai mengalami perubahan besar. Politik diplomasi pingpong yang dimainkan oleh Ketua Mao dan PM Zhou Enlai telah menggemparkan dunia. Kemudian dilanjutkan dengan kedatangan Kissinger dan Nixon secara berturut-turut mengunjungi Tiongkok. Hubungan antara RRT dan AS mulai mencair dan betul saja apa yang dianalisis oleh Ketua Mao pada saat berdiskusi dengan Bung Karno bahwa AS telah mengkhianati Taiwan. 25 Oktober 1971, Sidang PBB ke-26 memutuskan pemulihan kedaulatan yang sah untuk RRT di PBB. Berarti Taiwan telah kehilangan kursi mereka di PBB dan tidak lagi perlu untuk mengadakan vote atas masalah kursi Taiwan. Suara yang mendukung RRT adalah 76 berbanding 35 suara yang diajukan oleh Albania, Al Jazair dan 23 negara lainnya. Setelah itu Taiwan telah ditendang jauh-jauh dari keikutsertaan mereka di PBB. Setelah 23 tahun berjuang, kedaulatan RRT akhirnya pulih kembali. 

Begitu pula dengan masalah Irian Barat. Dari hasil diskusi tersebut akhirnya Bung Karno mendapatkan inspirasi dalam merebut kembali Irian Barat dari kolonial Belanda yaitu di satu sisi tetap berjuang melawan imperialis AS tetapi di sisi lain adalah bekerjasama. Masalah Irian Barat menurut Bung Karno tidak bisa diselesaikan dalam waktu lima atau enam tahun bahkan bisa lebih. Perjuangan panjang Indonesia sejak Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, Sidang Umum PBB 1954 dan 1955, Konferensi Kolombo 2 Mei 1954, Komunike Panca Negara : Birma, Srilanka, India, Pakistan dan Indonesia 29 Desember 1954 di Bogor, Konferensi Asia Afrika 1955,  pertempuran Laut Arafuru yang telah menggugurkan Komodor Laut Yos Sudarso pada 15 Januari 1962, pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 1960, Bunker Proposal 15 Agustus 1962 di New York, lihainya Bung Karno di panggung internasional sampai pada Pepera. Maka seperti kata Bung Karno “sebelum ayam jantan berkokok’ pada 1 Mei 1963, Irian Barat kembali kepada pangkuan ibu pertiwi.

16 Hari 10 Kota 14 Kali Berpidato
  
Selama di Beijing Bung Karno sempat mengunjungi Istana Terlarang, Taman Beihai, Kuil Surga, Istana Musim Panas. Kemanapun Bung Karno pergi, suara-suara “hidup persahabatan rakyat Indonesia dan Tiongkok” selalu bergema. Bung Karno juga berpidato di Balai Agung Rakyat Tiongkok, Universitas Tsinghua dan Balai Huairen yang sering dijadikan tempat pertemuan-pertemuan politik dan kegiatan malam seni budaya. Bung Karno pada saat itu kurang puas dengan hasil terjemahan para penterjemah dari pemerintah Tiongkok dan akhirnya memutuskan Situ Meisheng sebagai sekretaris pribadi sekaligus penterjemah Bung Karno. Sepuluh kota di Tiongkok yang dikunjungi Bung Karno dan empat belas kali Bung Karno berpidato, sebelas kalinya Situ Meisheng menterjemahkan pidato-pidato Bung Karno yang terkenal sangat luas dan dalam. Situ Meisheng sendiri sebenarnya adalah sahabat lama dari PM Zhou Enlai dan merupakan murid dari teman sekelas Ketua Mao yaitu Zhang Guoji yang pada tahun 1922 meninggalkan Singapura menuju pulau Jawa. Situ Meisheng adalah keturunan Tionghoa yang pada saat berusia 19 tahun pernah menjadi wartawan magang di kantor surat kabar harian Tian Shen dan untuk pertama kali diutus untuk menghadiri Konferensi Nasional Indonesia Pusat yang diadakan di kota Malang. 

6 Oktober 1956, Bung Karno meninggalkan Beijing ditemani oleh Ketua Mao dan pemimpin Tiongkok lainnya. Mereka berjabat tangan. Bung Karno didepan sepuluhribu orang yang hadir mengucapkan terima kasih, “Saya mengundang saudara-saudara sekalian dan Ketua Mao untuk mengunjungi Indonesia.” Bung Karno mengatakan kepada Ketua Mao, “Saya harap saya bisa bertemu kembali dengan Ketua Mao di Indonesia. Rakyat Indonesia menanti Saudara”. Ketua Mao menerima undangan Bung Karno tersebut, namun karena banyak alasan sejarah ketika itu maka Ketua Mao tidak pernah mengunjungi negeri seribu pulau yang sangat indah dan subur tersebut, Indonesia. Bung Karno tidak hanya sekali mengunjungi RRT, untuk yang kedua dan ketiga kalinya yaitu pada 1961 dan 1964 Bung Karno berobat dan menemui sahabat lamanya, Ketua Mao. Kedatangan Ketua Mao sendiri diwakili oleh Song Qingling pada Agustus 1956 dan disusul oleh Liu Shaoqi pada tahun 1963 mengunjungi Indonesia.

Sebelum Bung Karno meninggalkan Beijing, Bung Karno menyempatkan diri untuk menemui para pegawai Hotel Beijing yang selama Bung Karno di Tiongkok telah memberikan pelayanan yang baik. “Setiap kali saya bertugas ke luar negeri, pasti saya selalu membawa staf saya untuk membantu keperluan saya karena mereka sudah memahami saya. Namun disaat saya di Beijing, saya sangat menyukai saudara-saudara yang telah membantu keperluan saya disini. Tugas kalian sangat bagus dan memuaskan. Jikalau saya ke Tiongkok kembali, saya tidak akan membawa staf-staf pelayan saya”. Sebagai rasa terima kasih, Bung Karno memberikan kenang-kenangan kepada para pegawai Hotel Beijing tersebut berupa kotak rokok yang terbuat dari perak. Tentu saja para pegawai Hotel Beijing tersebut sangat menyukai hadiah dari Presiden Indonesia tersebut dan merupakan kehormatan yang tak terhingga bisa mendapatkan hadiah dari pemimpin besar revolusi dari Indonesia.

Setelah meninggalkan kota Beijing, Bung Karno mengunjungi kota lainnya di Tiongkok, seperti kota-kota di propinsi Liaoning, Jilin, Jiangsu, Shanghai, Zhejiang, Guandong, Yunnan dan kota lainnya. Sepuluh hari terakhir, Bung Karno mengunjungi kota-kota di Timur Laut Tiongkok, berjalan di pinggir sungai Huangbu, memberikan penghormatan terhadap bapak nasionalis Tiongkok Dr. Sunyatsen di Mauseleum Sun Yatsen, menikmati keindahan danau Barat (Xizi Hupan). Bung Karno benar-benar merasakan persahabatan yang hangat dari bangsa Tiongkok. Tak lupa pula, Bung Karno mengirimkan surat kepada Ketua Mao atas persahabatan yang hangat tersebut. 

15 Oktober 1956, Bung Karno tiba di selatan Tiongkok, kota Kunming Propinsi Yunnan. Enambelas hari lamanya Bung Karno berada di RRT dan tidak akan pernah melupakan saat-saat yang indah disana. Menurut Roeslan Abdulgani, “Bung Karno adalah seorang insinyur, beliau tidak pernah melihat pembangunan jembatan besi, tetapi di Tiongkok, kami telah menemukan pembangun jembatan persahabatan negara yaitu Ketua Mao”. Menanggapi pernyataan dari Menteri Luar Negeri RI tersebut, PM Zhou mengatakan bahwa, “Pertemuan antara Bung Karno dan Ketua Mao telah menjembatani persahabatan antara 600 juta rakyat Tiongkok dengan 82 juta rakyat Indonesia. Melewati gunung dan menyatukan samudera. Jembatan persahabatan ini akan abadi selamanya.”

Fitnah Terhadap Bung Karno dan Ketua Mao

Barat sering kali mengatakan bahwa pimpinan PKT berusaha merebut pengaruh mereka di kalangan para pemimpin negara non-komunis. Mereka menganggap, sikap bersahabat yang ditujukan kepada para pemimpin negara non-komunis adalah lebih bersifat propaganda.  Misalkan, keikutsertaan RRT dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di tahun 1955 adalah sebuah bentuk upaya Tiongkok untuk mencaplok negara-negara Asia Afrika dan PM Zhou Enlai mewakili komunis Tiongkok akan memainkan keahlian diplomatiknya pada saat KAA untuk menyebarkan komunisme dengan berkedok anti-kolonialisme. 

Untuk menghadapi masalah besar ini maka pada 7 Januari 1955, Menteri Sekretaris Negara AS John Foster Dulles memanggil Direktur CIA Allen Dulles, Deputi Wakil Menteri untuk Urusan Pasifik Robert Murphy dan Asisten Menteri Luar Negeri untuk Timur Jauh Walter S. Robertson untuk membahas posisi AS di KAA. Delapanbelas hari kemudian, Dulles mengarahkan duta-duta besar AS di negara-negara yang bersahabat baik dengan AS untuk (1) mendorong negara-negara sahabat AS menghadiri KAA dan mengirim orang yang paling kompeten untuk acara tersebut; (2) menggagalkan komunis untuk mencapai tujuan mereka di KAA; (3) bekerjasama dengan delegasi non-komunis secara efektif dan konstruktif untuk mengalahkan komunis. Bahkan untuk menggagalkan keikutsertaan RRT di KAA, Chiang Kaisek sebagai kepanjangan tangan AS berencana mengirimkan agen mata-matanya untuk membunuh PM Zhou Enlai pada saat keberangkatannya ke Indonesia. Kode operasi diberi nama “No. 1”. Namun operasi pembunuhan tersebut gagal, sebab pesawat Kahsmir Princess Air India yang disewa oleh pemerintah Tiongkok pada saat peledakkan, PM Zhou Enlai tidak ada didalamnya. Hanya delegasi pertama yang berada dalam pesawat tersebut. PM Zhou Enlai sendiri berada di Yangon Birma bersama beberapa perdana menteri peserta KAA.

Tuduhan dari Barat tersebut ditepis oleh para pemimpin PKT dimana sebelumnya yaitu pada Oktober 1954 ketika PM Jawaharlal Nehru berkunjung ke RRT, PM Zhou Enlai mengatakan bahwa perlunya dibentuk front persatuan internasional untuk membangun perdamaian dunia. Ia berpandangan bahwa ada 3 kategori diluar kubu sosialis/komunis (1) dipimpin oleh AS; (2) dipimpin oleh Perancis dan Inggris yang sedang mempertahankan status quo; (3) dipimpin oleh India yang menginginkan perdamaian dunia. “Kami ingin mengisolasi AS, melawan kategori kedua, bersatu dengan kategori ketiga”, demikian Zhou Enlai mengatakannya kepada Nehru. Ini juga dibuktikkan pada saat PM Zhou Enlai berpidato pada saat KAA. Sebelumnya wakil dari Irak dan Philipina menuduh Tiongkok sebagai corong komunis internasional dan akan menggagalkan terciptanya perdamaian dunia. PM Zhou Enlai bersama PM Jawaharlal Nehru dan U Nu  dimana setelah mereka bertemu di Yangon telah mencapai persetujuan mengenai Lima Prinsip Koeksistensi Secara Damai yaitu (1) Saling menghormati kedaulatan dan wilayah teritorial; (2) Non-Agresi; (3) Saling tidak mengintervensi masalah internal masing-masing negeri; (4) Sama derajat dan saling menguntungkan; dan (5) Koeksistensi secara damai antar negeri-negeri yang berbeda sistem sosial. Lima prinsip inilah yang akhirnya ditambah dengan lima prinsip lainnya menjadi Dasasila Bandung yang terkenal itu. Justru sebaliknya tindak tanduk AS sampai saat ini berlagak seperti polisi dunia dan merobek-robek prinsip-prinsip Dasasila Bandung.

Sikap bersahabat yang ditujukan para pemimpin Tiongkok tersebut bukanlah propaganda melainkan bentuk penerapan ideologi yang mereka yakini yaitu tidak dogmatis, luwes dalam bertindak tetapi tetap teguh dalam memegang prinsip. Inilah salah satu kemenangan PKT merebut hati massa rakyat Tiongkok dalam melawan imperialis Jepang dan menendang Chiang Kaisek boneka negara-negara Barat. Kekuatan PKT dari yang lemah menjadi kuat berbanding dengan kekuatan Kuomintang Chiang Kaisek yang didukung oleh Barat dari kuat menjadi lemah, salah satunya adalah memegang prinsip-prinsip tersebut. Kekuatan borjuasi nasional yang sebelumnya anti terhadap perjuangan PKT akhirnya memutuskan untuk bersama-sama PKT menghadapi imperialis Jepang dan Chiang Kaishek. Tanpa memegang prinsip-prinsip tersebut, akan sangat sulit sekali bagi PKT merebut kekuasaan di Tiongkok yang luas wilayah dan besar jumlah penduduknya. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan seperti membalikkan telapak tangan lalu mengucapkan simsalabim maka terjadilah apa yang dikehendaki. Darah dan air mata bisa kita baca dalam catatan sejarah perjuangan rakyat Tiongkok dalam menghadapi sistem yang menghisap dan menindas mereka selama beribu-ribu tahun. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian.  

Beberapa cendikiawan Barat banyak yang bersikap sinis, menuduh bahkan memfitnah hubungan mesra dan bersahabat antara para pemimpin Tiongkok dengan para pemimpin negara-negara New Emerging Forces. Victor Miroslav Fic menuduh Ketua Mao adalah dalang dari peristiwa Gestok. Menurut Fic, Ketua Mao memberikan nasehat kepada DN Aidit untuk segera menghabisi para jenderal dan perwira reaksioner dalam sekali pukul maka angkatan darat akan menjadi seekor naga yang tak berkepala dan akan mengikuti Partai Komunis Indonesia. Selanjutnya Fic semakin keji memfitnah Bung Karno dimana Bung Karno ikut terlibat dalam perjanjian rahasia antara Bung Karno, Ketua Mao dan DN Aidit yaitu salah satunya adalah Bung Karno akan beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa Tiongkok.

Begitu juga pasangan suami isteri Jung Chang dan Jhon Halliday dalam buku mereka yang berjudul Mao : Kisah-kisah yang Tak Diketahui. Chang dan Halliday menulis bahwa Bung Karno yang pro-Peking selalu ditekan oleh pimpinan PKT untuk melakukan perombakan radikal di kalangan angkatan darat dan dengan dukungan Bung Karno terhadap PKI maka kader-kader PKI berhasil menyusup ke dalam tubuh angkatan darat. Chang dan Halliday juga menyebutkan bahwa begitu para jenderal angkatan darat dibantai maka PKI akan mampu menguasai angkatan darat dan Bung Karno untuk sementara waktu akan memainkan peran-perannya sebagai pemimpin boneka. Ikut memperkuat argumen mereka, Chang dan Halliday mendapatkan informasi dari Ketua Partai Komunis Jepang Miyamoto yang mengatakan bahwa bagi Ketua Mao, Gestok itu adalah sebuah kebangkitan dari PKI.

Menurut Suar Suroso Sekretaris DPP Pemuda Rakyat di tahun 1956 yang saat ini menetap di Tiongkok, tuduhan dari Victor M. Fic, Jung Chang dan Jon Halliday adalah bentuk fitnah yang sangat keji terhadap Bung Karno, Mao Zedong dan DN Aidit. Suar Suroso memblejeti kebohongan dan fitnah mereka dalam buku terbarunya yang akan diterbitkan oleh Penerbit Ultimus Bandung. Menurut Suar, Fic mendasarkan pendapatnya atas surat DN Aidit yang bertanggal 10 November 1965. Surat tersebut adalah palsu dimana menurut Suar terdapat kejanggalan-kejanggalan baik dalam segi isi maupun bentuk surat. Kemudian, Suar juga memblejeti fitnah keji dari Chang dan Halliday yang menggunakan informasi dari Kenji Miyamoto. Menurut Suar, justru pada saat itu hubungan antara PKT dibawah kepemimpinan Ketua Mao berseberangan dan berbeda pandangan dengan Partai Komunis Jepang (PKJ) dibawah kepemimpinan Kenji Miyamoto yang telah meninggalkan garis Snazo Nosako. PKT bahkan beranggapan bahwa PKJ dibawah kepemimpinan Kenji Miyamoto adalah pengkhianat Marxisme-Leninisme yang memalukan. Oleh karena itu bagi Suar, sulit mempercayai kebenaran dan ucapan Kenji Miyamoto mengenai tindak tanduk Ketua Mao, terutama mengenai pandangan Ketua Mao tentang Partai Komunis Jepang dan Partai Komunis Indonesia.

Yusuf Ishak dalam kata sambutan buku biografi Zhou Enlai karya Han Suyin berpendapat bahwa tulisan Antonie C.A. Dake, Victor Miroslav Fic, dan Lambert J. Giebels tentang Bung Karno tidak lain adalah comberan. Yusuf Ishak menambahkan bahwa buku-buku yang dikarang oleh mereka merupakan semata-mata melayani pesanan pemberi kerja yang disisipkan dengan gosip isapan jempol yang berasal dari kutipan yang dikutip dari kutipan yang mengutip lagi dari kutipan lain dan diyakini bahwa semua kutipan tersebut adalah otentik.

Buku karangan Chang dan Halliday Mao: The Unknown Story sendiri banyak dikritik oleh para cendikiawan Barat seperti Prof. Andrew Nathan dari Universitas Columbia yang mencatat bahwa "banyak penemuan mereka berasal dari sumber yang tidak jelas, sedangkan yang lainnya bersifat spekulatif atau didasarkan pada bukti-bukti tak langsung, dan beberapa hal tidaklah benar." Demikian pula, Prof. Jonathan Spence dari Universitas Yale berpendapat di New York Review of Books bahwa “penulis berfokus untuk merusak Mao dimana banyak kekuatan cerita mereka mungkin tidak ada.” Pada Desember 2005, surat kabar The Observer menyatakan bahwa banyak kalangan akademisi secara luas mempertanyakan akurasi faktual beberapa klaim dari Chang dan Halliday. David SG Goodman, Profesor di bidang ilmu Politik Tiongkok dari University of Sydney menulis dalam The Pacific Review bahwa tersebut, seperti contoh lain dari sejarah revisionis, tersirat bahwa ada "konspirasi akademisi dan sarjana yang telah memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran." Goodman juga mempertanyakan metodologi dan penggunaan sumber serta kesimpulan tertentu yang diambil oleh Chang dan Halliday. Begitu pula profesor sosiologi di University of Southern California Robert Weil, menerbitkan buku To be Attacked by the Enemy is a Good Thing yang mencoba mengekspos motif berbahaya dari Chang dan Halliday menulis buku tersebut dan masih banyak para sarjana Barat yang mengkritik habis-habisan buku tersebut.

Fakta yang mengejutkan lagi adalah pernyataan dari Yayuk Ruliah isteri almarhum Jend. Ahmad Yani yang menemukan bukti-bukti kebohongan peristiwa Gestok. Menurut kesaksian dari Yuni putri dari Ahmad Yani, Ibunya mencurigai bahwa dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Ahmad Yani. Menurut Yuni, ibunya mencurigai bahwa ptinggi militer yang dimaksud adalah Suharto. Alasannya menurut Yuni, ada unsur kebencian dan iri hati Suharto terhadap Ahmad Yani. Ahmad Yanilah yang menangkap Suharto menjual pentil dan ban. Ahmad Yani tidak suka militer berdagang. Tindakan Ahmad Yani tersebut tentunya menyinggung perasaan Suharto. Selain itu, menurut Yuni, Suharto itu lebih senior dibandingkan Ahmad Yani tetapi Bung Karno telah mengangkat jabatan Ahmad Yani lebih tinggi dibandingkan Suharto. Belum lagi muncul kabar bahwa Ahmad Yani akan ditunjuk menggantikan Bung Karno apabila Bung Karno tidak menjadi presiden atau meninggal. Kesaksian istri dan putri Ahmad Yani tersebut dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI, Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan Ahmad Yani yakni Kolonel (Purn) Subardi. 

Jadi berdasarkan bukti-bukti dan analisis dari dalam maupun luar negeri, tuduhan dari Antonie C.A. Dake, Victor Miroslav Fic, Lambert J. Giebels, maupun Jung Chang dan Jon Halliday terhadap Bung Karno tidaklah benar. Sudah saatnya, TAP MPRS No. 33/1967 tentang Bung Karno dicabut guna mengembalikan nama baik Bung Karno, dan membuka aib sejarah yang digelapkan oleh para kepentingan kapital monopoli internasional yang saat ini di Indonesia bukan menjajah secara langsung dengan senjata mereka tetapi dengan kapital mereka. Seperti yang dikatakan oleh komedian Amerika Serikat Charlie Chaplin, “Kehidupan itu sendiri jikalau dilihat dari dekat seperti sebuah tragedi tetapi jikalau dilihat dari jauh, tragedi tersebut adalah sebuah lelucon”. TAP MPRS No. 33/1967 adalah sebuah tragedi yang memfitnah putera terbaik Indonesia yang sebenarnya adalah sebuah lelucon besar yang dibuat oleh para badut boneka asing dalam sejarah baru pasca Indonesia merdeka.

Darwin Iskandar
Pusat Studi Tiongkok – Berdikari Institute




Referensi :

1. Antara News, Pancasila Bisa Diterapkan di Dunia, http://www.antaranews.com/berita/259079/pancasila-bisa-diterapkan-di-dunia
2. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Edisi Revisi 2007. 
3. Fan Lianwenyong, Mao Zedong Menyambut Bung Karno Dengan Bunga, http://www.xiexingcun.com/maozedong/gj009.htm
4. Han Suyin, Zhou Enlai: Potret Seorang Intelektual Revolusioner, Hasta Mitra, 2008.
5. Harian Rakyat (Renmin Ribao): Pidato Presiden Sukarno di Bandar Udara Beijing, 1 Oktober 1956.
6. Harian Rakyat (Renmin Ribao): Seratus Ribu Rakyat Ibukota Menyambut Presiden Sukarno, 1 Oktober 1956.
7. Harian Rakyat (Renmin Ribao): Ketua Mao Mengajak Presiden Sukarno Makan Malam Bersama, 1 Oktober 1956.
8. Harian Rakyat (Renmin Ribao): Pada Malam Hari Kemerdekaan PM Zhou Enlai Menyelenggarakan Resepsi Besar, 1 Oktober 1956.
9. Harian Rakyat (Renmin Ribao): Semangat Membangun Negeri Menjaga Perdamaian Dunia, 1 Oktober 1956.
10. Henry Kissinger, On China, Penerbit Rakyat, Beijing, 2011.
11. Jack Belden, Naga Merah: Lahirnja Sebuah Negara Republik Rakjat Yang Menggemparkan Dunia, N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung, 1952.
12. Jin Xiaoding, A Critique of J. Chang and J. Halliday’s Book Mao, the Unknown Story, http://www.tjen-folket.no/uploaded_images/129-full.pdf
13. Jung Chang dan Jon Halliday, Mao : Kisah kisah yang Tak Diketahui, PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2007.
14. Liao Youyu, Presiden Sukarno Memberikan Penghormatan Kepada Sun Yatsen, http://www.legaldaily.com.cn/police_and_frontier-defence/content/2011-10/08/content_3029623.htm
15. Makarim Wibisono, Bung Karno Memukau Washongton DC, http://gelora45.com/news/BungKarnoMemukauWashinton.pdf
16. Mao Zedong, On Diplomacy, Foreign Language Press, Beijing, 1998.
17. Victor Miroslav Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
18. Yaoli dan Fengya, Zhou Enlai di Bandung, Penerbit Shanghai Pictorial, 2007.
19. Presiden Sukarno di Tiongkok, Penerbit Pustaka Bahasa Asing, 1956.
20. Situs Rakyat (Renmin Wang): Jasa Besar Seorang Keturunan Tionghoa dalam Sejarah Hubungan Baik antara Tiongkok-Indonesia, 30 Maret 2005, http://news.qq.com/a/20090909/002941.htm.
21. Situs Sejarah Panlong (Panlong Lishi Wang): Hanya Sukarno yang Telah Memegang Tangan Mao Zedong dan Menunjukan Siapa Mao Zedong, 18 November 2011, http://www.lishi5.com/view/201111/51692.shtml.
22. Suar Suroso, Membantah Fitnah Pemalsu Sejarah (1), http://gelora45.com/news/SuarSuroso_MembantahFitnahPemalsuSejarah.pdf
23. Suar Suroso, Tentang Koeksistensi Secara Damai Antara Sosialisme dan Kapitalisme Dari Lenin Sampai Sekarang, http://gelora45.com/news/SuarSuroso_KoeksistensiSecaraDamai.pdf
24. Wikipedia : Mao The Unknown Story, http://en.wikipedia.org/wiki/Mao:_The_Unknown_Story
25. Yun Candan, Presiden Sukarno Berobat Pada Dokter Tradisional Tiongkok, www.cnki.net