(Foto: Poster Kegiatan Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk "Sontolyo" ini terinspirasi oleh pelukis Srihadi Soedarsono yang mana lukisannya bertajuk "Air Mancar" di coret-coret oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta/Irfan)

Marhaen, Jakarta - Sebuah peristiwa yang menggegarkan dunia seni rupa Indonesia terjadi saat pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), pada bulan April 1975. Gubernur Ali Sadikin murka saat lukisan karya Srihadi Soedarsono yang bertajuk "Air Mancar" dipamerkan di Anjungan DKI Jaya. Karena apa? Lukisan tersebut menggambarkan Jakarta yang buruk.

(Pelukis: Kana Fuddy, bertajuk: "Pemukiman Pemulung", memakai: Tinta china di atas kardus dan kolase tas kertas (100 x 80 cm), tahun pembuatan: Oktober 2019/Irfan)

(Pelukis: Dhar Cedhar, bertajuk: "Suatu Malam di Pasar Kebayoran Lama", memakai: tinta putih di atas kertas hitam (100 x 111cm), tahun pembuatan: 2019/Irfan)

Srihadi melukiskan air mancar di Bundaran Hotel Indonesia dengan gedung-gedung di sekitarnya yang dijejali papan reklame merek-merek Jepang.

"Tak ayal, Ali Sadikin mencoret-coret lukisan tersebut serta membubuhinya dengan kata-kata SONTOLOYO!!! APA INI REKLAME BARANG-BARANG JEPANG?? Torehan tandatangannya melengkapi kedongkolannya," ujar Pelaksana Tugas (plt) Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Danton Sihombing yang menirukan eks Gubernur DKI Jakarta saat pembukaan Pameran Sepilihan Koleksi DKJ & Sketsa Urban yang diselenggarakan oleh Komite Seni Rupa DKJ dengan tajuk "Sontolyo" di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (15/11/2019) malam.

(Pelukis: Ronaldo Osmond, bertajuk: "Hiruk Pikuk Pasar Petak Sembilan", memakai: cat air di kertas (30 x 42 cm, tahun pembuatan:2019/Irfan)

(Pelukis: Djojo Gozali, bertajuk: "Atap-atap", memakai: Spidol, pena, dan cat air pada kertas 23,5 x 30 cm, tahun pembuatan:1978/Irfan)

Kata-kata yang diguratkan dengan huruf besar di atas, berikut dengan kata sontolyo beserta tiga tanda seru dikarenakan hegemoni pihak lain, tak pantas Jakarta jorok begitu.

(Pelukis: Wahyu Widjaja, bertajuk: "Jakarta-jakrta", memakai: cat minyak di atas kanvas (140 x 100cm), tahun pembuatan:1980/Irfan)

(Pelukis: Yoso Bayudono, bertajuk: "Simpang Jl. Ampiun - Jl. Kimia, Jakarta Pusat", memakai: tinta pada kertas (21 x 60 cm, tahun pembuatan: 2019/Irfan)

Di samping itu, titik tolak dari pameran ini adalah koleksi. Penghujungnya adalah pembacaan baru terhadap koleksi yang rohnya dianggap masih mampu mengikuti perkembangan seni rupa, ada nilai dan konteks yang dapat ditafsirkan dalam dua ruang waktu yang berbeda. Karya-karya yang dipamerkan bertaut melalui gagasan tentang seni rupa dan kekuasaan.

(Pelukis: Dede Eri Supria, bertajuk: "Berangkat Kerja", memakai: cat minyak di atas kanvas, 100 x 111cm, tahun pembuatan:1980/Irfan)

Kerangka pembacaan yang digunakan adalah era, ruang, dan peristiwa urban, khususnya kota Jakarta. Ruang waktu yang pertama, pembacaan tentang relasi tegang antara seniman dan kotanya mewakili relasi vertikal dengan penguasa. Ruang waktu yang kedua, bagaimana ketika seniman dan kotanya menyatu dalam sebuah relasi horizontal.

(Pelukis: Iwan Widodo, bertajuk: "Gembel Stasiun"--perkampungan sekitar stasiun Manggarai, memakai: kertas 300gsm, (30x40cm, tahun pembuatan:2019/Irfan)

(Pelukis: Yanuar Ikhsan, bertajuk: "Pasar Loak", memakai: pensil dan cat air cat air di kertas (42 x 60 cm), tahun pembuatan: 2019/Irfan)

Selain itu, pembukaan pameran kali ini dikuratori oleh Lisistrata Lusandiana dan Bambang Bujono atau biasa disapa pak Bambu, kegiatan tersebut dimulai pada tanggal 15 hingga 30 November 2019 mendatang, dari pukul 11.00 - 20.00 WIB.

Pewarta : Irfan Fauzy/CA