(Foto : Ilustrasi/rajiblovesit.blogspot.com)

Pendidikan formal mulai hadir di Indonesia pada abad 20 ketika pemberlakuan politik etis (1900-1942) ketika kolonialisme Belanda mengeluarkan politik etis. Hadirnya pendidikan di negeri Indonesia terjajah saat itu, sebetulnya buah dari desakan politik dagang kolonial yang bersifat monopolistik menjadi politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi dari borjuis yang sedang berkembang di negara tersebut maka mulailah mucul sekolah-sekolah walaupun masih diskriminatif dalam penerimaan siswanya. Bagi pemerintah, politik etis merupakan politik balas jasa terhadap negara jajahanya, Indonesia. Pihak kolonial mengharapkan terciptanya  tenaga-tenaga kerja terdidik sesuai dengan keinginan laju ekspansi modal swasta Belanda. Tahun 1900 berdiri sekolah-sekolah, bagi kaum priyai maupun rakyat biasa. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah dinamakan Volk School (Sekolah Rakyat) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan  dengan program Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Sekolah semacam ini berlanjut ditahun-tahun berikutnya, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Algemeene Middlebare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Eeste Inlandsche School (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada”, serta Tweede Inlandsche School (Sekolah Bumi Putera Angkatan Dua) bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS).

Jejak lahirnya neoliberalisme pada pendidikan nasional kapitalis dan imperialisme. Pasca 1965, seiring dengan kekuasaan-kekuasaan ekonomi politik rezim orde baru di keluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, modal asing (AS, Kanada, Inggris, Jepang, dan lain-lain) gencar masuk ke Indonesia. Oleh karenanya modal asing tersebut membutuhkan instrumen pendukung guna mengembangkan kapasitas industri di Indonesia. Industrialisasi asing sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan terdidik lulusan perguruan tinggi. Maka seketika itu pendidikan tinggi menjadi lahan industri strategis yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara-negara kapital imperialis, dengan mencetak tenaga kerja bagi perusahaan swasta. Pendidikan menjadi komoditas utama bagi akumulasi keuntungan modal. Dengan berbagai tekanan dari negara imperialis terhadap Indonesia melalui perjanjian kesepakan di sektor pendidikan, dan berkonsekuensi tercabutnya hakikat keberadaan pendidikan Indonesia. Mulailah era liberalisasi pendidikan di Indonesia diberlakukan. Setelah Indonesia masuk organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 melalui disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (persetujuan organisasi perdagangan dunia). Jasa pendidikan merupakan bagian dari jasa yang harus di liberalisasi (kurangi subsidi) salah satu pertemuan tingkat menteri dari 125 negara di Uruguay pada tahun 1993 adalah memperluas cakupan produk perdagagan internasional termasuk perdagangan dibidang jasa, pengaturan mengenai aspek-aspek dagang dari hak atas kekayaan intelektual, dan kebijakan investasi yang berkaitan dengan perdagangan. Sehingga tidak heran bagi rakyat Indonesia jika pasca masuknya Indonesia menjadi anggota WTO ini, berangsur-angsur subsidi sosial dicabut dan privatisasi aset vital negara dilakukan secara masif.

Pada sektor ketenagakerjaan banyak sekali buruh yang kemudian merasakan pemutusan hubungan kerja ditengah pandemi global.  Data Kementerian Ketenagakerjaan terdapat 2,08 juta pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 20 April 2020. Belum lagi terdapat kurang lebih 7 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan atau pengangguran yang ada di Indonesia. Bahkan, disetiap tahunnya terdapat 2 juta orang angkatan kerja baru yang hadir. Jumlah pekerja informal di Indonesia pada tahun 2019 mendominasi pada angka 74,1 juta pekerja (57,26%), formal 55,3 juta (42,74%). Disisi lain, pemerintah justru mempercepat pengesahan omnibus daripada melakukan penanganan virus. Kebijakan Omnibus Law merupakan kebijakan yang akan semakin memperparah kehidupan pekerja, mulai dari sistem kerja kontrak pada setiap aspek pekerjaan, proses penghilangan analisis mengenai dampak lingkungan,  hingga hak pengelolaan yang akan memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk menguasai tanah di Indonesia. Ditengah pandemi saat ini, pemenuhan hak selama dirumahkan sama sekali tidak diakomodir oleh pemerintah. Belum lagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan para pedagang yang merasakan sulitnya mendapatkan pemasukan karena pemodalan dan distribusi yang terhenti.

Terlebih lagi didalam situasi pandemi global saat ini, hampir sebagian besar sekolah dan kampus – kampus diliburkan. Aktifitas belajar mengajar diarahkan pada belajar online tanpa meninjau secara substansi perihal keilmiahan dalam proses belajar online. Sehingga masih seperti biasa, murid hanya dibebankan oleh tugas yang menumpuk dan cenderung formalistik. Murid juga dirugikan ditengah situasi pandemi saat ini, pendidikan yang komersil dengan menetapkan sistem Uang Kuliah Tunggal ditengah situasi pandemi ini sangat memperkeruh keadaan. Tak jarang pula tenaga kerja dalam sektor pendidikan seperti pekerja honorer, tukang kebun, satpam, office boy pun mengalami upaya penghilangan hak atau bahkan di PHK dalam situasi pandemi global. Kampus mengurangi hak pekerja, usaha kantin, dan mahasiswa untuk meraup keuntungan berlebih melalui pendidikan.

Dalam ranah pendidikan, peserta didik juga merupakan sasaran bagi kaum pemodal. Dalam menjalankan aktifitas produksi, pemodal dapat mengurangi biaya produksi dengan tidak membayar pekerja yang didapatkan melalui kampus-kampus. Menggunakan metode politis dengan membelenggu mahasiswa melalui nilai, mahasiswa dipaksa untuk magang tanpa diberikan upah atau bekerja secara cuma-cuma. Hal demikian dapat terlihat melalui gagasan pendidikan yang diusung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Nadiem Makarim perihal “Kampus Merdeka”. Dalam hal ini pemerintah memberikan kewenangan otonomi terhadap perguruan tinggi untuk membuka program studi baru yang disesuaikan dengan industri. Bahkan pemerintah memperparah sistem pendidikan dengan mengharuskan perguruan tinggi untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan, organisasi nirlaba, dan institusi multilateral. Sistem pendidikan “Kampus Merdeka” merupakan polarisasi yang disesuaikan dengan kondisi pasar atau pendidikan yang harus Link and Match dengan kebutuhan industri. Alhasil, mahasiswa yang hari ini tersedia di perguruan tinggi diseluruh Indonesia sengaja dipersiapkan guna menjadi sekrup atau tenaga kerja terdidik.

Persoalan pendidikan begitu sangat kompleks di Indonesia. Hal yang dirumuskan Nadiem merupakan bentuk komersialisasi, privatisasi, hingga liberalisasi pada sektor pendidikan. Perumusan yang sama sekali disorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan rakyat di Indonesia. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penaggulangan Kemiskinan (TNP2K) terdapat 1.228.792 anak, di usia 7 – 12 tahun serta di usia 13 – 15 tahun terdapat 936.675 anak, dan di usia 16 – 18 tahun terdapat 2.420.886 anak yang tidak dapat mengakses pendidikan di Indonesia. Kemiskinan merupakan faktor penting dalam dunia pendidikan ditengah situasi upah murah dan komersialisasi pendidikan yang kian mahal. Tidak ada aspek kemanusiaan dan keilmiahan disektor pendidikan. Gagasan “Kampus Merdeka” semestinya berjiwa humanis, bukan humanitarian. Pendidikan semestinya berorientasi pada kecerdasan dan kemerdekaan bangsa untuk melepaskan belenggu keterbelakangan serta sesuai dengan realitas keadaan objektif agar dapat diakses oleh setiap warga negara.

Pendidikan yang tidak ilmiah juga termanifestasikan hampir menyeluruh dalam praktik belajar mengajar disuguhkan dengan pola bercerita didalam semua tingkatan. Posisi guru merupakan subjek, sementara murid ialah objek yang harus patuh, tunduk, dan mendengarkan. Sehingga proses belajar mengajar cenderung kaku dan tidak interaktif. Murid hanya diajarkan mendengar, mencatat, dan menghafal secara mekanis, tanpa pernah melakukan investigasi, mengkaji, dan mencari substansi dari sesuatu hal yang dipelajari. Maka, semakin patuh dan tunduk murid terhadap subjek, maka semakin baik pula mereka sebagai murid. Akselerasi modal yang sudah masuk pada sektor pendidikan akan membuat logika bahwa pemodal merupakan pemberi pengetahuan dengan menganggap setiap peserta didik ialah orang yang tidak mengetahui apa–apa. Menganggap orang lain bodoh merupakan manifestasi kepentingan pemodal yang mengkhianati pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Ruang gerak yang disediakan bagi murid hanya sebatas menerima, mencatat, serta menyimpan.

Murid tidak dikehendaki untuk mengekspresikan kemerdekaan berfikir, mengkaji sesuatu hingga unsur terkecil, sebab akibat proses perkembangan dunia, serta melakukan perubahan atas dasar prinsip kemanusiaan dan kesetaraan. Hal ini akan mengurangi kemampuan berfikir dan kreasi manusia serta membuat sikap manusia yang mudah percaya tanpa proses pencarian. Murid sudah diajarkan patuh dan tunduk pada kepentingan subjek mulai dari penampilan, absensi, nilai komulatif, bahkan logika formal yang dibentuk secara sistematis dan konstruktif oleh kepentingan pemodal. Begitulah sistem pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan “Gaya Bank”. Pendidikan yang memanfaatkan humanitarianisme demi kepentingan kelompok agen bisnis disektor pendidikan. Mereka selalu berusaha untuk mencegah bahkan menentang setiap hal dalam pendidikan yang akan merangsang kemampuan daya kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap sosial dan dunia yang berkembang. Dalam pendidikan “Gaya Bank” ini juga mereka menganalogikan manusia sebagai benda terkendali (automaton), yaitu suatu penolakan terhadap fitrah ontologis manusia untuk menjadi manusia merdeka dan seutuhnya. Oleh sebab itu, sistem pendidikan gratis, ilmiah, demokratis serta mengabdi kepada rakyat tidak dapat diharapkan melalui sistem pendidikan versi kaum pemodal. Perubahan sistem pendidikan hanya dapat dilakukan sampai ke akarnya dengan membangun sistem pendidikan yang berprinsip atas kerakyatan dan kesetaraan serta tidak menghendaki superior satu sama lain, kesenjangan guru dengan murid, tua maupun muda, kaya ataupun miskin serta semua setara dalam setiap aspek belajar mengajar dan kehidupan.

Dalam hal ini pendidikan adalah komoditas/barang dagangan untuk dapat meraup keuntungan. Dalam suatu pabrik, pengusaha membutuhkan tenaga kerja untuk menghasilkan komoditas. Disisi lain, pengusaha akan berupaya keras dengan terus mempromosikan komoditas agar laku dipasaran. Karena dari komoditas tersebut pengusaha dapat meraup keuntungan. Begitu juga dengan kampus. Kampus = pabrik, kampus rasa pabrik. Berikut hasil investigasi dan analisis penulis dalam menggambarkan keuntungan berlebih yang diambil oleh Universitas Pakuan Bogor ;

1. Jumlah Mahasiswa Diploma, Strata 1 = kurang lebih 14.000 Mahasiswa Aktif (Di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi PDDIKTI ada 19527 Mahasiswa)
2. Jumlah tenaga kerja
-          Dosen Tetap : 435 orang
-          Satpam : 35 orang
-          Pekerja Parkiran : 105 orang
-          Office boy : 60 orang
3 Biaya Gedung Per Mahasiswa Angkatan 2019

No
Fakultas
Jurusan
Biaya Gedung Gel 1
Biaya Gedung Gel 2
Biaya Gedung Gel 3
Mahasiswa
Jumlah
1
Hukum
Ilmu Hukum
8.000.000
9.000.000
10.500.000
1473
11.784.000.000
2
Ekonomi
Managemen
9.500.000
11.000.000
12.500.000
1826
17.437.000.000
3
Ekonomi
Akuntansi
9.500.000
11.000.000
12.500.000
1162
11.039.000.000
4
IKIP
Bahasa Ingrris
7.500.000
8.500.000
9.500.000
399
2.992.500.000
5
IKIP
Bahasa Indonesia
7.500.000
8.500.000
9.500.000
403
3.022.500.000
6
IKIP
Pendidikan Biologi
7.500.000
8.500.000
9.500.000
198
1.485.000.000
7
IKIP
Pendidikan Guru SD
7.500.000
8.500.000
9.500.000
765
5.737.500.000
8
ISIP
Sastra Inggris
8.000.000
9.000.000
10.000.000
370
2.960.000.000
9
ISIP
Sastra Indo
8.000.000
9.000.000
10.000.000
74
592.000.000
10
ISIP
Sastra Jepang
8.000.000
9.000.000
10.000.000
224
1.792.000.000
11
ISIP
Ilmu Komunikasi
10.000.000
12.500.000
15.000.000
2193
21.930.000.000
12
Teknik
Teknik Geodesi
8.000.000
9.000.000
10.000.000
124
992.000.000
13
Teknik
Teknik Planologi
8.000.000
9.000.000
10.000.000
281
2.248.000.000
14
Teknik
Teknik Sipil
8.000.000
9.000.000
10.000.000
450
3.600.000.000
15
Teknik
Teknik Elektro
8.000.000
9.000.000
10.000.000
215
1.720.000.000
16
Teknik
Teknik Geologi
8.000.000
9.000.000
10.000.000
244
1.952.000.000
17
MIPA
Biologi
8.000.000
9.000.000
10.000.000
139
1.112.000.000
18
MIPA
Kimia
8.000.000
9.000.000
10.000.000
358
2.864.000.000
19
MIPA
Matematika
8.000.000
9.000.000
10.000.000
120
960.000.000
20
MIPA
Ilmu Komputer
10.000.000
12.500.000
15.000.000
1413
14.130.000.000
21
MIPA
Farmasi
15.000.000
17.500.000
20.000.000
1349
20.235.000.000
22
JUMLAH TOTAL
130.584.500.000

Artinya, terdapat 13.780 mahasiswa pada tahun 2019. Keuntungan yang didapat dari biaya gedung senilai Rp.130.584.500.000 atau kurang lebih 130 Milyar. Dalam penghitungan, penulis mencoba mengeneralisir mahasiswa masuk pada gelombang pertama. Hal demikian belum termasuk biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Satuan Kredit Semester (SKS), Praktikum, Dan Lain-Lain (DLL). Apabila kita tarik hitungan sederhana dengan perkalian terendah, seminsal biaya SPP semua mahasiswa ialah Rp.1.750.000., Maka, Rp.1.750.000 x 13780 orang =Rp.24.115.000.000 (kurang lebih 24 Milyar). Disisi lain, apabila seluruh mahasiswa hanya mengambil 18 sks dengan biaya sks Rp.100.000 artinya hasilnya ialah Rp.1.800.000 x 13780 = Rp.24.804.000.000 (kurang lebih 24 Milyar). Total dari biaya SPP, dan SKS ialah Rp.24.115.000.000 + Rp.24.804.000.000 = Rp.48.919.000.000 (kurang lebih 48 Milyar)

Dari jumlah tersebut pengusaha perlu mengeluarkan biaya capital konstan (pajak, listrik, air, alat tulis kantor, dll/non upah) dan capital variable (upah, tunjangan, dll/upah). Terkait sarana listrik, Universitas Pakuan Bogor masuk ke dalam jenis industri komersial. Per tahun 2015, daya yang terpasang terhadap kebutuhan kampus yang memiliki gedung 10 lantai ini ialah sebesar 377.018 watt. Artinya, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Biaya Tarif Listrik, Universitas Pakuan Bogor masuk kedalam golongan tarif listrik I-3/TM dengan biaya Rp.1.115/kWh karena memiliki kebutuhan listrik diatas 200kva. Hitungan sederhananya ialah penggunaan listrik x biaya listrik. 377.018 watt x Rp.1.115 = Rp. 420.475.420/Bulan, kemudian Rp.420.475.420 x 6bulan = Rp.2.522.852.520 (gambaran umum).

Terkait upah (wages) serta tunjangan – tunjangan (benefits) tentu tidak mungkin lebih dari 6% dari nilai yang didapat melalui Biaya Gedung, SPP, SKS, Praktikum, dll. Kalau kita tarik hitungan sederhana dari semua dosen tetap diberikan upah Rp.10.000.000, Sementara satpam, pekerja parkiran, office boy/girl diberikan upah Rp.5.000.000., Maka ;

-          Dosen Tetap : 435 orang x Rp.10.000.000 x 6 bulan/1Semester = Rp.26.100.000.000
-          Satpam : 35 orang x Rp.5.000.000 x 6 bulan/1 Semester = Rp.1.050.000.000
-          Pekerja Parkiran : 105 orang x Rp.5.000.000 x 6 bulan/1 Semester = Rp.3.150.000.000
-          Office boy : 60 orang x Rp.5.000.000 x 6 bulan/1Semester = Rp.1.800.000.000
-          Total Rp.26.100.000.000 + Rp.1.050.000.000 + Rp.3.150.000.000 + Rp.1.800.000.000 = Rp.32.100.000.000 (kurang lebih 32 Milyar)

Total keseluruhan gambaran umum ialah,
1. Hasil Penjualan Komoditas Pendidikan (pendapatan biaya gedung + pendapatan spp + pendapatan sks) – Capital Konstan (sarana produksi, listrik, air, atk, dll) = Nilai Tambah
2. Kemudian, Nilai Tambah – Kapital Variable (Upah, Tunjangan, dll) = Surplus Value (Nilai Lebih)
3. Keterangan :
-          Pendapatan biaya gedung : Rp.130.584.500.000
-          Pendapatan SPP dan SKS : Rp.48.919.000.000
-          Listrik : Rp.2.522.852.520
-          Air, alat tulis kantor, dll : Kita kasih angka gambaran umum Rp.5.000.000.000
-          Upah : Rp.32.100.000.000

1. (Rp.130.584.500.000 + Rp.48.919.000.000) – (Rp.2.522.852.520 + 5.000.000.000) = Rp.179.503.500.000 – Rp.7.522.852.520 = Rp.171.980.647.480
2. Rp.171.980.647.480 – Rp.32.100.000.000 = Rp.139.880.647.480
3. Fantastis

Analisis penulis terkait penghitungan surplus merupakan gambaran umum dengan perkalian terendah dan keterbatasan data karena tidak ada transparansi keuangan dari pihak kampus. Hitungan ini menggenarilis apabila semua mahasiswa masuk pada gelombang pertama dan mengambil 18 SKS, serta memberikan upah 10 juta pada dosen dan 5 juta pada pekerja satpam, office boy/girl, pekerja parkiran, dll yang saat ini masih banyak yang berstatus outsourching. Begitulah sistim ekonomi politik kapitalisme bekerja. Kelompok bisnis yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan akan terus mengacu pada mekanisme pasar bebas. Disisi lain, pemerintah selaku representative dari Negara mendukung dengan beberapa kebijakan dan tidak melakukan intervensi berlebih pada sektor pendidikan. Sebab, keterlibatan Negara dalam pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya dalam logika pengusaha akan mengacaukan mekanisme pasar. Dalam praktiknya, banyak dari kita yang masuk pada gelombang kedua bahkan ketiga. Banyak dari kita juga yang melakukan pembayaran SPP dan SKS lebih besar dari yang penulis hitung atau cantumkan. Data terkait jumlah mahasiswa bahkan lebih dari yang penulis sajikan. Seperti yang dilansir oleh Pangkalan Data Pendidikan Tinggi bahwa Universitas Pakuan Bogor memiliki 19.527 Mahasiswa per tahun 2020. Tentu, keuntungan yang didapat pemilik yayasan lebih dari nilai yang coba penulis hitung. Lalu, apakah ini yang dinamakan kemanusiaan? Secara turun temurun kita akan terus mengalami kesulitan dalam akses pendidikan di Kota Bogor dan Indonesia. Bukan hanya di Universitas Pakuan Bogor, masih bayak kampus lainnya yang tersebar di Indonesia menerapkan hal yang sama juga. Terlebih lagi ditengah situasi pandemi saat ini, banyak jutaan pekerja yang mengalami PHK, pedagang kecil yang pendapatannya menurun, banyak orang tua kita yang harus menghutang kesana – kemari untuk tetap dapat menyambung hidup. Lalu, biaya pendidikan masih saja menjulang dana sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. Solidaritas diantara kita merupakan kekuatan mutlak untuk menyerukan bahwa kita semua sedang menjerit. Kita adalah satu, satu adalah kita. Tak ada yang mustahil apabila kita semua bersolidaritas. Rebut dan wujudkan kehendak bersama!

Semua kondisi buruk di tengah pandemi yang belum usai barbar ini mengingatkan saya kepada ucapan Fidel Castro:

“kapitalisme tidak memiliki nilai moral dan etika, segalanya dijual. Musthail untuk mendidik orang di lingkungan seperti itu, orang menjadi egois dan kadang berubah menjadi bandit”

Berikut fakta :
1. Keuntungan 139 Milyar setara dengan upah 33.334 buruh dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Kota Bogor yaitu Rp.4.169.806
2. Keuntungan 139 Milyar setara dengan harga pupuk nonsubsidi bagi 496.428 petani
3. Apabila pemilik yayasan mengeluarkan 5 juta per-hari untuk bertahan hidup dari keuntungan 139 Milyar. Maka keuntungan tersebut akan habis 76 tahun kemudian
4. Agar dapat memiliki uang 139 Milyar, buruh dengan UMK Rp.4.169.806 harus bekerja selama 2777 tahun
5. Agar dapat memiliki uang 139 milyar, tenaga kerja pendidik dengan upah 10 juta harus bekerja selama 1158 tahun.
6. Agar mendapatkan keuntungan 139 Milyar bahkan lebih, Pemilik Universitas Pakuan Bogor menjual pendidikan kepada warga bogor dan sekitarnya dengan tenggang waktu 6 bulan atau 1 semester.



Daftar Pustaka
a.      Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Inodonesia, Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan organisasi perdagangan dunia)
Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Biaya Tarif   Listrik
b.      Buku
George Lukacs, Dialektika Marxis, Depok, Sleman, Jogjakarta : PT Ar-Ruzz Media, 2009
c.       Lain-lain
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke IV, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi Dewan Nasioal Sejarah Pendidikan Indonesia 2019.
Van Deventer dalam majalah De Gids, 1908 Etty Soesilowati Jurnal Neo Liberalisme Antara Mitos dan Harapan, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, September 2009.
https:buruh.co/6713-2/

Salam Pembebasan!


Penulis: Herdiyatna, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan

Editor  : Chaerul Anwar