(Foto: Aksi 16 HAKTP 2021/Instagram @lingkarstudifeminis_)

Marhaen, Jakarta -  Dalam memperingati Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia Sedunia, Maka dari itu, Lingkar Studi Feminis mengangkat tema “Cerita Ruang Juang Perempuan Pembela HAM, Sudahkah Terlindungi?” Via Live Instagram. Senin (29/11/21).

29 November diperingati sebagai Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia Sedunia. Maka perlunya cerita ruang juang perempuan pembela HAM dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan bagi WHRDI (Women Human Rights Defender International). 


Isu perempuan maupun kesetaraan gender semakin luas dan banyak dijumpai di berbagai media, begitu juga dengan munculnya para Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang memperjuangkan masalah-masalah tersebut. Namun, terdapat upaya kriminalisasi yang dialami oleh PPHAM ataupun ancaman dan serangan yang dihadapi berbeda dibandingkan dengan lelaki. Pemantauan Komnas Perempuan menemukan 19 bentuk kerentanan dan kekerasan yang menimpa PPHAM, diantaranya 10 (sepuluh) bentuk kerentanan dan kekerasan hanya khusus dialami oleh PPHAM serta 9 (sembilan) lainnya juga dialami oleh pembela HAM yang laki-laki.


PPHAM berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus yang muncul dalam dua bentuk.  Pertama, serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang merupakan elemen utama penilaian kesucian dan harga diri perempuan di dalam masyarakat yang patriarki. Karenanya tubuh dan seksualitas ini tidak henti-hentinya dijadikan sebagai objek kekerasan. Kedua, serangan terhadap perempuan atas dasar stereotip dan atas dasar peran gendernya. Tunggal Pawestri sebagai Aktivis dan Konsultan Gender, memberikan penjelasan mengapa PPHAM menghadapi kerentanan dan perlawanan,


“Ketika kita menjadi pembela, kita memainkan peran aktif di wilayah publik, apalagi kita kemudian mengambil peran-peran tertentu yang dalam konteks isu-isu perempuan, misalnya. Kita dihadapkan dengan nilai-nilai tradisional atau ketabuan. Jadi, ya tentu saja. Ketika kita mendobrak, ini ada usaha teman-teman melakukan upaya pendampingan secara publik, memberikan pembelaan, ini mengganggu kenyamanan struktur konstruksi sosial yang selama ini ada, dan tentu saja. Orang-orang yang tidak merasa nyaman, melakukan serangannya. Ketika kita memberikan pembelaan, aktif berada di depan, tegas, berani, ya ini yang membuat orang-orang merasa ada hal yang tidak sesuai lagi. Nah, ini yang membuat mengapa kita mendapatkan perlawanan yang sedemikian ketika mencoba melakukan pembelaan HAM,” Jelasnya.


Kehadiran PPHAM, berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari pekerja di bidang kemanusiaan, aktivis perempuan, advokat, konselor perempuan korban, pendamping korban, pekerja sosial, atau dari tim relawan. Para pembela, berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarga, masyarakat bahkan negara. Dalam realitanya, perjuangan mereka tidak lepas dari berbagai upaya pembungkaman bahkan penghentian pembelaan. Bahkan, pelabelan stigma liberal pun juga timbul dan dialami oleh Nurul Qolbi Kurniawati dari Komunitas Feministic.id,


“Saya sendiri ketika saya bergerak melakukan hal yang konsen terhadap isu perempuan, selain konsen dari studi saya, ini juga merupakan panggilan hati saya perlu nih menyuarakan hal ini  di lingkungan saya ketika saya dibesarkan. Saya dulu dari yayasan pesantren, lalu saya keluar menjadi alumni dan memilih bergerak di isu feminis, kemudian perspektif teman-teman di pesantren memberikan pelabelan-pelabelan seperti, wah ini menjadi liberal nih, wah ini menjadi seperti ini. Kan itu lekat sekali, hidup di keluarga yang agamis, bisa dibilang masih kental konservatifnya," Imbuhnya.


Kerja-kerja PPHAM merupakan upaya membantu negara dalam memenuhi hak asasi perempuan yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU HAM. Secara sektoral, PPHAM yang memberikan bantuan hukum dijamin dalam UU Advokat dan UU Bantuan Hukum. Kendati demikian, masih terdapat kekosongan hukum untuk PPHAM yang tidak berprofesi sebagai advokat termasuk saksi dan/atau korban yang tidak terlindungi LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk dikriminalisasi.


Hal ini pun juga dituturkan oleh Tunggal, bahwasannya, “Secara spesifik untuk PPHAM tidak ada, tapi teman-teman di gerakan sudah resah karena mereka kerja di lapangan dan kurang terlindungi secara hukum. Bahkan, kecenderungannya dikriminalisasi. Kita minta satu kebijakan khusus agar mereka terlindungi, tapi ketika kita sudah buat policy brief-nya dan mencoba mendesakannya selalu dilempar lagi sama DPR RI, mereka bilang UU Komnas HAM akan direvisi, nanti mungkin masuk kedalam revisi itu aja memastikan bahwa hak-hak PPHAM itu terjamin," Tuturnya.


Penulis : Devi Oktaviana

Editor : Ayu Gurning