(Foto: Sejumlah pekerja tengah memilah sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Rabu, 24 November 2021/Irfan)

Pagi itu langit tampak begitu mendung. Mobil truk dengan sorot berwarna orange berbaris memanjang, dengan perlahan melaju dan memasuki gerbang (timbangan). Mobil itu saban hari meliuk di jalan raya dengan membawa muatan sampah DKI Jakarta, hingga sampai ke tempat pembuangan akhir: Bantargebang.

Bantargebang, sekarang yang menginjak usia 35 tahun telah berganti muka menjadi gunungan sampah, dengan ketinggian mendekati 50 meter. Dalam sehari DKI Jakarta dapat memproduksi sampah sekitar 6500 hingga 7000 ton. Tetapi, di tengah kesibukan dan hingar bingarnya kota Jakarta, dengan jarak puluhan kilo meter dari Bantargebang, kita dapat temui banyaknya pemukiman pemulung yang menggantungkan hidup di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.

Adalah Pak Wawas (40). Ia datang setahun lalu, pada musim kemarau, dan bermukim di Bantargebang ketika proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah melanjutkan merehabilitasi jaringan irigasi, di Jawa Barat, yang meliputi Indramayu. Menurutnya, ia yang juga sebagai Petani (tak bertanah), mendapati saluran irigasi tak berjalan dengan normal, sehingga minimnya pengairan di areal persawahannya. "Saya harus mencari pekerjaan lain, saya punya anak dan istri", ungkapnya Pak Wawas. (24/11/2021).

(Foto: Pak Wawas tengah menyulam karung bekas sebagai wadah. Rabu, 24 November 2021/Irfan)

(Foto: Kawasan pemukiman pemulung yang berada di Kelurahan Ciketing Udik. Rabu, 24 November 2021/Irfan)

Pagi itu, ketika pukul 10.30 ia tengah menyulam karung, di beranda rumah saudaranya di kawasan pemukiman pemulung, Kelurahan Ciketing Udik. Ia tinggal bersama Pak Kating (51), dan Istrinya, dalam satu rumah, dengan tanah sewa Rp 200rb per bulan. "Kalau anak-anak di kampung a", kata Pak Wawas yang masih menyulam karung, untuk persiapan kerja esok.

Bila ada rezeki lebih, atau setiap bulan sekali, Pak Wawas biasa akan mengirimi uang saku ke kampung halaman, untuk kebutuhan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, dan yang sulung kelas tiga SMP.

Dalam sehari, menurut penuturannya, yang setiap harinya berada di TPST bersama Pak Kating ia bisa menghasilkan empat hingga enam karung yang berisi lembaran plastik bekas, dan barang bekas lainnya, yang nantinya ia simpan selama empat atau lima hari di areal tempat pembuangan sampah tersebut. "Kalau sehari, dua hari, mahal diongkosnya dan capek di tenaga a".

Mahal diongkos yang ia maksud ialah sewa mobil bak terbuka dengan harga sekali tarik Rp50.000, untuk memuat barang hasil kerjanya dari areal TPST, dan diantarkan ke tempat juragan barang bekas yang berada di daerah Kelurahan Ciketing Udik.

Ketika tiba di tempat juragan barang bekas, disetiap kelurahan yang ada di Kecamatan Bantargebang umumnya juragan-juragan pengepul ini, mematok harga barang bekas per kilogramnya Rp10rb hingga 13rb. Dan dalam setiap satu karung barang hasil kerja Pak Wawas bersama Pak Kating biasanya akan menyentuh berat antara 40kg hingga 50kg.

Dengan hasil kerjanya ini, Pak Wawas cukup merasa lega, selain dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya, ia juga berangsur membaik secara ekonomi.

(Foto: Sejumlah pekerja dan alat berat tengah memilah sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Rabu, 24 November 2021/Irfan)
(Foto: Mobil truk pengangkut sampah milik Pemprov DKI sedang berada di gerbang masuk TPST Bantargebang. Kamis, 18 November 2021/Irfan)

Penulis : Irfan Fauzi

Editor : Ayu Gurning