(Foto: Buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia"/m.apdut.com)



Judul Buku : Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Penulis        : Cindy Adams

Penerjemah : Syamsu Hadi

Cetakan       : Kelima, Edisi Revisi Tahun 2018

Penerbit       : Yayasan Bung Karno – Media Pressindo

ISBN           : 9799114519

Tebal           : 432 Halaman


Buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", mengulas tentang kehidupan beliau, entah hal-hal pribadi, perjuangan menuju kemerdekaan, hingga perjalanan pahit yang dialaminya. Nampaknya, memang seru dan tiada habisnya untuk membahas buku ini. Entah itu kita bersudut pandang secara subjektif maupun objektif  karena begitu rumit dan kerasnya usaha beliau dalam proses menjadi pemimpin rakyat Indonesia. Buku ini disusun oleh Cindy Adams, merupakan seorang jurnalis asal Amerika Serikat yang mewawancarai Soekarno pertama kalinya. 

Soekarno lahir pada 06 Juni 1901 di Lawang Seketeng, Surabaya. Ayah Soekarno bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo. Lalu Ibunya bernama Idayu Nyoman Rai berasal dari Bali. Pada saat Soekarno berusia enam tahun, ayahnya dipindahkan ke Mojokerto termasuk Soekarno juga berpindah. Di Mojokerto mulai masuk sekolah rakyat (SR) Onkoloro  Earste Inlandsche School dan kemudian tahun 1911 melanjutkan pendidikannya di Europeesche Legere School.

Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman penuh semangat dan munculnya bangsa-bangsa baru merdeka di Benua Asia dan Afrika. Berkembangnya negara-negara sosialis yang meliputi seribu juta manusia. saat Soekarno kecil hidup dalam kondisi kemiskinan dalam alam penguasaan atau penjajahan belanda. Masa kecil Soekarno hidup layaknya anak desa lain, main perang-perangan, memanjat dan memancing dan bahkan juga harus membantu Ibu serta Sarinah yaitu pengasuhnya. 

Di kemudian hari Soekarno berada di Surabaya dan melanjutkan belajar di Hogere Burger School (HBS) pada tahun 1915, beliau kost di rumah Cokroaminoto. Di sini beliau banyak mempelajari dunia politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat dan pergerakan partai serikat islam Indonesia yang diketuai oleh HOS Cokroaminoto. Di tahun ini juga beliau mendirikan perkumpulan politik pertama yang diberi Tri Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci", kemudian berubah menjadi Jong Java tahun 1918 yang berlandasan kebangsaan. Setelah tamat dari HBS Surabaya pada tahun 1921, Soekarno mulai melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) dengan mengambil jurusan Teknik Sipil dan meraih gelar pada 25 Mei 1926.

Namun, Karena suatu alasan, Pak Tjokro dianggap dalang dibalik pemogokan buruh dan ditangkap Belanda karena kerusuhan di Garut yang mengakibatkan beberapa terbunuhnya kolonial belanda. Sebagai menantu, Soekarno terpanggil untuk membantu keluarga mertuanya, Memutuskan berhenti kuliah dan bekerja sebagai klerek di stasiun kereta api dengan gaji 165 rupiah sebulan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pak Tjokro. Tujuh Bulan kemudian Pak Tjokro dibebaskan dan Soekarno kembali kuliah. Lalu akhirnya ia mengembalikan Utari ke Pak Tjokro tanpa menggaulinya sedikitpun selama masa 2 tahun pernikahan. Lalu  Soekarno menikahi wanita yang lebih tua pada tahun 1923, yaitu Inggit garnasih yang menjadi pendamping dan pendorong maju dalam memenuhi dengan sang nasib.

Pada suatu hari soekarno berkeliling sepeda mengayuh tanpa tujuan di daerah bandung selatan tepatnya di desa Cigalerang saat bertemu petani yang bekerja di sawah, Soekarno berhenti di sebuah area tersebut, lalu berbincang kepadanya untuk melihat kehidupannya. Kemudian selesai berdialog dan sebelum pamit undur diri Soekarno sempat menanyai siapa nama dari petani itu, lalu dia menjawab singkat “Marhaen”.

Mengenai perbincangan tersebut melalui pemikiran serta paham Marhaenisme. Nama itu diambil dari nama petani yang ditemui Soekarno. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik. Kemudian hal itu dijadikan ideologi yang dikembangkan oleh Soekarno dari pemikiran Marxisme diterapkan sesuai kondisi dan kultur indonesia. 

Pada tahun 1926, surat kabar terbitan organisasi naungan Soekarno yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berjudul “Soeloeh Indonesia Moeda” memuat sebuah artikel yang berisi ajaran NASAKOM. Sebagai contoh, terdapat organisasi Indische Partij (IP), Sarekat Islam (SI), dan Indische Sociaal-Democratisce Vereeniging (ISDV). Selain itu, NASAKOM diusung untuk mengimbangi tiga faksi besar pada periode Indonesia era demokrasi terpimpin yaitu tentara yang beraliran nasionalis, kelompok Islam yang beraliran agama, dan gerakan kelompok kiri lainnya yang beraliran komunis. Soekarno menyatakan diri sebagai seorang NASAKOM secara resmi dalam pidatonya tanggal 23 Oktober 1965. 

Pada tanggal 4 Juli 1927, menjadi momentum berdirinya organisasi naungan Soekarno yaitu Partai Nasionalis Indonesia. Orasi-orasinya selalu dihadiri dan didukung banyak massa. Namun tidak bagi Belanda, PNI dianggap bahaya nomor satu. Saat menghadiri rapat partai di Yogyakarta, Soekarno dan rekan-rekannya ditangkap karena dianggap akan menyebarkan ajaran pergerakan kemerdekaan.

Di pengadilan landraad, Soekarno membacakan pembelaanya yang kemudian dikenal sebagai “Indonesia Menggugat”. Tetapi, pembelaan itu tidak berhasil. Soekarno dijebloskan ke Penjara Banceuy Bandung pada 29 Desember 1929. Selama setahun, Soekarno bebas dan ia kembali sibuk dengan urusan partai. Tak berselang lama, pemerintah kembali menjebloskannya ke penjara karena soekarno terlibat konflik politik dan bertentangan dengan penguasa belanda Kali ini ke Sukamiskin.

Pengadilan memutuskan untuk membuangnya ke Ende pada tahun 1934 sampai 1938. Selama mendekam, di Flores inilah ia merumuskan dasar-dasar Pancasila. Setelah keluar, sekitar empat tahun Soekarno berada di Pulau Bunga ketika ia sakit malaria. Pada 1938-1942 ketika ia dapat kabar akan dipindahkan ke Bengkulu  Soekarno ingin menikah dengan fatmawati tetapi Inggit tidak setuju, karena Inggit-lah yang menemani selama berpuluh-puluh tahun dalam pengasingan.

Berastagi juga menjadi tempat pengasingan Soekarno selanjutnya. Berastagi terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pada 1948, Berastagi menjadi tempat pengasingan Soekarno saat Belanda melakukan Agresi Militer II. tempat pengasingan Soekarno selanjutnya adalah Pulau Bangka, yaitu di Kota Muntok atau Mentok. Soekarno dipindahkan ke Bangka pada 1949 karena Ketika itu pemerintah Kolonial Belanda menganggap Bung Karno dan sejumlah tokoh lainnya dianggap sebagai batu penghalang dalam upaya menguasai kembali indonesia.

Setelah revolusi kemerdekaan itu dimulai Soekarno masih terus merasakan berbagai kepahitan. Pertama adalah perang revolusi melawan Belanda yang ingin mengembalikan status quo di Indonesia. Tidak hanya berpindah-pindah tempat, nyawanya pun saat itu ada di ujung tanduk. Kalau Indonesia tidak dapat memenangkan perang, pengadilan internasional akan menghukumnya sebagai seorang penjahat perang.

Dari 1945 hingga 1949, Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibu kota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota mereka. Pada 27 Desember 1949 setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di tahun 1949, Soekarno masih harus menghadapi berbagai gerakan separatis. Hal ini bisa dimaklumi. Kondisi Indonesia melarat dan kacau-balau setelah ratusan tahun penjajahan, perang revolusi, dan utang Belanda yang harus kita bayar. Selama itu pula, sang presiden tidak pernah merasakan kenikmatan duniawi. Sampai akhir hayatnya, Soekarno tidak memiliki rumah. Pernah rakyat hendak mengumpulkan uang supaya presidennya bisa membeli rumah, Soekarno menolaknya.

Menurut saya, buku ini memuat sudut pandang secara subjektif semata dari pikiran Soekarno. Karena memang buku ini membahas tentang kehidupan beliau di masa lampau jadi memang menjadi sebuah pemakluman bahwa ada beberapa yang tidak termuat dalam buku ini. Di luar hal-hal yang kasat mata, Soekarno tidak banyak membahas mengenai kekurangannya. Misalnya, mengenai perbedaan pendapatnya dengan Hatta, atau keputusan-keputusan di bidang ekonomi yang buruk.

Namun, secara keseluruhan buku ini adalah bacaan yang sangat direkomendasikan bagi masyarakat Indonesia terutama untuk lebih mengenal siapa presiden pertama kita, pendidikan sejarah, dan kepemimpinan lewat buku sangat baik bagi generasi muda agar Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah), saat suatu bangsa lupa akan sejarahnya maka bangsa tersebut akan mudah untuk dijatuhkan.


Penulis : Suandira Azra Badrianan

Editor : Dika Maulana