(Foto: anomali cuaca terhadap sektor pertanian/rkb.id)

Marhaen, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto bersama Google News Initiative menggelar webinar bertema "Anomali Cuaca dan Ancaman Krisis Pangan di Banyumas Raya". Perubahan iklim menjadi isu yang sangat krusial bagi kelangsungan kehidupan manusia terhadap sektor pertanian. Selasa, (17/04/2022).

Pergantian iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu serta pola cuaca. Pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut melilit bentala, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu. Banyak orang berpikir perubahan iklim diutamakan pada temperatur lebih hangat. Tetapi kenaikan tersebut hanyalah awal dari mulainya anomali cuaca. Karena Bumi adalah sebuah sistem, di mana semuanya terhubung, perubahan di satu area dapat memengaruhi di semua sektor lainnya. Bahkan, pada tahun 2021 di Indonesia, menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.4 °C, sementara tahun 2020 dan 2019 berada di peringkat kedua dan ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C dan 0.6 °C.

Mengenai pengaruh perubahan iklim tersebut, Iis Widya Harmoko selaku Koordinator Bidang Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menuturkan,

“Tidak hanya dari ulah manusia tetapi ada unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian. Pertama, naiknya suhu udara yang juga berdampak unsur iklim lain, terutama kelembaban serta dinamika atmosfer. Kedua, berubah pola curah hujan. Ketiga, meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim seperti El-Nino dan La-Nina serta naik permukaan laut akibat pencairan gunung es di kutub utara," tuturnya. 

Penelitian telah menunjukkan bahwa dalam 100 tahun terakhir, frekuensi dan intensitas fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO), di mana 10 di antaranya terjadi setelah tahun 1940-an. Kekeringan dan banjir di Indonesia menyebabkan kegagalan tanaman dan dalam 10 tahun terakhir terjadi cuaca kering ekstrem El-Nino dan La-Nina. Variasi curah hujan di Jawa sebagai sentra produksi tanaman pangan utama di Indonesia, khususnya padi, jagung, kedelai dan tebu, sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO, di mana kumulatif kegagalan panen disebabkan kekeringan (El Nino) sekitar 250 ribu hektar dan banjir (La-Nina) adalah sekitar 90 ribu hektar.

(Foto: saat berlangsungnya acara/Suandira)

Sehingga, sektor pertanian Indonesia dihadapkan pada ancaman impresi perubahan iklim yang terjadi secara global. Ketahanan pangan lokal berpeluang terpengaruh jika sistem agraria Indonesia tidak disiapkan dengan baik. Hal itu dinilai dapat mempengaruhi proses tanam serta hasil pertanian nasional. Dampak dari perubahan iklim ini memengaruhi sistem pangan termasuk produksi, penyimpanan, akses dan stabilitas harga pangan.

Kemudian, pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian menyebabkan antara lain yaitu pertama, produksi dan kualitas menurun. Kedua, berkembangnya hama penyakit tanaman. Ketiga, penyerbukan tidak sempurna, sehingga hasil tidak maksimal. Keempat, musim tanam akan bergeser dengan resiko kebanjiran.

“Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat mutidimensional  mulai dari sumberdaya, Insfrastruktur pertanian dan sistem produksi pertanian. Impresi tersebut dibedakan atas dua indikator yaitu kerentanan kondisi yang mengurangi kemampuan aspek ketahanan serta berakibat yang ditimbulkan baik secara fisik atau sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh cekaman pergantian cuaca," ujar  Dyah Susanti selaku Dosen Fakultas Pertanian Unsoed dan Tenaga Ahli Earthworm Foundation.

Tindakan strategi mengatasi konsekuensi perubahan iklim global perlu dilakukan melalui upaya mitigasi, evaluasi kesesuaian lahan, komoditas, konservasi serta teknologi budidaya tanaman adaptif. Metode ini dengan cara bergotong royong dapat mencegah pemanasan global dalam biaya lebih murah dari pada sekiranya sudah terjadi. 

Dengan peningkatan aktivitas manusia dan perkembangan zaman turut andil dalam lajuan perubahan krisis iklim. Maka perlu kerja sama yang erat dari berbagai institusi, industri dan pemerintah melalui pengurangan emisi gas rumah kaca serta tindaka konkret lainnya dalam rangka upaya mitigasi terhadap dampak yang terjadi.



Penulis : Suandira Azra Badrianan

Editor : Devi Oktaviana