(Foto: tampak depan Toko Merah/Thomas)

Toko Merah ialah sebuah bangunan bergaya oriental dengan sepuluh jendela dan dua pintu besar terlihat megah dan eksotis dari luar. Namun, tidak banyak yang tahu dibalik megahnya bangunan tersebut menyimpan cerita sedih bahkan kelam untuk etnis Tionghoa. 

Awalnya, Toko Merah dibangun sebagai tempat tinggal Gustaaf Willem Baron Van Imoff pada 1730 yang saat itu menjabat sebagai wakil guberner VOC untuk Batavia. Berkat warisan dari orang tuanya yang pada saat itu terkenal sebagai kalangan atas di Belanda, Van Imoff mendirikan bangunan tersebut dengan desain dan arsitektur yang megah yang memperlihatkan eksklusivitas bangsa kolonial saat itu. 

Dalam buku yang ditulis oleh Thomas B. Altadjar, ‘Toko Merah : Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung’ (2003), Toko Merah merupakan bangunan elite nan megah yang menjadi simbol kejayaan bangsa kolonial yang secara tidak langsung, bangunan ini menggambarkan kesenjangan ekonomi antara bangsa kolonial dan warga lokal.

Lukisan Darah Untuk Tionghoa 

Tidak banyak yang tahu, kawasan Barat Jakarta adalah tempat eksekusi mati orang-orang Tionghoa yang dipercaya memberontak pada era itu. Alun-alun Kota atau yang sekarang dikenal sebagai Taman Fatahilah menjadi tempat eksekusi pemenggalan kepala orang-orang Tionghoa. 

Dalam buku yang ditulis oleh G.B Schwarzen ‘Reise in Oost-Indien’ (1751) seorang cendekiawan asal Belanda yang terjebak saat peristiwa berdarah tersebut menggambarkan jalanan dan lorong-lorong di kawasan Batavia yang digenangi darah dan dipenuhi mayat.

Gubernur Jendral Valkenier dianggap bertanggung jawab atas pembantaian atau bisa dibilang genosida terhadap etnis Tionghoa pada saat itu. Tidak tanpa alasan Valkenier mengeluarkan kebijakan untuk membunuh etnis Tionghoa, kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa alasan. 

Pertama, Ekspansi berlebihan industri gula. Ekspansi besar ini menyebabkan krisis gula di Nusantara, hingga berakibat pada pelaku industri gula di Batavia jatuh. Pada saat itu, pemegang industri gula di Batavia kebanyakan dikuasai oleh etnis Tionghoa sehingga menyebabkan banyak buruh-buruh asal Tionghoa banyak yang dipecat. Keadaan ekonomi yang semakin lesuh dan tuntutan hidup menjadi alasan beberapa etnis Tionghoa yang dipecat tersebut melakukan tindak kriminalitas sehingga meresahkan warga sekitar. 

Kedua, kekhawatiran VOC terhadap imigran-imigran asal Tionghoa. Saat itu, VOC merasa resah dengan kehadiran orang-orang Tionghoa yang mulai berbisnis di Nusantara. Adanya kecemburuan dan ketakutan bangsa Tionghoa menguasai perekonomian di Batavia. 

Ketiga, Kebijakan-kebijakan tidak adil bagi etnis Tionghoa. Pemberlakuan pajak yang tinggi untuk menekan laju bisnis Tionghoa di Nusantara. Tidak hanya itu, melihat banyaknya imigran-imigran yang terus berdatangan di Nusantara, VOC memberlakukan kebijakan surat izin menetap. Melihat kebijakan yang tidak adil oleh VOC, banyak etnis Tionghoa geram dan mulai merencanakan pemberontakan. 

Keempat, beredar kabar bahwa etnis Tionghoa yang di deportasi dari Batavia dibuang ke laut saat perjalanan. Mendengar kabar tersebut kaum Tionghoa di Batavia tersulut sehingga melakukan pemberontakan dan menyerang tentara VOC. 

Keempat alasan tersebutlah yang melatarbelakangi pembantaian yang dilakukan oleh VOC terhadap etnis Tionghoa. Dengan dalih balas dendam terhadap pemberontakan etnis Tionghoa, Valkenier mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi populasi etnis Tionghoa. Bahkan, VOC melakukan sayembara bagi siapa saja yang dapat membawa kepala orang Tionghoa akan diberikan sejumlah hadiah. Mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, bahkan orang sakit sekalipun menjadi incaran saat itu. Sungguh tragis dan keji.  

Berdasarkan hasil wawancara salah satu stasiun Televisi dengan Om Hao seorang pakar retrokognisi, korban yang dibunuh dan dipenggal mencapai 30 ribu jiwa. Menurut kesaksian Om Hao, Toko Merah menjadi tempat berlindung bagi 28 perempuan etnis Tionghoa yang dibawa oleh Madam Belanda saat itu. 

Dipercaya, mayat-mayat yang sehabis dipenggal dikumpulkan dan di buang di kali besar, depan Toko Merah. Tumpukan mayat-mayat tersebut sampai memenuhi kali besar, bahkan kali tersebut dapat disebrangi dengan menginjak tumpukan mayat. Sadis dan tragis, genosida yang dilakukan oleh kolonial saat itu. Banyak luka, tangisan, ketakutan, dan depresi yang menjadi rekaman kelam bagi etnis Tionghoa sampai saat ini.

(Foto: Ilustrasi pembantaian etnis Tionghoa di depan Toko Merah/ ceknricek.com)

Kolonial yang Posesif

Setelah tragedi kemanusiaan yang merenggut kurang lebih 3.000 jiwa, etnis Tionghoa di Batavia diperkirakan hanya tersisa ratusan saja. Tidak sampai di situ, etnis Tionghoa yang tersisa tidak boleh tinggal menyebar, VOC melakukan kebijakan untuk memusatkan etnis Tionghoa di barat daya Batavia atau yang sekarang kita kenal sebagai kawasan Grogol. 

Semenjak kejadian tersebut sentiment negatif dan kecurigaan berlebihan terus diwariskan oleh kolonial. Etnis Tionghoa terus diadu domba dan dikambing hitamkan. Politik pecah-belah dan politik identitas yang VOC jalankan efektif.  

Peristiwa geger pacinan memberikan implikasi yang besar terhadap sejarah bangsa Indonesia. Mulai dari kebijakan sosial-politik, yang membatasi kegiatan antara kaum Tionghoa dan warga sekitar.

Namun, bukannya menjadi pelajaran, rezim orde baru malah mencoba menghilangkan peristiwa kelam itu. Media dan pemerintah orde baru malah terus memberikan stigma negatif kepada etnis Tionghoa dan mengakibatkan efek domino berkepanjangan dan tragedi kemanusiaan. Mulai dari Gerakan anti Tionghoa di Makasar, Kerusuhan Massal di Medan, hingga Peristiwa Mangkuk Merah yang terjadi Kalimantan Barat. 

Pragmatisme masyarakat akan sejarah dan campur tangan media sangat mempengaruhi pikiran yang menimbulkan sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa. Seharusnya  peristiwa geger pacinan dapat menjadi modal sosial untuk menata dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan saling menghargai. 



Penulis : Thomas 

Editor : Devi Oktaviana

Sumber : Mayat dan Darah di Toko Merah (voi.id) 

Papan informasi di sekitar Toko Merah