(Foto: aksi simbolik dalam mengawal kasasi KS UNRI/Devi)

Marhaen, Jakarta - Kasus Kekerasan Seksual di Universitas Riau (UNRI) sudah berjalan kurang lebih 7 bulan. Setelah vonis bebas Syafri Harto serta respon Mendikbud terhadap kasus ini, kini korban bersama Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual berjuang dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Senin (13/06/2022).

Kekerasan Seksual UNRI terjadi di Oktober 2021 dan mulai mencuat ke media sebulan kemudian yaitu pada November dan sudah menjalani berbagai proses dan tahapan. Namun, titik terang tak kunjung terlihat, dari awal kasus ini bergulir saat proses di Kepolisian, Pengadilan, hingga Kejaksaan. Pasca vonis bebas Syafri Harto oleh pengadilan karena dalih kurangnya bukti dan saksi, banyak orang menuai kekecewaan terhadap putusan tersebut. Sampai hari ini, perjuangan korban menuntut keadilan tak kunjung menemui titik terang.

Korban bersama Koalisi Gerakan Anti KS yang terdiri dari organisasi mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas, dan lain sebagainya sudah melewati proses dan tahapan untuk mendapatkan keadilan. Bukan hanya yang terjadi di UNRI saja, putusan vonis bebas tersebut terkesan memberi sinyal pesimistik bagi korban-korban lainnya yang akan atau telah melapor kepada penegak hukum.

Kurang Sigapnya Tindakan Mendikbud 

Respon Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) terhadap kasus ini pada April 2022, menjadi atensi publik karena sigapnya respon beliau dalam menyatakan sikap atas kasus ini. Pemberian sanksi administratif rencananya akan dilayangkan kepada Syafri Harto. Namun, hingga Juni, update perkembangan Mendikbud dalam pemberian sanksi pun bagai hilang ditelan angin. Tak adanya perkembangan akan hal tersebut, Koalisi Gerakan Anti KS kembali mendatangi Mendikbud untuk menagih janji.

Setelah bertemu dengan perwakilan dari pihak Kemendikbud Ristek pada Rabu (08/06/2022), hasilnya masih berada pada tahap penanganan dalam pemberian sanksi oleh Mendikbud. Tak adanya kepastian waktu yang jelas, kapan proses penanganan itu selesai. Kasus ini menjadi kasus pertama yang terjadi setelah Permendikbud PPKS disahkan, tapi dalam proses menuntut keadilan, rasanya masih sulit sekali.

"Prosesnya masih dalam tahap penanganan, kami mendesak pihak Kemendikbud dan UNRI untuk segera melakukan tindakan, baik itu pemulihan hak korban maupun sanksi terhadap terduga pelaku. Serta, mendesak melakukan tindakan dalam beberapa waktu yang dekat. Tapi, memang dari mereka membutuhkan proses. Untuk kejelasan kapannya memang tidak bisa dipastikan, tapi pastinya kita akan menunggu dan terus follow-up untuk kasus ini," kata Agil Fadlan Perwakilan dari Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) UNRI yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Anti KS.

Menurut pihak Kemendikbud Ristek sendiri atas belum terselesaikannya proses pemberian sanksi tersebut karena kasus KS UNRI merupakan kasus pertama setelah Permendikbud PPKS disahkan, sehingga perlu kehati-hatian dalam prosesnya. Namun, Koalisi Gerakan Anti KS tetap mendesak pihak Kemendikbud Ristek atas perkembangan kasusnya.

"Pihak Kemendikbud Ristek meminta kami untuk mempercayakan nantinya untuk proses-prosesnya dan menunggu karena semua memiliki prosedur. Terlepas dari itu, kami juga selalu melakukan desakan-desakan sebab sudah cukup lama kami menunggu," tambah Agil.

(Foto: potret poster yang dibawa pada aksi simbolik/Devi)

Tak Adanya Hakim Perempuan

Melihat proses pengadilan pada kasus KS UNRI, sangat berbeda dengan kasus di Universitas Sriwijaya, kemarin. Dari tiga hakim, salah satunya terdapat hakim perempuan. Sehingga, hasil keputusan pun terlihat berbeda pula. Namun, untuk kasus KS UNRI, tak ada satupun hakim perempuan yang dilibatkan dalam kasus tersebut.

"Yang kita tuntut sebenarnya, dari hakim-hakim di MA itu, mereka salah satunya menyertakan hakim-hakim perempuan yang bergerak di bidang gender supaya hasilnya berbeda dengan putusan di pengadilan Pekanbaru. Dan, hal tersebut menjadi kekecewaan sebab dari teman-teman dan ahli pidana yang menyusun hasil eksaminasi itu, kenapa tidak ada hakim perempuan yang dilibatkan dalam kasus ini, tidak seperti kasus di Universitas Sriwijaya," kata Muhammad Farhan selaku Perwakilan lain dari Komahi UNRI yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Anti KS.

Lanjutnya, dalam proses kasasi ini,  jika hasilnya sama dengan putusan di PN Pekanbaru, korban dapat berpotensi diproses atas tuduhan UU ITE yang sebelumnya sudah dilaporkan oleh pelaku namun belum inkracht (berkekuatan hukum).

"Dari korban sendiri, banyak berharap pada tahap kasasi ini. Jika tahap ini tidak dibenarkan, oleh pihak MA sendiri. Maka, korban dan Komahi akan dituntut oleh UU ITE. Dan, dari pelaku sendiri menuntutnya masing-masing dari kami 10 miliar," tuturnya.

Dalam hal ini, terdapat indikasi adanya hubungan relasi kedaerahan yang dimiliki pelaku ditambah tidak adanya hakim perempuan, sehingga putusan yang dihasilkan kurang memihak kepada korban. 

"Sebenarnya kita (Koalisi Gerakan Anti KS) tak ingin menghubungkan dengan adanya indikasi relasi pelaku di MA dan kita berpikir bahwa relasi ini berpengaruh besar terhadap Pengadilan Negeri Pekanbaru kemarin, maka ada kemungkinan-kemungkinan seperti itu," ucap Farhan. 

Dengan adanya indikasi relasi kedaerahan yang dimiliki pelaku, Koalisi Gerakan Anti KS berharap MA tetap profesional untuk menangani kasus ini. Terlebih, jika dalam indikasi tersebut terbukti, dikhawatirkan hasil kasasi sama dengan putusan di Pengadilan Negeri Pekanbaru.



Penulis : Devi Oktaviana

Editor : Thomas