(Foto: Mochtar Lubis saat masih muda/kompas.id)

Marhaen, Jakarta - Mochtar Lubis seorang pejuang dunia pers Indonesia yang berani mengkritisi pemerintah melalui tulisan yang menuai kecaman dan berujung pada penahanan serta pembredelan media tempat Mochtar menuangkan tulisannya yang  kemudian disebarluaskan kepada masyarakat, namun Mochtar tetap berjuang mengkritisi kinerja pemerintah yang dianggap tidak sesuai karena membiarkan korupsi merajalela di Indonesia kala itu.

Mochtar lahir di  Padang pada 7 Maret 1922 beliau mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat namun hanya setahun kemudian pindah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School), setelah menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1935, ayahnya menganjurkan Mochtar untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Ekonomi di Kayutanam, Sumatera Barat. Disini Mochtar banyak mempelajari hal-hal yang dapat mengembangkan semangat gerakan nasionalis. Kemudian setelah lulus Kayutanam Mochtar kembali melanjutkan pendidikannya di Indonesische Nationale School (INS), pada masa belajar di sekolah ini Mochtar mulai tertarik dengan perkembangan pers Indonesia.

Setelah lulus beliau kemudian mengajar ilmu hitung dan bahasa Belanda di HIS Teluk Dalam di Pulau Nias, belum sampai setahun Ia mengajar, beliau kemudian keluar dari Nias atas perintah Belanda, beliau dituduh menyebarkan paham nasionalisme di sekolah tempat Ia mengajar serta mengajak murid-muridnya untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” di bawah kibaran Sang Saka Merah Putih.

Di Batavia Mochtar pada awalnya bekerja di perusahaan Farmasi, kemudian beliau pindah lagi ke Bank Factorij, yang berkantor di daerah Glodok. Pada 5 Maret 1942 bangsa Jepang masuk ke Indonesia, pada masa inilah Ia mulai mengenal pers walaupun belum memulainya. Awal karirnya di dunia pers dimulai ketika beliau bekerja menjadi staf monitoring siaran radio luar negeri KONIANDO, bagian dari Komando Tinggi Militer Jepang. Kemudian setelah perang dunia II berakhir beliau mulai benar-benar terjun dalam Jurnalistik dengan menjadi wartawan harian Merdeka.

Karir Mochtar dalam Dunia Pers

Kemudian beliau bekerja di surat kabar Antara, namun Ia mengundurkan karena berselisih paham dengan Djawoto yang berhaluan kiri. Ketika bekerja di Antara inilah Mochtar sempat ditangkap di rumahnya di jalan Bonang oleh pasukan Kapten Raymond (Turk) Westerling pada petang hari 18 Desember 1948. Selama bekerja di Antara Mochtar juga bekerja di Harian Indonesia dan menjabat sebagai pemimpin redaksi bersama Hiswara Darma Putra, dan pemimpin umumnya ialah Jullie Effendi bersama Hiswara. 

Ketika mengundurkan diri dari Antara, Effendi dan Hiswara juga mengundurkan diri dari Harian Indonesia sehingga Mochtar dapat menjadi pemimpin redaksi tunggal dan sepenuhnya di Harian Indonesia sejak Agustus 1950. Harian Indonesia sejauh mungkin hendak mengembangkan independensi dalam kebijaksanaan Pemberitaannya. Oleh karena itu Harian Indonesia digolongkan sebagai penganut advocacy journalism. Karena sikap idealismenya surat kabar tersebut berlawanan dengan oknum berkepentingan.

Kemudian pada 5 Januari 1957, Mochtar ditangkap dan menjadi tahanan rumah selama 4 tahun dengan alasan keamanan namun tidak diperiksa kembali setelah itu. Beliau dilarang menulis untuk surat kabarnya, memberikan wawancara, melakukan komunikasi via telepon dan menerima tamu. Namun pada kenyataannya petugas yang menjaganya masih memperbolehkan Mochtar menulis, bahkan mengizinkan tamu menemuinya. 

Pada masa itu semua media pers dilarang memberitakan penangkapan Mochtar serta parlemen dilarang memberikan wawancara Tentang persoalan persoalan tersebut. Lalu Pada 21 Agustus 1958 Mochtar diberhentikan oleh kelompok Hasjim Mahdan dari surat kabar Harian Indonesia, tak selang berapa lama Harian Indonesia pun dibredel oleh pemerintah kala itu.

Karena sikap dan tekad Mochtar memperjuangkan pers Indonesia, dengan memberikan berita serta konsistensinya dalam perjuangan Mochtar terpilih sebagai salah seorang diantara dua pemenang Ramon Magsaysay Journalism and Literature Award untuk tahun 1958. Namun penghargaan tersebut didapatkan setelah 8 tahun kemudian, tahun 1966 beliau juga mendapat penghargaan Hadiah Pena Emas untuk Kemerdekaan Pers dari Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional (Federation Internationale des Éditeurs de Journaux at Publications, FIEJ) di Paris.

Perhatian Mochtar terhadap Kasus Korupsi di Indonesia

Pada masa orde baru kasus korupsi di Indonesia kian meningkat tajam di kalangan pejabat, dan menyita perhatian banyak pihak termasuk pers. Pada saat itu pers menuntut pemerintah untuk memperhatikan tindakan korupsi tersebut yang dapat merugikan semua kalangan masyarakat.

Mochtar memandang bahwa korupsi dan kolusi merupakan sesuatu yang bahaya baik untuk masa itu hingga kedepannya. Menurutnya satu-satunya jalan agar bisa keluar dari korupsi adalah dengan membersihkan birokrasi dari elemen-elemen birokrasi yang korup. Mochtar tidak henti-hentinya memberitahukan pemerintah agar memberantas korupsi tersebut melalui tulisannya.

Setelah keluar dari tahanan tahun 1966 Mochtar kemudian mendirikan  Indonesia Raya (IR) dan baru mendapat izin pada tahun 1968 oleh Menteri Penerangan dipimpin oleh Boediardjo. Pada masa ini surat kabar IR banyak memberitakan isu tentang korupsi yang terjadi seperti Pertamina, kasus malaria 1974, Kasus Korupsi Coopa dan Ciba, kasus; skandal antara Yayasan Al-Ichlas, serta kasus Mantrust.

Namun, pada saat itu pembredelan kembali terulang pada media tersebut, Soeharto memerintahkan prajuritnya untuk membredel surat kabar RI, sementara  pada 14 Februari 1974 Mochtar kembali ditahan selama dua tahun, atas perintah Soeharto. Dengan alasan karena pemberitaan dari media tersebut dapat merusak kewibawaan dan kepercayaan kepemimpinan nasional. Serta pemberitaannya yang menghasut dan mengadu domba rakyat dan pemerintah sehingga dapat menimbulkan kekacauan.

Setelah Indonesia Raya dibredel Mochtar tidak lagi dapat mengkritisi pemerintah terlebih mengungkap kasus korupsi yang merajalela di Indonesia kala itu, namun Mochtar tak tinggal diam beliau terus berupaya untuk mengkritik pemerintah melalui karya sastra beliau merasa bahwa hak-hak setiap individu harus diperjuangkan termasuk hak rakyat yang diambil oleh koruptor.

6 April 1977 Mochtar berpidato di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan menyampaikan sifat asli manusia Indonesia yang kemudian menuai kontroversi dari masyarakat, pidatonya tersebut dimasukan kedalam sebuah buku yang berjudul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab).



Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Devi Oktaviana

Sumber : Tirto.id