(Foto: tampak depan tempat kopi Difabis/Thomas)

Sore itu (26/07/2022), di wilayah Dukuh Atas, jalanan dipenuhi oleh anak-anak dengan gaya unik dan nyentrik, layaknya fashion show dengan menyebrangi zebra cross. Wilayah tersebut, memang menjadi perbincangan karena menjadi tempat anak-anak berekspresi dengan fashion ala street wear. Namun, tidak jauh dari keramaian, tepatnya di tengah Terowongan Kendal, ada salah satu tempat kopi yang menarik perhatian.

Dari ujung terowongan, sudah nampak dua bangunan saling berdekatan dengan atap segitiga. Karena penasaran, aku mendekat. “Aku Tuli” tulisan itu diletakkan di atas toples berisi biji kopi. Barista pun kemudian menyapa dengan senyum dari kuping ke kuping. Ramah sekali. Dia menunjuk ke arah menu yang sudah bertuliskan bahasa isyarat tepat di sebelah kananku. 

Namanya Fajar, seorang teman tuli yang sudah satu tahun lebih menjadi barista di Difabis (Difabel Bisa), tempat kopi yang menjadi program dari Baznas DKI Jakarta. Sejak tahun 2019, tempat itu bertujuan untuk membangun dua kios kuliner, yaitu kopi dan kue yang sengaja dibuat kawasan Transit Oriented Development (TOD) atau pusat pertemuan warga urban untuk melakukan perpindahan moda transportasi.

Tepat di sebelah toko, ada petunjuk untuk melakukan pemesanan dengan menggunakan bahasa isyarat. BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), bahasa isyarat ini memang berkembang dan digunakan teman tuli dan teman inklusif lainnya untuk berkomunikasi. Di Indonesia sendiri ada dua bahasa isyarat yang digunakan, yang pertama ada BISINDO, bahasa isyarat yang menggunakan gerakan kedua tangan, kedua ada SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia), bedanya bahasa isyarat ini hanya menggunakan satu tangan. 

Dengan mengepal, aku membenturkan kedua tangan, memberikan isyarat huruf G yang artinya aku memesan kopi hitam. Beberapa menit kemudian, pesanan saya selesai dibuat. Fajar memang sudah berpengalaman menjadi barista, tak butuh waktu lama untuk ia meracik kopi. Sebelum di Difabis, dia juga sempat menjadi barista di salah satu tempat kopi bilangan Jakarta Utara.

(Foto: plang panduan BISINDO/Thomas)

“Di tempat itu juga ada dua teman tuli dan dua teman dengar. Teman tuli sebagai barista dan teman dengar bagian memasaknya,” tulis Fajar di secarik kertas. 

Teman dengar adalah sebutan untuk orang non-disabilitas, sedangkan teman tuli adalah sebutan untuk mereka yang tidak dapat mendengar dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Istilah ini memang baru-baru ini terdengar. Bagi orang awam, mungkin biasa menyebutnya tuna rungu, yang mirisnya dalam KBBI, diartikan menjadi tuna yang berarti rusak atau cacat, sedang rungu berarti pendengaran. 

Sebelum menjadi barista, Fajar sudah cukup aktif di instagram. Katanya ia sempat menerima endorse untuk produk-produk fashion. Tak salah, Fajar memang memiliki badan yang cukup proporsional, tingginya hampir menyentuh atap, hingga saat melayani konsumen, ia harus cukup menundukkan kepala. 

Tepat di sebelah tempat kopi, berdiri juga toko kue dengan model bangunan yang sama. Namanya Sifa, 24 tahun, berkesempatan mengikuti program yang sama dengan Fajar, setelah kontrak kerjanya tidak diperpanjang di sebuah bank swasta. Selama enam bulan, Sifa mengikuti pelatihan berjualan dan setelah lulus langsung ditempatkan di Difabis ini. 

Dari luar, sudah tercium bau bolen keju yang dipajang di etalase toko. Kue-kue di sini diambil dari salah satu produsen kue yang cabangnya sudah cukup banyak di Jakarta. Dari harga dan rasa juga tidak perlu ditanyakan lagi. 

Untuk cara pemesanan, tidak jauh beda dengan tempat kopi, pembeli tinggal menunjuk atau menggunakan bahasa isyarat untuk memilih kue yang tersedia.  Namun, kerap kali Sifa melayani pembeli yang kurang mengerti dengan kondisinya.

“Aku mau sampaikan, kalo pesan lihat kondisi orangnya, kita tidak seperti orang lain, coba untuk ngomong pelan-pelan dan buka masker atau tunjuk-tunjuk menu, serta jaga etika berkomunikasi dengan teman tuli," tutup Sifa.


Penulis : Thomas Budi Novianto
Editor : Devi Oktaviana