(Foto: ilustrasi disinformasi krisis iklim/nrdc.org)

Marhaen, Jakarta - AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia bersama delegasi Uni-Eropa atau European Union Delegation (EUD) menyelenggarakan webinar dengan tema "Meliput Isu Iklim Melalui Lensa Hak Asasi Manusia" melalui zoom meeting. Jumat, (12/01/2023).

Krisis iklim adalah isu penting terkait masyarakat sehat dan hidup bersih. Iklim dunia semakin memburuk, hal ini dapat mengakibatkan atas kekurangannya pasokan air bersih (sanitasi), longsor, kebakaran hutan, kekeringan, hingga datangnya banjir. Perubahan iklim terjadi secara tidak menentu, tak dapat dihindarkan.

Pentingnya sebuah narasi hak hidup dan kesehatan terhadap isu krisis iklim bertujuan agar masyarakat lebih dekat mengenai HAM. Peran ini juga termasuk ke dalam advokasi kebijakan, meningkatkan kesadaran, hak publik menggapai informasi, sehingga nantinya hal ini akan timbul rasa kedekatan antara pembaca dengan isu krisis iklim, karena untuk menumbuhkan hal tersebut tidak mudah, penyangkalan selalu terjadi dalam tragedi iklim tanpa melibatkan kesadaran bahwa itu menjadi utamanya adalah peran manusia masih kuat.

Ika Ningtyas Unggraini selaku Ketua Umum, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menjelaskan bahwa peran media untuk menjadi bagian vital, mereka mempunyai pekerjaan rumah untuk membuat narasi krisis iklim ini mengarah kepada melindungi hak asasi manusia, melindungi kelompok masyarakat rentan, adat, dan terdampak. 

“Di sini peran media tentunya disebutkan beberapa kali tadi bahwa cukup penting untuk mengadvokasi berbagai kebijakan, untuk mengatasi krisis iklim ini baik dari pemerintah, private sektor, lembaga finansial termasuk juga di masyarakat. Di mana kita harus menumbuhkan kesadaran publik untuk terlibat dalam proses advokasi kebijakan ini kemudian melakukan tindakan secara individual maupun kolektif," ucapnya.

Narasi media diharapkan lebih bisa membenahkan pekerjaan rumah untuk dapat menumbuhkan kesadaran bersama dan mengatasi isu krisis iklim. Dalam membawakan gagasan utama krisis iklim tak hanya sebagai masalah alam tetapi juga segmentasi, dampak, dan pengukuran hal terkait dengan HAM.

Permasalahan yang sama, tidak dilihat pada kaum yang terdampak untuk diberikan segmentasi pengetahuan dan pemahaman. Tak semua dapat hak yang sama tetapi fokusnya pada manusia dalam tata kelola dapat mengikuti perubahan krisis iklim. Arti Indallah Tjakranegara sebagai Country Engagement Manager dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, menyatakan bahwa krisis iklim bukan hanya isu lingkungan atau emisi karbon saja tapi di dalamnya ada manusia-manusia atau masyarakat terdampak.

"Manusia, bukan hanya emisi karbon, seharusnya menjadi pusat dari aksi iklim. Namun, kelompok masyarakat mana, sistem yang mana, dan aktor mana yang paling bertanggung jawab? Dan siapa yang paling terdampak," tutur Arti.

(Foto: sedang berlangsungnya acara/Rizki)

Tidak berarti media tidak mengaitkan krisis iklim secara dalam dan mengimplementasikan hak asasi, sebenarnya media seperti itu sudah ada. Masalah penting menurutnya adalah bagaimana informasi media dapat memberdayakan berbagai segmen audiens (rights holder).

Menurut Yovantra Arief selaku peneliti di Remotivi, membeberkan mengenai penyampain informasi mengenai isu krisis iklim ini tidak menjadi pemberitaan nasional karena media memiliki fokus pemberitaan daerah, tidak melihat peristiwa alam atau iklim dalam lensa lebih besar.  

“Intinya orang-orang tuh, di wilayah yang paling langsung melihat dan merasakan  dampaknya itu mereka bekerja untuk  menghadapi krisis iklim itu adalah nelayan bekerja dengan, dalam konteks, dampak dari krisis iklim tapi mereka tidak tahu. Masalah ini tidak kelihatan, dan tidak bisa dipahami,” pungkasnya.

Strategi mengemas informasi dalam perspektif jurnalisme, di mana kita bisa membuat pandangan dan informasi memiliki keterbacaan baik, tidak diskriminatif, disinformasi, dan berimbang dengan masalah yang dekat di masyarakat. Terkait penyampaian informasi ini, lebih tegas dijelaskan oleh Dewi Safitri selaku Jurnalis di CNN Indonesia, mengatakan bahwa,

"Masalah paling utama adalah sulitnya menguraikan pemahaman terhadap science dari krisis iklim, memakan banyak waktu, tenaga dan uang, serta berita krisis iklim akan dicap negatif sehingga pengiklan tidak ada dan berita tersebut tidak laku atau viral," kata Dewi.

Penegakan HAM melalui isu krisis iklim akan sulit dipecahkan tetapi bukan juga mustahil. Isu krisis iklim bukanlah hal yang tendensi (mainstream) untuk didengar secara luas. Dewi menuturkan bahwa krisis iklim dapat dikaitkan dan tidak untuk dikotak-kotakkan. Isu lain dapat menjadi isu iklim.



Penulis : Muhammad Rizki

Editor : Devi Oktaviana