(Foto: aksi sedang berlangsung/Rizki)

Marhaen, Jakarta - Aksi dalam momentum Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) yang tergabung dengan elemen masyarakat lainnya di Kawasan Patung Kuda, Jakarta,  melayangkan tuntutan mengenai kesetaraan perempuan dalam berbagai bidang terutama hukum dan politik dari suara sampai hak-hak normatif maupun pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja. Rabu, (08/03/2023).

Dikutip dari komnasperempuan.go.id dengan judul Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 dan Peluncuran Catatan Tahunan (CATAHU)  tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan, memberikan data pada tahun 2022 melalui CATAHU terhadap penanganan KBG (Kekerasan Berbasis Gender) memiliki data dengan jumlah 338.496 kasus. Pada Komnas Perempuan dihasilkan data sebesar 3.838 kasus, Lembaga Layanan 7.029 kasus, dan BADILAG (Badan Peradilan Agama) 327.629 kasus.

Dalam dinamika pencatatan, data tahun 2022 signifikan lebih besar 50% dari tahun 2021 dan 52% dari tahun 2020. Perjuangan dan perlawanan akan ketidakadilan yang diberikan oleh para pengusaha maupun kepada peraturan menjadi landasan buruh perempuan Indonesia melakukan aksi menyuarakan terhadap penindasan, pemberangusan, perampasan, dan hak-hak normatif maupun payung hukum bagi mereka akan menjadi berkesinambungan dengan upaya penghidupan yang lebih baik lagi.

Menurut Sunarno, selaku ketua umum Konfederasi KASBI, mengatakan bahwa setiap momentum pergerakan International Women's Day (IWD), Konfederasi KASBI turut andil menjadi penggalang aksi bersama beberapa teman-teman aliansi lainnya dengan fokus utama sebagai peringatan perjuangan kaum buruh perempuan yang telah berhasil pada masa-masa panjang. Lalu, dirinya dan buruh seluruh Indonesia untuk selalu melakukan penghayatan atas hak-hak buruh dan kaum perempuan yang sudah dipinggirkan dan didiskriminasi.

Tuntutan Massa Aksi Pada IWD 2023

Tuntutan massa yang berkaitan dengan Undang-undang Cipta Kerja, yang dianggap tidak relevan karena inkonstitusional, dianggap merugikan kaum buruh. Beberapa pengurangan hak termasuk pesangon, PHK dilengkapi alasan merugi, penghapusan upah sektoral dan kontrak kerja fleksibel juga menjadi masalah. Tuntutan lainnya meliputi penurunan harga kebutuhan pokok dan BBM, serta penghentian kriminalisasi aktivis buruh dan gerakan rakyat lainnya. Siti Eni menyatakan bahwa Perppu Cipta Kerja melanggar konstitusi. Serikat kerja telah berupaya menggagalkan Omnibus Law sejak awal, dan protes dilakukan oleh para buruh pada Hari Perempuan Internasional.

Regulasi dan kebijakan yang sudah dijelaskan di atas, didukung oleh pendapatnya Siti Eni bahwa pelanggaran terhadap konstitusi adalah terbentuknya Perppu Cipta Kerja. Serikat Kerja bersinergi untuk menggagalkan Omnibus Law tersebut mulai dari awal pembuatannya sudah tidak dapat diterima oleh para buruh yang melakukan tuntutan para massa aksi di hari perempuan internasional.

“Hari ini, apapun yang terjadi, regulasi yang diciptakan hari ini sebenarnya hanya copy paste Undang-undang Cipta Kerja. Sejatinya kita sebagai serikat pekerja, kita itu ingin satu Perppu itu adalah untuk menggagalkan Omnibus Law Cipta Kerja namun pemerintah mengkonsep begitu dengan liciknya. Dia bahwa mereka itu melakukan satu konsep untuk kelabui masyarakat untuk diciptakannya Perppu karena memang hari ini Omnibus Law itu dianggap Inkonstitusional dan melanggar konstitusi dari pembuatannya (dari pertamanya atau dibuat),” kata Siti Eni.

Ketidakpatuhan hukum oleh perusahaan-perusahaan sudah terjadi sejak masa reformasi ‘98, Gus Dur (Presiden RI ke-4) menerbitkan Undang-undang No.21  tentang kebebasan berserikat oleh kaum buruh pada tahun 2000. Kenyataannya, di lapangan masih terdapat perusahaan yang tidak mendukung perserikatan buruh dan terdapat diksi seperti pembangkangan dan pemberontak. Hal ini terkait pula untuk melipatgandakan keuntungan dari modal pengusaha tersebut di perusahaannya dan dianggap merugikan perusahaan, kemudian serikat ini wajib diberangus.

“Tidak semua perusahaan itu mendukung adanya serikat pekerja (buruh) karena dianggap kalau buruh membentuk serikat buruh dianggap memberontak dari perusahaan. Padahal tujuan dari serikat buruh bukan itu tapi juga sebagai jembatan untuk menyampaikan aspirasi secara legal dari perwakilan kaum buruh di perusahaan-perusahaan tersebut. Faktanya, sampai sekarang memang banyak perusahaan-perusahaan yang tidak artinya jika buruh membentuk serikat pekerja itu harus diberangus (dimutasi pengurusnya) terus diPHK secara sepihak itu terjadi sampai sekarang,” ujar Sunarno.

Dapat dikatakan hal ini masih dapat ditemui dari daerah Sumatera dan Kalimantan yang mendapatkan perlakuan tidak baik dan halnya buruh yang tidak disenangi oleh perusahaan ketika mereka tergabung dalam serikat dan melawan balik dengan mengungkapkan aspirasi sebagai ujung tombak senjata para buruh.

“Kemudian, kita melakukan satu tuntutan bagi (khususnya) perempuan-perempuan yang bekerja di kebun sawit yang ada di Sumatera, Kalimantan, mereka juga mendapatkan intimidasi ketika mereka sedang membangun sebuah serikat sebagai senjata mereka untuk perlindungan hanya untuk perlindungan bukan perlawanan. Mereka diberangus bahkan mereka diusir dari wilayah perkebunan tersebut,” ujar Siti Eni. 

Menurut Khansa Vina, selaku anggota Sanggar Suara (Komunitas Transgender Perempuan Muda) Jakarta, mengatakan bahwa dari aksi damai Hari Perempuan Internasional merupakan perlawanan terhadap kesetaraan perempuan mengingat bagaimana sejarahnya bahwa perempuan-perempuan suaranya tidak didengar dan memiliki identitas sehingga kaum perempuan terpinggirkan, termarjinalkan, terdiskriminasi, dikriminalisasi. 

Hak-hak Perempuan Sebagai Buruh maupun Individu

Perihal hak perempuan, seorang kaum buruh perempuan yang sudah berkeluarga (mempunyai anak) seharusnya diberi ruang penitipan anak (Daycare) oleh pemerintah di kawasan industri dan bukan diberikan kepada tetangga terdekat dengan keadaan tidak layak untuk dititipkan serta dapat menimbulkan stunting, gizi buruk, dan masalah kesehatan lainnya.

"Selain itu, kita juga mendesak kepada pemerintah untuk menyediakan atau memberlakukan tentang Daycare (tempat penitipan anak) untuk kaum buruh perempuan di kawasan-kawasan Industri karena ini membebani juga mereka punya keluarga, anak harus bekerja dan mereka harus menitipkan anaknya kepada masyarakat di sekitar tapi kebanyakan itu tidak layak. Makanya banyak terjadi gizi buruk, dan juga stunting di anak-anak buruh,” tutur Sunarno kembali.

Lebih lanjut, permintaan para massa adalah diberikannya ruang laktasi, tempat asuh (rumah asuh), hak reproduksi stop pelecehan hingga perlindungan buruh migran seperti TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang bekerja di luar negeri karena bagian dari mayoritas dan tidak mendapatkan perlindungan dan tidak pula seringnya berpulang hanya dengan nama.

Produk regulasi dan kebijakan-kebijakan di level nasional maupun internasional menurut dari data Komnas perempuan masih merugikan teman-teman perempuan. Beberapa Perda (Peraturan Daerah) lainnya merujuk langsung ke beberapa kelompok LGBT terdapat kriminalisasi yang telah dilanggengkan oleh negara. UU TPKS (Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) merupakan kemajuan pemerintah dalam melihat rentannya perempuan sebagai korban tapi melihat juga bagaimana peraturan tersebut dapat mengakomodir berbagai kelompok selain perempuan secara materiil dan bagaimana turunannya (pasal turunan) pula implementasinya. Daripada itu, keterlibatan teman-teman transgender adalah bentuk representasi selain visibilitas masih terdapat suara perempuan yang sudah selama ini menuntut hak-hak asasi manusia.

Konvensi International Labour Organization (ILO) merupakan perjanjian-perjanjian internasional pada negara-negara anggota wajib melakukan ratifikasi kepada Undang-Undang. Pemerintah seharusnya dapat meratifikasi (pengesahan perjanjian internasional) konvensi ILO 1990 tentang kekerasan seksual di dunia kerja telah dicantumkan oleh Konfederasi KASBI. Ditinjau lebih lanjut, pemerintah sebagai pihak paling berwenang terhadap pencetak generasi bangsa yaitu perempuan seharusnya memiliki payung hukum sendiri dan upaya perlindungannya secara sistematis.

“Kasbi konsen juga untuk memperjuangkan perlindungan untuk kaum buruh perempuan dari tindakan pelecehan seksual atau tindakan kekerasan. Kita mendorong waktu itu ada konvensi ILO 190 tentang kekerasan di dalam tempat kerja gitu ‘kan dan Konfederasi KASBI juga mengadakan pendidikan-pendidikan juga untuk kaum buruh perempuan terutama terkait dengan bagaimana saling menghormati (menghargai) sesama buruh baik itu perempuan maupun laki-laki. Selain itu juga, KASBI mendorong agar segera disahkannya Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan pekerja rumah tangga karena itu bagian terpenting juga dari perjuangan serikat buruh,” ungkap Sunarno.

Atas penuturan Siti Eni, mengatakan bahwa harapannya dengan kawan-kawan KASBI maupun perempuan-perempuan yang hadir untuk dapat berpikir cerdas baik mereka dari sektor pertanian, mahasiswa miskin kota tidak lagi berpikir individualis dan diarahkan dapat bergabung membuat satu gerakan kekuatan kolektif melawan pemerintahan kepada kapitalis.



Penulis : Muhammad Rizki

Editor : Devi Oktaviana