(Foto: acara sedang berlangsung/Devi)

Marhaen, Jakarta - Desas desus munculnya pegasus di Indonesia, dapat memberikan ancaman kebebasan berekspresi bagi masyarakat sipil dan masa depan demokrasi di Indonesia. Perangkat ini bahkan mampu mengendalikan ponsel seseorang lebih jauh, seperti mengaktifkan lokasi, kamera, hingga microphone tanpa sepengetahuan pengguna.

Dilansir dari laporan Citizen Lab, disebutkan bahwa pegasus bekerja dengan cara yang berbeda dari perangkat lunak penyadapan lainnya, yaitu tanpa memerlukan tindakan dari pengguna (zero click), sehingga memudahkan dalam menyerang target dengan memasukkan suatu jenis perangkat lunak berbahaya ke dalam ponsel seseorang. Setelah itu, para operator penyadapan dapat mengakses seluruh data yang ada. 

Hadirnya dugaan pegasus ini sempat dibantah oleh argumentasi dari pihak kepolisian bahwa tidak pernah membeli alat tersebut. Namun, hal itu disanggah oleh Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch terlihat dari situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), yang mencakup bukti pihak kepolisian memesan beberapa perangkat yang diduga merupakan produk dari Niv, Shalev, dan Omri (NSO) Group.

“Alat ini menjadi masalah besar dalam kerja-kerja demokrasi di Indonesia. Pertama, anggaran dalam laporan Indonesia leaks alat ini merupakan dari kepolisian sejak 2017-2018. Kita bicara tentang argumentasi yang sempat dikeluarkan oleh pihak kepolisian bahwa tidak pernah membeli. Kalau bicara terkait pengadaan, dalam LPSE muncul nama zero click dan hanya diasosiasikan untuk pegasus. Hal itu dirasa tidak mungkin, jika kepolisian tidak mengetahui bahwa mereka membeli alat tersebut. Mungkin, dengan nama lain tapi penggunaannya mengancam kerja-kerja masyarakat sipil bahkan orang-orang yang kritis terhadap pemerintah,” tuturnya dalam Konferensi Pers Alat Sadap Pegasus Ancaman Bagi Demokrasi. Selasa (20/06/2023).

Aturan penyadapan di Indonesia diatur pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 UU Telekomunikasi menyatakan bahwa setiap manusia dilarang keras melakukan aktivitas penyadapan yang kemudian disalurkan dalam bentuk apapun. Aturan mengenai penyadapan juga diatur dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang tertuang di UU No. 39 Tahun 99 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 30.

Menurut Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ada banyak sekali bukti bahwa pengawasan digital merupakan pengawasan yang tidak pada tempatnya (Unlawfull), sebuah bentuk pelanggaran hak asasi, jika dilakukan dengan sengaja dan ditargetkan untuk perampasan hak privasi maupun merusak sistem demokrasi.

Ia juga menambahkan, penyalahgunaan alat sadap dapat merampas hak terhadap rasa aman. Selain itu, menurutnya perlu ada aturan khusus untuk mengawasi alat tersebut. Jika tidak ada pengawasan, dikhawatirkan terjadi kejadian yang tidak diinginkan dan mengkhawatirkan menurunnya kondisi demokrasi di Indonesia.



Penulis : Devi Oktaviana

Editor : Na'ilah Panrita Hartono