(Foto: sedang berlangsungnya acara/Rizki)

Marhaen, Jakarta - Project Multatuli mengadakan diskusi publik mengenai "Pemilu 2024: Gerilya Media Mungil Mengawasi Kekuasaan yang Ugal-Ugalan dan Corong Suara Mereka yang Dipinggirkan" bertempat di Erasmus Huis, Jakarta Selatan. Sabtu (03/06/2023).

Mendekati pemilu 2024 banyak sekali permasalahan yang dihadapi oleh pers, di mana mereka harus tetap dituntut untuk independen meski keberadaanya selalu di intervensi. Tidak hanya datang dari pemerintah saja, intervensi pun bisa datang dari kepentingan suatu individu maupun kelompok.

Peran pers adalah sebagai pilar keempat demokrasi, yaitu sebagai alat kontrol pemerintah yang artinya pers memiliki hak untuk mengkritik kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan juga yudikatif. Namun, konsep pers sebagai pilar keempat demokrasi dipertanyakan maknanya saat ini.

"Sebenarnya kami ingin mengembalikan konsep media sebagai pilar keempat demokrasi. Konsep itu perlu dikritik, mungkin media masih menjadi pilar keempat demokrasi, tetapi menjadi pilar yang memperkuat pilar pertama, kedua dan ketiga. Makna bahwa pilar keempat yaitu mengawasi menjadi tidak terlihat," ujar Ronna Nirmala selaku Redaktur Pelaksana Project Multatuli.

Media yang awalnya berperan sebagai suatu alat yang memberikan ruang yang tak terbatas untuk berimajinasi tentang hal hal yang tidak pernah dibicarakan, tetapi menjelang Pemilu banyak sekali media-media umum yang dimiliki oleh orang-orang mempunyai orientasi politik atau mempunyai lembaga politik seperti partai politik menggunakan media sebagai alat untuk menunjang kekuasaan politik. 

Menjadi pers yang independen dan berpegang teguh pada prinsip jurnalisme memang sangat dibutuhkan untuk saat ini, tetapi banyak media saat ini masih takut karena modal mereka akan terputus. Ronna Nirmala mengatakan bahwa untuk tetap bertahan menjadi pers yang independen saat ini sangatlah berat.

"Menjadi pers yang independen saat ini memang berat. Akan tetapi, kita dapat menjaga independensi dengan dua cara, yaitu tidak menerima dana dari pemerintah atau pihak lain dan mengangkat isu-isu sensitif bagi pemerintah," lanjutnya.

Dilansir dari voaindonesia.com, indeks Kebebasan Pers Dunia 2023, Indonesia menempati urutan 108 dari 180 negara. Artinya pers di Indonesia masih terkekang dan takut untuk mengkritik para lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Padahal menurut Sapto Anggoro selaku anggota Dewan Pers, tak perlu takut menyampaikan pendapat melalui media. 

"Dalam konteks Jurnalistik, kebebasan pers sudah diatur dalam UUD 45 pasal 28f kebebasan menyampaikan pendapat melalui media dan itu diterapkan di UU Pers No. 40 tahun 1999 Pasal 15 ayat 2 dijelaskan bahwa Dewan Pers menjaga kebebasan pers," ujarnya.



Penulis : M. Zacki P. Nasution 

Editor : Bintang Prakasa