(Foto: aksi sedang berlangsung/Anan)

Marhaen, Jakarta - Aksi Nasional menuntut Cabut Undang-Undang Cipta Kerja yang terdiri dari aliansi buruh, pelajar dan mahasiswa digelar di Jalan M.H. Thamrin. Kamis (10/08/2023).

Gejolak penolakan UU Cipta Kerja menuai banyak polemik dari berbagai elemen masyarakat sejak awal pengesahannya pada 05 Oktober 2020, mulai dari proses pembentukan hingga substansinya. Oleh karena itu, di tahun yang sama juga, UU tersebut mengalami Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK). Akibatnya, MK menghasilkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa "UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat".

Menurut Sunarno sebagai Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), seharusnya hasil dari putusan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun sesuai makna inkonstitusional bersyarat dalam Putusan MK yang diucapkan tanggal 25 November 2021 hingga 25 November 2023.

"Setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat di 2021, harusnya dikasih waktu dua tahun untuk memperbaiki proses pembentukannya di sidang DPR itu, tapi ternyata tidak dilakukan. Justru DPR merevisi Undang-Undang P3, sehingga memuluskan presiden untuk menerbitkan Perppu," pungkasnya.

Dalam proses tersebut, UU Cipta Kerja masih berlaku dengan syarat DPR dan pemerintah harus melakukan perubahan sesuai dengan perintah dari putusan MK, tetapi dengan alasan situasi darurat dan untuk menghindari ketidakpastian hukum. Lalu, Presiden menerbitkan Perppu yang memerlukan tindakan cepat. Proses tersebut hanya memakan waktu 50 hari.

Terbitnya Perppu, yang berujung menjadi penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang pada 31 Maret 2023. Hal itu menimbulkan respon pula dari masyarakat terkait UU tersebut dalam aspek formilnya, sebab secara proses pembentukannya minim partisipasi masyarakat.

Perjuangan pun terus berlanjut, Sunarno menjelaskan bahwa perubahan nama tersebut, tetap saja dalam substansinya tidak berbeda. Oleh karena itu, perjuangan buruh tak hanya turun ke jalan saja, tetapi juga mengajukan judicial review di MK

"Selain aksi turun ke jalan, kami juga melakukan gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi, uji formil, bukan materiil. Karena kami menganggap proses pembentukannya menyalahi konstitusi, itu juga kita tuntut kepada MK, kemungkinan akhir September ini akan ada putusan MK," jelasnya.

Sunarno juga menambahkan, salah satu aspek yang merugikan buruh dalam UU Cipta Kerja terkait bertambahnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebelumnya, PKWT berlangsung hanya maksimal tiga tahun kini, dalam UU Cipta Kerja menjadi maksimal lima tahun, yang berdampak terhadap jaminan kepastian kerja buruh.



Penulis : Devi Oktaviana

Editor: Na'ilah Panrita Hartono