(Foto: ilustrasi pembungkaman berpendapat/pixabay)

Marhaen, Jakarta - Pedeoproject mengadakan diskusi publik dengan tajuk “Menguji Rasionalitas Pasal Keonaran: Studi Kasus Fatia-Haris, Rocky Gerung dan lainnya” dengan membahas pembatasan berpendapat. Rabu (09/08/2023). 

Menginjak dua   periode   kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden, terdapat banyak kemunduran bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya. Pembatasan  ini mulai terlihat ketika adanya penolakan terhadap beberapa undang undang seperti, pengesahan Undang Undang  Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), UU Cipta Kerja, dan Juga Pembaruan  Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). 

"Dari hal itu kita melihat ruang privasi publik pada akhirnya dilanggar dan pola-pola kekerasan ataupun pelarangannya itu memiliki pola-pola yang sama dalam artian, orang yang ditangkap bukan hanya menciptakan rasa takut bagi orang yang ditangkap. Tidak hanya menciptakan trauma orang yang terdampak sebagai korban penangkapan, tapi lebih jauh lagi oleh banyak masyarakat sekarang," Ungkap Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 

Trend pembatasan ini memuncak juga ketika era Covid 19 dimana banyaknya kegiatan yang terpaksa harus melalui medium digital. Hal ini terjadi kepada orang-orang dari organisasi masyarakat sipil  dan orang orang menyuarakan pendapatnya melalui media sosial 

"Pemerintah lewat beberapa aturan baik dari UU Karantina dan surat telegram Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) akhirnya memandatkan untuk mempunya virtual police yang biasanya nge dm (direct message) orang yang mengkritik performa atau kebijakan pemerintah," Ucapnya 

Menurut Fatia penangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melalui intel, polisi, dan tentara seakan akan seperti sedang terjadinya darurat sipil merupakan tindakan cukup berbahaya jika kita mengakui bahwa negara ini adalah negara demokrasi.  

"Karena, kalau Indonesia memang  mengamini dan juga setuju bahwa Indonesia negara demokrasi seharusnya menjunjung nilai universalitas  HAM (Hak Asasi Manusia). Dimana tidak bisa dilakukan tebang pilih HAM bagian mana aja nih yang mau kita adopsi ke aturan aturan nasional,"  tuturnya. 

Fatia juga kembali mempertegas mengenai kemunduran, sebab menurut data semakin tahun semakin banyak korbannya khususnya dari sektor sumber daya alam. Mengapa demikian, sebab masifnya investasi dan  pembangunan yang dilakukan. 

"Orang yang melakukan perjuangan di sektor sumber daya alam melakukan aksi massa, mengekspresikan pendapat mereka. Sudah gitu juga melakukan banyak aksi protes, demonstrasi dan lain sebagainya sebagai esensi demokrasi itu sendiri akhirnya dikriminalkan" pungkas nya. 

Hal itu sangat disayangkan, sebab aksi protes maupun kritik yang dilakukan masyarakat merupakan bentuk kekecewaan melihat pejabat yang dipilih seharusnya mendengarkan ataupun melayani tetapi malah melakukan hal yang sebaliknya seperti pengabaian. 

"Kita kritik lah, kita berhak marah ketika kita tidak puas dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh negara itu sendiri" jelasnya. 

Pembatasan ini juga memaksakan pandangan masyarakat harus satu warna, tidak boleh adanya perbedaan. Masyarakat dipaksa untuk memberikan respon yang homogen atau akan dianggap melakukan keonaran. Akan Tetapi, dalam kenyataannya pendapat akan selalu ada perbedaan  

"Bahkan dalam berbicara saja dan menyampaikan pendapat. Dalam tafsirnya seakan akan harus sama atau enggak kita dianggap onar,"  katanya 

Di akhir sesi pemaparannya fatia mengungkapkan jika masyarakat dianggap melakukan keonaran dengan menyuarakan pendapatnya, buzzer yang malah sering melakukan tindakan seperti doxxing bahkan sampai melakukan hate speech malah tidak pernah dikenakan pasal keonaran, sebab merupakan alat negara 

"Ada standar ganda di sana  ketika diterapkan. Masyarakat yang tidak pro terhadap pemerintah dan juga menyatakan kontranya di sosial media pada akhirnya dapat dipidanakan sewaktu waktu melalui pasal keonaran," Tambahnya. 



Penulis: Muhammad Rizki

Editor: Na'ilah Panrita Hartono