(foto: ilustrasi penggunaan teknologi buatan di lingkungan akademik/ Kompasiana.com)

Saat ini ada berbagai macam teknologi kecerdasan buatan, salah satunya adalah Chat Generative Pre-trained Transformer atau yang biasa kita kenal dengan Chat GPT. Teknologi mesin berbasis kecerdasan buatan yang dapat menjawab pertanyaan dan dapat menyelesaikan berbagai tugas literasi di bidang akademik.


Maraknya penggunaan Chat GPT di kalangan mahasiswa karena dapat menjawab tugas akademik dengan waktu yang cepat, sehingga hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di lingkungan akademik. 


Teknologi kecerdasan buatan tersebut dapat memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkan jawaban dalam mengerjakan ujian, membuat tulisan ilmiah, hingga membantu dalam membuat skripsi tanpa menghabiskan banyak waktu. 


Oleh karena itu, Chat GPT menjadi solusi praktis bagi mahasiswa dalam menghadapi tekanan akademik yang seringkali menumpuk karena dengan bantuan tersebut waktu yang dikeluarkan lebih sedikit dan efisien. 


Namun, jika mahasiswa terus menerus mengerjakan tugas akademiknya dengan cara yang praktis tersebut akan menimbulkan sikap tak jujur saat ujian serta mengurangi nalar kritis dan kreativitas mahasiswa yang mana sudah ketergantungan akan jawaban instan dari teknologi kecerdasan buatan tersebut. Serta bingung untuk berpikir lebih mendalam dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam menghadapi suatu masalah, sehingga kualitas pemahaman dan keterampilan analitis mereka jadi terhambat. 


Selain itu, risiko plagiarisme juga meningkat ketika mahasiswa menggunakan Chat GPT dalam mengerjakan tugas akademiknya. Mereka dengan mudah mendapatkan jawaban tanpa mencari lebih dulu sumber atas data tersebut, tanpa disadari telah melakukan pelanggaran etika akademik yang dapat merugikan banyak pihak. 


Tak hanya itu, kurangnya transparansi dan kredibilitas pada data yang dapat menimbulkan misinformasi, disinformasi, malinformasi. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak serius bagi pengetahuan dan pembelajaran yang akurat. 


Peralihan atensi terhadap Chat GPT sangatlah mencemaskan karena dengan jawaban serba instan dan hemat waktu yang diberikan oleh teknologi kecerdasan buatan, dikhawatirkan akan membuat budaya literasi makin rendah. Sebab, Indonesia telah menempati 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi yang rendah. Hal tersebut tercatat dalam survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA). 


Mahasiswa jangan terlena dengan kemudahan yang diberikan teknologi kecerdasan buatan tersebut. Mereka perlu mencari sumber pengetahuan yang lebih valid dan membaca literasi dari sumber yang lain, seperti media cetak ataupun sumber literasi digital, agar nantinya dapat menumbuhkan budaya literasi dan memperluas wawasan. 


Dengan demikian, kesadaran akan dampak positif dan negatif Chat GPT menjadi penting bagi mahasiswa, menggunakan teknologi kecerdasan buatan tersebut secara bertanggung jawab dan menggabungkan dengan sumber ilmu pengetahuan yang lebih luas maka dapat mengoptimalisasi teknologi tersebut dan menjaga kualitas pembelajaran serta intelektualnya. 





Penulis : Bintang Prakasa

Editor : M. Zacki P. Nasution