(foto: cover buku Panggil Aku Kartini Saja/gramedia.com)

Judul : Panggil Aku Kartini Saja

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta

Cetakan : 2003

Tebal : 308 Halaman 

ISBN : 9789793820057

Buku ini menceritakan tentang perlawanan seorang perempuan yang bernama Raden Ajeng Kartini. Ia melawan sistem feodalisme dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak yang seharusnya juga didapatkan oleh perempuan, seperti hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, hak pendidikan, hak pengambilan kebebasan serta hak-hak lainnya.

Kartini lahir di masa tanam paksa tepatnya pada 21 April 1879, ia berasal dari keluarga kasta Brahmana (bila dipergunakan sistem kasta Hindu). Ayahnya merupakan seorang Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Ario Sosroningrat, hal tersebut menjelaskan betapa tercukupinya kehidupan kartini dan ibunya merupakan perempuan cantik bernama Ngasirah yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja.

Kartini kecil hidup dengan banyak kesedihan karena ibu kandungnya merupakan seorang selir dan ia diasuh oleh ibu tirinya yang merupakan istri tua ayahnya. Ibu tua dan ibu kandungnya adalah perempuan kuno yang hanya meneruskan tradisi ningrat kuno, yaitu  memposisikan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan. Lebih tepatnya, yang mengasuh Kartini semasa kecil adalah konflik rumah tangga. 

Di zaman itu apabila anak perempuan bersekolah merupakan sebuah penghianatan besar, karena perempuan dilarang keluar rumah. Kartini masuk ke sekolah rendah Belanda yang merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kotanya. Di sekolah, Kartini juga mendapatkan diskriminasi karena warna kulit yang coklat, kedudukannya dalam susunan sosial serta ia juga mengalami kesulitan dalam bahasa Belanda.

Kartini hanya sekolah hingga berusia 12 tahun, setelah memasuki usia 12 tahun ia dipingit. Ia sangat haus akan ilmu pengetahuan dan memohon kepada ayahnya agar bisa melanjutkan pendidikannya seperti kakak-kakak lelakinya, tetapi ia tetap tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena kejamnya kehendak masyarakat feodal pada zaman itu.

Kemiskinan dan kemelaratan merupakan kata yang cocok untuk menggambarkan rakyat kebanyakan. Kartini memiliki simpati kepada rakyat yang dimiskinkan serta dibodohkan oleh kolonialisme dan sistem feodal di masa itu. 

Sejak tahun 1900, ia masif berkirim surat dengan sahabat penanya seperti Estelle "Stella" Zeehandelaar, Pieter Sijthoff, Hendri Hubertus Van Kol dan masih banyak lagi. Surat menyurat mengambil bagian penting dalam kehidupan Kartini.

Hanya sedikit orang pribumi yang menguasai Bahasa Belanda dan Kartini salah satunya. Bahasa Belanda merupakan alat pribumi untuk memasuki benteng dan Belanda berusaha sekeras-kerasnya agar benteng itu tidak dimasuki. Hal tersebut merupakan salah satu contoh pembodohan kepada masyarakat pribumi.

Kartini menyukai seni, ia juga tertarik kepada dunia sastra,  pada usia 16 ia telah mengarang  tentang adat perkawinan golongan Koja di kota Jepara. Kemasyhuran Kartini ini tidak membuatnya menjadi pribadi yang meninggi, bahkan sebaliknya. Ia meminta tulisannya yang diterbitkan justru memakai nama samaran. 

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai buku ini kalian bisa langsung membaca bukunya, bagi saya novel karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan buku yang sangat menarik untuk dibaca semua kalangan. Buku ini menceritakan hal-hal lain dari kehidupan Kartini yang jarang orang ketahui. 

Karena awalnya buku ini terdiri dari empat jilid, tetapi jilid ketiga dan keempatnya tidak bisa diselamatkan dari vandalisme tentara purba 1965 dan hanya bisa diselamatkan dua jilid saja. Hal itu yang membuat buku ini dibeberapa detail sulit untuk dipahami.

Meski buku ini memiliki kekurangan, saya tetap merekomendasikan buku tersebut  untuk dibaca semua kalangan. Biografi dalam bentuk novel merupakan nilai plus dari buku ini, darinya juga kita bisa melihat bagaimana keadaan Indonesia di zaman itu serta keresahan-keresahan yang dialami oleh Kartini dengan sistem yang ada.





Penulis : Dinda Aulia 

Editor : Bintang Prakasa