(Foto: ilustrasi ketimpangan pendidikan/korenshadmi.com)

Program Merdeka Belajar - Kampus Merdeka (MBKM) yang resmi diluncurkan pada awal tahun 2020 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Kampus merdeka memiliki beberapa jenis program, salah satu diantaranya adalah Indonesian International Mobility Awards (IISMA). 

IISMA telah resmi diselenggarakan pada tahun 2021, ia merupakan program beasiswa oleh pemerintah Indonesia untuk memberi kesempatan bagi mahasiswa dari perguruan tinggi Indonesia agar bisa mengikuti proses pembelajaran pada perguruan tinggi manapun di dunia untuk memperkaya wawasan serta kompetensinya di dunia nyata. 


Pada tahun 2021 IISMA didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), tapi setelahnya dan hingga kini laporan keuangannya tidak jelas adanya. Lalu, program tersebut juga memiliki beberapa persyaratan, beberapa diantaranya adalah memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3.0, mendapatkan surat rekomendasi dari Wakil Rektor bidang Akademik dari perguruan tinggi masing-masing, serta memiliki nilai sertifikasi bahasa inggris, yaitu IELTS dengan minimal 6.0, TOEFL iBT minimal 78 dan Duolingo English Test dengan skor 100.


Dengan adanya persyaratan harus menunjukkan nilai sertifikasi bahasa inggris yang tertera di atas, hal tersebut telah menunjukkan bahwa IISMA diperuntukkan hanya bagi orang dalam segi sosio-ekonomi menengah keatas saja. 


Mengapa demikian, karena program beasiswa tersebut tidak menanggung biaya untuk IELTS maupun TOEFL dan biaya tersebut harus kita keluarkan dari kantong sendiri, sebesar 6 jutaan untuk mengikuti kedua tes tersebut.


Tak hanya itu IISMA juga termasuk dalam merit based scholarship, yaitu beasiswa yang mana seharusnya program tersebut berkaitan erat dengan kinerja akademis pelamar yang harus memenuhi standar tertentu dari lembaga masing-masing. 


Namun, pada nyatanya IISMA dapat dibilang tidak sepenuhnya memenuhi sistem merit-based hal itu terjadi karena mahalnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan beasiswa tersebut. 


Jangankan memikirkan untuk menyiapkan biaya tes bahasa dan biaya untuk hidup di negara tujuan, jika pada nyatanya program pendidikan saja belum merata dan tidak semua dapat merasakan bangku perkuliahan karena mahalnya biaya untuk masuk ke perguruan tinggi. Sebagai contoh, jika kita ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kita harus mempersiapkan dana lebih besar untuk bimbel dan tentu saja buku-buku sebagai penunjang hal itu dan tentunya lagi-lagi kelompok sosio-ekonomi atas lebih mudah mendapatkan akses tersebut.


Menurut data yang ditampilkan dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, menyatakan bahwa pada rentang usia 18 sampai 23 tahun hanya 21% yang mempunyai akses ke perguruan tinggi dan distribusi antara kelompok atas dan bawah tidak merata. Kelompok terbawah hanya 10% yang dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi sedangkan kelompok terkaya yang dapat berkuliah di angka 50%. 


Maka dari itu, IISMA dapat dibilang sebagai program regresif karena manfaatnya lebih banyak diterima oleh kelompok sosio-ekonomi atas dan sudah jelas tertera pada data di atas menunjukkan program beasiswa tersebut memperburuk ketimpangan. 


Saat ini program tersebut membuka "IISMA Co-Funding" hal tersebut adalah sebagian pendanaan program ditanggung oleh pemerintah dan sebagiannya lagi harus ditanggung secara mandiri. Cakupan yang ditanggung oleh program beasiswa tersebut hanya meliputi biaya pendaftaran, biaya pendidikan, serta biaya penerbangan saja dan untuk biaya hidup selama di negara tujuan ditanggung oleh kita sendiri. 


Dengan adanya IISMA Co-Funding makin jelas terlihat bahwa program beasiswa tersebut  hanya dapat diperoleh oleh orang yang memiliki privilese. Karena bisa dibayangkan sendiri biaya hidup selama kuliah di negara tertentu dan tidak ditanggung oleh program beasiswa terkait, hal tersebut sungguh hal yang menjerat dan merampas mimpi-mimpi sekelompok orang yang dalam segi sosio-ekonomi menengah kebawah. 


Oleh karena itu, perlu adanya skema pembiayaan perguruan tinggi yang lebih bijak karena dengan adanya hal tersebut kelompok yang kurang berprivilese dalam segi prestasi akademik dan juga akses ke PTN tertentu bisa diberikan bantuan untuk masuk dalam Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 


Karena seperti yang telah saya tulis di atas, bahwa agar dapat diterima di suatu PTN itu membutuhkan biaya yang mahal dan hal tersebut sungguh merugikan bagi kelompok sosio-ekonomi bawah dan menguntungkan untuk kelompok sosio-ekonomi atas karena mereka lebih mampu mengakses hal itu. Sehingga, bukan kelompok bawah kurang memiliki prestasi akademik, tetapi fasilitas dan akses yang mereka dapatkan sungguh jauh berbeda. 


Bahkan, bagi kelompok sosio-ekonomi bawah yang memiliki prestasi akademik dan diterima dalam PTN tertentu, tetapi  mereka masih menemui hambatan lagi, yaitu mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan tidak meratanya pembagian UKT sesuai kemampuan ekonominya. Sehingga, menyebabkan mereka harus merelakan mimpi-mimpinya tersebut 


Perlu adanya kebijakan penting terkait orang-orang yang kurang berprivilese agar cepat dapat diprioritaskan khusus, dengan bisa membuat skema pembiayaan alternatif seperti beasiswa yang benar-benar merit-based serta perluasan Program Indonesia Pintar (PIP) dan juga PIP kuliah yang harus diseleksi hanya untuk yang membutuhkan dan secara merata. 





Penulis: Bintang Prakasa

Editor: Muhammad Zacki P. Nasution