(Foto: gambaran perjuangan warga Rempang/Na'ilah)

Marhaen, Jakarta - Warga Pulau Rempang menolak rencana relokasi yang ingin dilakukan oleh tim gabungan bersama Badan Pengusahaan (BP) Batam yang berupaya memasang dan mematok tanah dengan paksa sehingga mengakibatkan kericuhan yang tak terhindarkan.

Kericuhan ini sendiri mengakibatkan beberapa masyarakat sipil terluka. Awal dari persoalan tersebut terjadi adalah akibat dari pemberian sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) yang diberikan kepada BP Batam oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

“Kronologi kejadian sekitar pukul 09.51 WIB Tim Gabungan sudah bersiap di depan jembatan Balerang hendak bersiap masuk ke Pulau Rempang, tetapi dihadang warga. Tim Gabungan   memaksa untuk masuk hingga terjadi pelemparan ke arah petugas dan akhirnya petugas bereaksi dengan melakukan penembakan gas air mata hingga memaksa mundur warga.” kata Shaolin. Rabu (21/09/2023).

Kamis (07/09/2023) Pukul 10.26 Tim Gabungan merangsek ke kawasan sekolah (SMP 22 Galang dan SD 24 Galang) Masyarakat dan Guru meminta untuk menghentikan penembakan gas air mata karena ada anak sekolah. Pukul 11.00 WIB enam orang warga diamankan petugas hingga pukul 14.53 WIB Tim gabungan terus bergerak memaksa masuk.

Buntut kejadian di Rempang belum menemui titik terang dari pemerintah setelah kericuhan yang terjadi. Walaupun pemerintah mengklaim sudah menawarkan solusi dan masyarakat menerimanya, nyataannya penduduk setempat masih menolak digusur. Selain itu mereka menolak berdialog karena merasa diintimidasi dan berada dibawah tekanan karena aparat keamanan yang terus menduduki pulau tersebut.

“Maunya masyarakat kalau ingin dialog ya tarik dulu semua aparat keamanan dari Pulau Rempang lalu, biarkan situasi masyarakat kondusif maka disitu bisa terjadi dialog dengan posisi masyarakat setara dengan pengambil kebijakan.” imbuh Shaolin. 

Tindakan mendesak BP Batam terhadap masyarakat adat di Pulau Rempang dapat menghilangkan identitas yang sejak lama sudah dijaga oleh penduduk setempat, bahkan berpotensi menghilangkan pekerjaan mereka yang berprofesi sebagai nelayan yang menjadi sumber pendapatan untuk menghidupi keluarga.

“Dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi. Hal ini berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat Tempatan itu sendiri. Pemerintah terlalu memaksakan kalau, memindahkan masyarakat Rempang dari kehidupan alaminya di sekitar pesisir. Selain itu masyarakat adat yang terdampak proyek ini akan mengalami kerugian seperti kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, ikatan ekonomi termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun.” tambahnya lagi

BP Batam mengatakan sudah melakukan sosialisasi terkait proyek yang akan bangun pulau tersebut namun masyarakat Pulau Rempang mengaku itu hanya sebatas sosialisasi dan tak ada pendekatan dengan warga setempat untuk berdialog. Namun, pada faktanya berbanding terbalik.

“Pulau rempang terkait tanah adat yang akan diambil alih oleh investor? Apa yang dimaksud pendekatan?  Sebab kalo yang dimaksud pendekatan adalah sosialisasi maka sudah pernah dilakukan oleh BP Batam, tetapi sosialisasi kan bukan pendekatan. Karena bersifat mengabarkan saja. Seharusnya sejak awal ada pendekatan yang disebut dengan dialog, sebab ini masyarakat yang juga bisa diajak dialog, diajak bicara, masyarakat ini juga bisa berpikir. Akhirnya setelah sosialisasi dianggap bahwa masyarakat menerima semua rencana BP Batam, padahal faktanya kan tidak begitu.” tambahnya lagi 



Penulis: Michael Gono Ate

Editor: Na'ilah Panrita Hartono