(Foto: sedang berlangsungnya diskusi/Rizki)

Marhaen, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama United States Agency for International Development (USAID) dan Internews mengadakan diskusi publik bertajuk “Mendorong Kesejahteraan Jurnalis Lepas di Tanah Air” dengan pembahasan pemetaan kesejahteraan jurnalis lepas daerah yang berdampak terhadap jurnalisme berkualitas. Kamis (21/09/2023).

Sebagai pilar ketiga dalam demokrasi, jurnalis memegang peran penting dalam mengawasi kekuasaan dan memberikan edukasi. Lalu, menjalankan jurnalisme berkualitas dan mengikuti dengan tegas kode etik jurnalistik. Potensi ini mulai menghilang dengan serangkaian kesenjangan yang dirasakan oleh jurnalis saat ini dan tergerus oleh digitalisasi yang menambah beban kerja semakin hari kian berat.

Data pemetaan kesenjangan ini berasal dari hasil riset AJI dengan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) yang dikumpulkan selama enam bulan dan dikeluarkan oleh AJI tidak lepas dari posisi jurnalis sendiri, memiliki kerentanan berupa ancaman keamanan ekonomi dari jurnalis lepas. Dengan keamanan ekonomi yang tidak terpenuhi terlepas dari ancaman fisik dan regulasi, tentu dapat mengurangi kinerja profesionalitas.

“Keamanan Ekonomi ini menjadi salah satu indikator dari keamanan jurnalis selain dari keamanan fisik selain dari bebas dari ancaman regulasi dan sebagainya. Ini menjadi penting kalau keamanan ekonomi tidak terjaga maka potensi teman-teman jurnalis melakukan mal pekerjaan kemudian tidak profesional itu memang akan sangat-sangat tinggi dan tentu publik akan dirugikan karena mendapatkan informasi yang tidak berkualitas,” ujar Sasmito Madrim, selaku Ketua Umum AJI Indonesia.

Di lain hal, Jurnalis Lepas dikatakan sebagai Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dalam statusnya. Menurut Sasmito, status tersebut tidak tepat disandang oleh Jurnalis Lepas dikarenakan Jurnalis tersebut selalu bekerja menghasilkan berita untuk perusahaan sepanjang waktunya. Dan sebagian media nasional memperlakukan jurnalis daerah dengan status kontrak memiliki upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang tidak dapat dinormalisasi atau ditoleransi.

“Ketika menerapkan hubungan ketenagakerjaan kontrak, PKWT atau apapun istilahnya, itu sebenarnya tidak boleh juga upahnya di bawah UMP. Baik kita mengacu kepada Undang-Undang Tenaga Kerja ataupun Undang-Undang terbaru seperti Cipta Kerja, itu perusahaan memang dilarang memberikan upahnya di bawah UMP,” Ucap Sasmito.

Kecenderungan industri media dalam hubungan ketenagakerjaan atas status jurnalis lepas daerah ini merupakan simbolis media memberikan upah melalui peraihan total penonton halaman (page view). Hal ini disampaikan oleh Edi Faisol, selaku ketua divisi tenaga kerja AJI, memberikan keterangan bahwa agar berita dibaca banyak pembaca, jurnalis dikatakan banyak melenceng dari kaidah etika jurnalisme.

“Jika ada perusahaan media yang masih memberlakukan seperti ini artinya dia melawan Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang pers. Dia tidak bisa menyejahterakan jurnalis lepas, karena pers baik selain salah satu pilar demokrasi juga berfungsi mendidik dan mengedukasi bangsa, maka yang terjadi ketika mereka tidak sejahtera apalagi berdasarkan page view atau agar beritanya banyak dibaca pembaca, banyak melenceng dari kaidah etika jurnalisme, “ terang Edi.

Adapun berdasarkan temuan survei yang dipaparkan oleh Edi, data untuk sebuah berita dalam bentuk digital yang paling banyak, seperti berita langsung (straight), mendalam (indepth), sulih suara (audio, dan radio), dan foto-video terbilang murah dibandingkan media asing yang dapat membayarnya jurnalis lepas di kisaran jutaan rupiah. 

“Ini yang terjadi bahwa nilai pengupahannya berdasarkan produksi, tapi harganya juga tidak manusiawi maka yang terjadi adalah kemitraan bahwa indikator-indikator survei ini bagian dari agenda alasan perusahaan, teman-teman akan dibayar berdasar bagaimana beritanya agar dibaca oleh publik, menjadi menarik. Padahal kalau itu diberlakukan yang terjadi adalah teman-teman (jurnalis lepas) tidak menghasilkan berita-berita yang serius, seperti kaum termarjinalkan, kontrol terhadap kekuasaan dan lainnya, ” pungkas Edi.

Akhir sesi pemaparan data, Edi mengatakan bahwa Jurnalis Lepas perempuan mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat dibandingkan laki-laki. Terlebih pengungkapan upah yang minim, jurnalis rentan untuk menerima suap dan kondisi tidak menentu membuat indeks kebebasan pers nasional tidak sehat, mengubah paradigma jurnalisme menjadi tidak kritis, dan tidak mengedukasi bangsa.



Penulis: Muhammad Rizki

Editor: Na'ilah Panrita Hartono