(Foto: cover buku Perempuan yang menangis kepada bulan hitam/Na'ilah)

Judul: Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam

Penulis: Dian Purnomo

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 1 Mei 2021

Jumlah Halaman: 300 halaman

ISBN: 9786020648453

Jika kematian adalah cara agar tubuhnya merdeka maka jalan itulah yang ia pilih, begitulah awal buku ini dibuka. Magi Diela, seorang perempuan di tanah Sumba yang mendapat tugas dari kantor tempatnya bekerja untuk melakukan penyuluhan di desa Hupu Mada. Dalam perjalanan menuju desa tersebut, ia mencoba jalan yang lebih sepi dan mengalami peristiwa mengerikan, di mana ia diculik untuk dikawinkan paksa dan di sepanjang jalan ia dilecehkan oleh sekelompok laki-laki yang mengangkutnya. Ia berusaha melawan tetapi takluk karena kekuatan mereka.

Magi kemudian dipaksa menikah dengan Leba Ali yang merupakan salah satu dalang di balik penculikannya. Dia mencoba melarikan diri dengan bantuan Mama Mina dan Dangu, tetapi mereka juga berhadapan dengan kekuatan Leba Ali yang berkuasa. Akhirnya, ia kembali ke kampung halamannya karena ayahnya sakit dan bersedia menikah dengan Leba Ali dengan syarat tetap boleh bekerja.

Setelah menikah, Magi berusaha melawan perlakuan buruk Leba Ali. Saat Leba Ali mencoba memperkosanya lagi, ia mengatur perangkap dan memanggil bantuan polisi. Leba Ali akhirnya ditangkap oleh polisi yang telah dilatih oleh Gema Perempuan untuk membantu perempuan yang mengalami kekerasan.

Buku ini dengan lugas menggambarkan bagaimana seorang perempuan dipaksa tunduk terhadap adat yang sangat patriarki. Ketidakadilan terhadap perempuan yang seakan-akan hanya seorang binatang dengan jelas dideskripsikan bagaimana proses Magi diculik dari ia ditarik-tarik, dipaksa naik lalu dibawa ke tempat yang entah kemana, kemudian disambut dengan pekik yang merupakan tanda sekelompok pemburu telah berhasil mendapatkan targetnya, yang terakhir ia disajikan kepada orang serakah yang mau mengawininya yaitu Leba Ali.

Bukan hanya itu, adat kawin tangkap atau yappa mawine yang masih berada di tanah Sumba seharusnya tidak dijalankan kembali, sebab ada beberapa adat yang memang semestinya ditinggalkan karena tidak memanusiakan manusia seperti yang Magi alami, haknya telah direnggut begitu saja  diculik dibawa ke tempat yang ia sama sekali tidak tahu. Lalu, tubuhnya dilecehkan oleh beberapa laki-laki kemudian diperkosa oleh Leba Ali dan pada akhirnya ia harus menikah dengan pemerkosanya menandakan bahwa budaya tersebut berakibat buruk bagi kebebasan otoritas tubuh perempuan.

Parahnya lagi, pengaruh pemikiran konservatif mengenai perempuan juga terpampang dengan jelas dalam buku ini. Mulai dari, perempuan yang tidak perawan seakan-akan tidak diinginkan kembali. Padahal, keperawanan merupakan konstruksi sosial yang tercipta oleh masyarakat patriarki untuk melakukan kontrol tubuh perempuan dengan menciptakan stigma terus tertancap hidup dan mengakar, menganggap bahwa harga diri perempuan ada di antara kedua kaki mereka. Kembali lagi pada akhirnya adat yang tidak relevan dan tidak manusiawi membuat perempuan berada di tepi jurang kehidupan.

Nahasnya dari beberapa aturan adat yang mendorong budaya patriarki semakin kuat khususnya dalam perkawinan adalah kepercayaan bahwa kejahatan seksual bahkan pemerkosaan tidak mungkin terjadi dan nyatanya marital rape merupakan kejahatan nyata yang tak pernah menjadi suatu sorotan untuk ditangani. Karena siapa yang akan percaya jika seorang suami memerkosa istrinya, bukankah pada akhirnya kata  menyakitkan bagi korban seperti "itu sudah tugas istri melayani suami" menjadi akhir dari hidup perempuan yang merupakan korban. 

Tak sampai disitu, buku ini juga mengkritisi bagaimana seorang laki-laki yang menggunakan adat sebagai alat untuk pembenaran atas suatu tindakan yang manusia normal tahu itu salah. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa perkataan Leba Ali contohnya saat ia mengatakan "Kamu tahu Magi punya bapak sudah ada perjanjian dengan saya. Kamu paham adat kah?" dan juga ketika ia mengatakan " Coba saja kamu lapor polisi, belum pernah ada orang kena hukum karena menegakkan adat." Hal tersebut dapat dikaitkan dengan power abuse yang Leba Ali lakukan, sebab kuasa adat yang berlaku tak mungkin dapat ditentang.

Berapa banyak lagi perempuan yang akan  berakhir tersiksa seperti Magi. Pantaskah suatu adat tetap lestari meski menyakiti. Memang kawin tangkap ataupun adat yang tidak sesuai dengan keadilan tak membunuh secara langsung perempuan, tetapi secara perlahan seperti yang Magi lakukan ketika rasa ingin kebebasan diinginkan berujung pada bunuh diri, tertera pada halaman 62 buku ini bahwa “Menyerah pada paksaan sama dengan membiarkan kemerdekaan dirampas, membiarkan tubuh dimiliki orang lain dan diperkosa setiap hari" ataupun hal hal yang dianggap melampaui batas wajar seperti saat Magi merencanakan pemerkosanya untuk dirinya.

Kematian dan kecacatan bukan jawaban dari merdekanya tubuh perempuan, tetapi perubahan pada aturan-aturan yang tidak memihak perempuan sebagai kaum termarjinalkan lah yang harusnya dikaji kembali. Adat memang telah ada sejak lama tapi berjalannya waktu perlunya pembenahan agar adat tetap bisa lestari tanpa harus ada korban yang mati.

Kelebihannya tentu membuka mata kita melihat bahwa dunia secara realita memang kurang memihak perempuan. Pemilihan diksi dalam novel ini juga tepat, tidak mendiskreditkan suatu kejadian yang memang sebenarnya buruk seperti penggunaan kata "diperkosa" diganti menjadi kata "digagahi" yang mana membuat seakan-akan tindakan tersebut adalah tindakan gagah atau besar kekuatan orang untuk melakukan perbuatan kotor tersebut. Buku ini juga menampilkan foto-foto yang penulis ambil di Sumba dalam beberapa chapter buku membuat pembaca memiliki gambaran.

Kekurangannya sendiri sebenarnya cukup sulit dikatakan, sebab memang telah tertera jelas buku ini mempunyai trigger warning. Jadi akan sulit dibaca bagi sebagian orang karena mengandung kekerasan seksual, bunuh diri, dan penyiksaan yang cukup menguras air mata dan mental jika tidak siap.

Selebihnya buku ini memang direkomendasikan sekali untuk yang ingin mengenal isu perempuan dan budaya karena menyadarkan bagaimana penempatan posisi serta, tantangan kaum puan dalam hirarki dalam suatu tatanan hidup bermasyarakat yang menganut sistem patriarki.




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono 

Editor : Bintang Prakasa