(Foto: ilustrasi perebutan tanah/Na'ilah)

Di malam-malam gelap tanpa bayang, seorang perempuan keluar dari rumah reot sambil menyusui anaknya kemudian tertegun memandang langit berkhayal akan kehidupan berlimpah. Tak terucap satu kata pun, tetapi dalam hening itu ia mulai berbicara dalam hatinya. "Kapan ini semua berakhir dan menjadi permulaan? Tidakkah dia melihat anak busung lapar ini terpaksa harus minum air susu ibunya yang sudah menjadi darah."

Setelah itu kembali ia langkahkan kaki masuk ke rumahnya, memasak butiran nasi yang mulai menghitam karena hanya itu yang kini tersisa. Ditelan perlahan masuk ke tenggorokan, apa yang tak pantas ia makan. Sesuap demi sesuap ia lahap seketika secercah air mata turun membasahi pipinya. "Tuhan oh Tuhan benarkah Engkau ada?" Teriaknya dalam ruangan yang hanya disinari lampu petromak.

Tak peduli siapa yang dengar, paling penting baginya adalah sedikit lebih tenang. Tak begitu lama tangisan anaknya membelah suasana. Tangis kencang yang tak tertahankan karena tersentak membuat suasana jadi sedikit gaduh. "Jangan nangis ya nak," ucapnya menenangkan sambil menimang-nimang. 

"Nina bobo oh Nina bobo kalau tidak bobo digigit nyamuk, anak sayang oh anakku sayang kalau sudah besar baik hidupnya," menyanyikan lagu pengantar tidur. Kembali terpejam kedua mata anaknya kini. Ia mulai menangis hingga terisak, tetapi ia tetap mencoba untuk tak membuat suara-suara yang lirih sedikitpun.

Hari berlanjut begitupun dengan sengsaranya. Memupuk tanah supaya gembur tapi hidupnya yang tak makmur. Dihisap perlahan oleh mereka yang berkuasa. Sri namanya, seorang buruh tani yang makan dari gaji tak seberapa itu, merajut asa dari matahari terbit hingga tak terlihat lagi. 

Setiap kali bekerja, ia bertanya benarkah perjuangan sebegitu mati-matiannya ini bisa mengantarkannya menuju sesuatu yang layak. Tubuhnya kini semakin tak berisi digerogoti nasibnya yang lara. Sewaktu-waktu ia mati maka terkutuk semua yang mencuranginya dalam kehidupan kali ini. 

Dulu Sri mempunyai sepetak tanah untuk bertani, hidupnya lumayan berkecukupan meski ditinggal oleh suaminya yang kabur entah kemana. Ia bekerja tak kenal lelah demi anaknya yang kala itu masih sebesar lengan. Sri tak pernah berpikir akan hidup dalam kesengsaraan seperti sekarang.

Di hari yang kelabu nasibnya berubah pesat. Ada yang datang beramai-ramai dan berkata mereka yang punya kuasa atas tanah yang Sri tinggali. Tanahnya memang tak bertuan, tetapi siapa yang mau hidup jauh dari hingar-bingar kota gemerlap. Ia menolak keras meminta bantuan ke tempat-tempat yang sekiranya mau mengulurkan tangan untuk menolong, meski hasilnya nihil. Dia yang mengaku sebagai tuan tanah punya kuasa besar.

Kuasa akan kerakusan dan keangkuhan. Dibelakangnya ada orang-orang yang memangku jabatan di Negeri Padas tempat Sri tinggali. Padas adalah sebuah negara kecil diisi orang orang tamak bermata hijau. Kerap para petinggi merauk seluruh isi demi kepentingan pribadi. Tak ada hati kini para warga mati berserak di tepi jalan.

Sri mengalah dan menyerahkan semuanya, bukannya mendapat kompensasi, secuil pun tidak pernah sampai ke tangannya. Tak hanya itu, ia diperalat ditundukkan menjadi kacung agar bisa tetap punya tempat tinggal di gubuk tempat hewan ternak yang tak layak bahkan bagi manusia manapun itu.

Di situ ia hanya menunggu dan menunggu kapan giliran ajal akan menjemputnya karena perbudakan yang harus ia alami tak memberikannya pilihan selain menggalakkan harapan untuk bisa mendapatkan secercah cahaya. Namun, suatu saat itu semua berubah menjadi malapetaka bagi si pemilik tanah. Sri merencanakan pembalasan sebelum kematian.

Dinyalakannya lampu pijar sebatang kara. Lalu, ditinggalkannya buah hatinya depan pintu bertuliskan "Kami Menerima yang Tak Terpaksa Diasingkan," tak lama setelah itu ia menyelinap di kota yang sudah rusak dalam malam yang hening tanpa ada suara, ia mulai  berjalan perlahan menuju rumah besar bercat merah mewah dilengkapi lampu taman dan pajangan orang kerdil. 

Di saku sebelah kanannya terdapat pisau iris yang cukup tajam untuk menikam si Rakus. Namun, sungguh kaget dirinya kala itu ketika melihat sedang ada pertunjukan boneka kayu yang sedang diperagakan. Orang Rakus itu terlihat dengan seksama menonton itu dan saat itulah seharusnya ia melancarkan rencananya, tetapi malah terdiam ikut menyaksikan.

"Ma Ma kita besok mau apa?" Kata orang di balik layar itu memainkan boneka bercat biru dengan mata besar bulat sempurna. Kemudian satu boneka bercat hijau dengan rambut wig yang acak acakan mulai ikut dimainkan dan menyahut "Besok kita rampas lagi gimana, Ruk?"

Boneka merah itu kemudian menimpali "Hah tanah yang mana lagi Ruk? Bukannya sudah habis semua yang ada di tanah ini hahahaha" "Namun, ma masih belum habis kok"  ucap Ruk. "Apa itu Ruk" "Itu loh ma, tenaga masyarakat selama masih hidup mengapa kita tak terus menundukkan kepala orang-orang itu." Kali ini suara peraga itu agak tinggi dan kencang saat memainkan "Hahaha Ruk Ruk benar juga, Sialan kau bisa saja terpikirkan sampai kesana."

Sri yang merasa semakin terhina, menampakan batang hidungnya di depan si Rakus. Ternganga-nganga si Rakus itu "Sri, dasar miskin tak berguna buat apa kau datang?" "Hei Rakus tadinya aku mau menikam jantungmu dengan dalam agar kau tak bernyawa, supaya aku bebas walau aku harus mati juga karena lapar," ucap Sri lantang. "Hei si peraga boneka lindungi aku dari si jalang itu," ucap si Rakus menyuruh si peraga yang keheranan. Sri lalu mengatakan "Hai pemuda jalanmu masih panjang tak sadarkah engkau bahwa ia membutuhkanmu hanya tuk hiburan belaka memenuhi egonya yang besar." 

Mimik muka si Rakus berubah ketakutan keringat dingin mulai mengucur deras terlihat. " Hentikan ini Sri, akan kuberikan tanahmu lagi aku berjanji atas nama tuhan," Sri melepehkan liurnya ke muka si Rakus. "Dasar penjahat menjijikan, masih mengatasnamakan tuhan? Lihat betapa rendahnya dirimu saat ini tak berdaya. Itulah yang kau lakukan padaku, tetapi hari ini aku berbaik hati tak akan membunuhmu. Lagipula aku yakin berapa hari lagi tubuhku yang renta ini akan kandas." "La-lalu apa yang mau kau lakukan" ucap si Rakus tergagap.

"Akan ku buat dirimu tak melupakan hari ini, akan kubuat dirimu sama menderitanya seperti diriku." Sri menodongkan pisau ke leher  si rakus sambil berkata "Mampus kau, hari ini serahkan semua hartamu itu dimana kau kubur emas dan semua perhiasan serta uang uang yang bukan milikmu itu?" "Jangan Sri, hanya itu yang kupunya," ucap si Rakus sambil mengencingi celananya yang kini basah.

"Hanya katamu? Itu bukan hanya hei Rakus, tapi itu gunung bagi kami yang tak punya apa apa. Cepat katakan dimana!" bentak Sri yang sejengkal lagi dapat menggores leher si rakus. "Biarkan aku mati saja, ku tak bisa hidup tanpa itu semua." Ucap Rakus memelas. 

Namun Sri dengan bengisnya tak menghardik sedikitpun perkataan si Rakus. " Aku tak akan membuatmu mati dengan mudah, akan kubiarkan kau menderita melihat semua yang kau punya direnggut" kata Sri dengan mata yang terbelalak.

"Ampun Sri, Ampun" si Rakus menangis. Sri tak mempedulikan ia, namun Sri menyadari peraga yang sedari tadi disitu diam-diam pergi dan menuju halaman belakang, tetapi Sri melihatnya "Mau kemana kau pemuda?" "Aku tau tapi diam sebentar" kata si peraga "Dengar itu rakus hidupmu memang tak tamat disini mungkin besok atau besoknya lagi, tetapi kupastikan saatnya tiba kau tetap tak akan tenang" Kata Sri tegas lalu mengikat si rakus ke kaki meja jati yang kuat.

Berjalanlah Sri ke halaman belakang "Hai, peraga mengapa kau tak bilang sedari tadi?" Kata Sri bertanya. "Aku ingin melihatnya seperti itu karena aku juga salah satu dari yang tersiksa akan tamaknya si Rakus itu" ucap si peraga. Lalu ia mulai mengarahkan jarinya ke suatu pohon dan berkata "Di sana nyonya, di tempat itu" "Benarkah aku masih heran, sungguh. Bagaimana kau tau?" Tanya Sri. "Sudah nyonya cepat lakukan saja dulu itu, semua nanti akan ku jelaskan," ucap si pemuda peraga itu.

Sri dengan tubuhnya yang renta dibantu si peraga mulai menggali dengan dalam dan benar saja, banyak sekali harta yang si Rakus sembunyikan. "Mau kau apakan ini semua nyonya?" tanya si peraga. "Hidupku tak panjang ambilah simpan secukupnya, sisanya akan kubagikan pada mereka yang nasibnya buruk seperti kita" jelas Sri.

Si peraga itu mengangguk dan mengambil seperlunya untuk bertahan hidup. Sambil mengambil Sri kembali mengajukan pertanyaan ke si peraga muda itu "Jadi bagaimana kau mengetahui semua ini?" tanya Sri kembali. "Aku hanyalah anak tanpa ibu dan bapak menadah tangan berharap ada yang berbaik hati memberikanku uang" "Lalu bagaimana kau bisa ?" Sri memotong begitu saja. "Sabar nyonya ku jelaskan lagi" ia berhenti sejenak. 

"Si Rakus menjanjikan memberikan upah layak untuk menghiburnya, tetapi ia malah berbohong dan aku dikunci tiap mencoba kabur" ucap pemuda itu dengan mata yang yang berkaca kaca. "Sebentar nyonya" berhenti ia mengambil napas sejenak kembali.  "Saat aku sedang menjadi peraga teater sialannya itu, aku mendengar salah satu pesuruhnya mengatakan akan menaruh uang jatah preman terbarunya di pohon itu" jelas si peraga itu.

"Baiklah aku tak akan bertanya banyak lagi, mari bantu aku kita sebar semua ini untuk mereka yang haknya dicuri" ucap Sri sambil mulai berdiri membawa sekarung harta si Rakus yang dibantu oleh si peraga. Di jalan jalan penuh sengsara muka muka orang yang pucat pasi tersebar. Sri yang datang seakan menyinari kembali wajah mereka.

Selepas hari itu, beberapa orang datang menjemput Sri. Ia tahu itu konsekuensi bermain main dengan orang berkuasa. Ia dipaksa diikat di sebuah kursi, tubuhnya dibirulebamkan. Nyatanya hari itu ia tak sendiri di sebuah tempat penghakiman tanpa ampun,malaikat pencabut nyawa juga ikut datang lalu menjemputnya di akhir tetesan darah yang tak pantas jatuh bertumpahan. 




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono