(Foto: Ilustrasi human trafficking/merdeka.com)

Marhaen, Jakarta - Human Trafficking atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk ke dalam kondisi darurat.  

Dilansir dari antara.news Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebutkan 185 orang pekerja asal NTT telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang direkrut secara tidak prosedural untuk bekerja di luar negeri dalam enam bulan di tahun 2023.

Kemiskinan struktural lah yang membuat korban meninggalkan keluarga dan menjadi pekerja migran. Hal ini dikarenakan tergiur dengan gaji besar membuat korban tetap memilih bekerja di luar negeri. Selain itu, faktor lain seperti kurangnya informasi dan edukasi makin memperparah keadaan. Seperti yang dikatakan oleh Yose Bataona selaku anggota juga penulis dari Youth Taxforce Anti TPPO.

“Kalau bahasanya sih kemiskinan tapi lebih ke pemiskinan gitu, ada yang atur-atur membuat kemiskinan struktural, kalau faktor itu kemiskinan struktural. Faktor alam yang tidak menguntungkan, juga mahalnya pendidikan, kurang pemerataan dan terbatasnya fasilitas, jadi kompleks, kurangnya lapangan pekerjaan juga di sini tu.” ucapnya (10/12/2023).

Perekrutan pekerjaan migran ini biasanya dilakukan secara Ilegal tidak menggunakan prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Korban TPPO direkrut oleh calo (perantara dari korban TPPO) yang biasanya korban kenal seperti saudara jauh, maupun teman korban. Hal itu selaras dengan yang dikatakan Yose.

“Rata-rata pekerja  hanya tamat SD (Sekolah Dasar)  atau putus sekolah biasanya mereka pergi sepengetahuan (keluarga), hanya satu dua saja yang ditipu atau diculik, tetapi modusnya mereka itu biasanya gaji besar dan yang merekrut pun (calo) orang terdekat, sampai di sana kan perdagangan manusianya tuh kayak tidak digaji sesuai, tidak ada kontrak, makan minumnya tidak dijamin, eksploitasi kerjanya itu.” pungkasnya.

Korban PMI dipekerjakan di negara tetangga seperti Malaysia, Kamboja, dan negara Asia Tenggara lainnya. Mereka bisa menjadi Asisten Rumah Tangga (ART), bekerja di perkebunan kelapa sawit, atau melakukan pekerjaan kasar lainnya. Meski usia dan jenis pekerjaan mereka bervariasi, satu hal yang pasti yaitu mereka dieksploitasi dan dibayar tidak sesuai dengan beban kerja yang mereka emban.

Pemerintah sendiri juga melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kasus TPPO seperti penyuluhan ke masyarakat lewat desa-desa. Selain pemerintah terdapat juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media-media lokal, dan melalui organisasi-organisasi Yose menambahkan.

“Sekarang sudah mulai ya (ada penyuluhan) dalam beberapa tahun terakhir tu dari pemerintah, pihak swasta, organisasi LSM. Ada media namanya Katong NTT (yang memberitakan) Ada satu kepala desa yang keliling dari rumah ke rumah untuk mengedukasi mengenai bahaya TPPO, juga menyediakan poster-poster mengenai edukasi  anti TPPO dan bahaya TPPO.  Dikarenakan NTT yang sudah memasuki zona merah.” tambahnya.

Yose mengharapkan upaya kolaboratif secara berkelanjutan di berbagai peran krusial seperti pemerintah melalui desa, pendidikan yang inklusif, informasi yang menyeluruh dan masyarakat untuk mengurangi kasus perdagangan orang yang ada di NTT. Dengan upaya solutif tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah korban secara signifikan.



Penulis: Dinda Aulia

Editor: Na'ilah Panrita Hartono