( Foto : sedang berlangsungnya webinar / Hilda)

Marhaen, Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional bersama dengan Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) mengadakan webinar yang bertema “Refleksi 66 Tahun Deklarasi Djuanda : Tambang di Pulau Kecil Dibolehkan, Hak Asasi Nelayan dan Rakyat Pulau Kecil Dirampas” melalui  Zoom meeting dan Youtube-nya. Selasa (12/12/2023).

Deklarasi Djuanda adalah upaya untuk menentukan wilayah perairan Republik Indonesia (RI) yang sebelumnya terdapat bagian-bagian laut disekitar dan diantara pulau-pulau di Indonesia dikatakan sebagai laut bebas menjadi sepenuhnya milik Indonesia. Deklarasi juga  menjadi landasan bagi perwujudan Hari Nusantara yang menghubungkan wilayah dan lautan Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Setelah 66 tahun Deklarasi Djuanda dideklarasikan, sayangnya Indonesia masih saja melakukan eksploitasi melalui pertambangan di pulau kecil  seharusnya dengan adanya Deklarasi, bisa mendorong pengakuan terhadap hak-hak masyarakat dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Di sebuah pulau yang kecil ada sekitar 3 pertambangan itu sangat tidak masuk akal, dimana ini akan berakibat buruk pada masyarakat yang hidup disana. Padahal kita tahu pulau kecil ini secara kondisi dan ekosistem sangat rentan ketika dieksploitasi, ini lah yang melatarbelakangi mengapa Indonesia memiliki undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.” Ujar Annisa Azzahra dari PBHI Nasional.

Harimuddin dari integrity law firm menjelaskan bahwa pertambangan sebagai ancaman terhadap ekosistem dan ruang hidup nelayan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kerja sama masyarakat harus tetap dipelihara karena dari pengalaman yang ada masyarakat tidak ada yang membantu an berjuang sendiri.

“ Kasus Sangihe dan kasus Pulau Bangka itu semua masyarakat yang demo sendiri, mereka yang mengadu ke instansi yang berwenang tapi justru mereka tidak digubris. Harapan itu muncul ketika peradilan itu ditempuh dan bersyukur masyarakat itu bisa memenangkan “ ujarnya.

Hariyono sebagai Nelayan Pulau Bunyu yang juga ikut menjadi lokasi pertambangan mengemukakan keresahannya sebagai masyarakat pulau kecil. Terdapat 3 tambang Batubara, yaitu Garda Tujuh Buana, PT. Lamindo, dan PT. Saka Putra Perkasa. Masalah ini sudah ia angkat terkait pencemarannya.

“2016 pertengahan limbah pencemaran Batubara mulai turun, kami melaporkan rutin tindak lanjut dari pemerintah tapi sampai sekarang kami tidak pernah diberi hasil uji lab nya seperti apa. Sekarang di pulau kami sekelilingnya sudah terkontaminasi limbah Batubara. Jadi sampai sekarang di pesisir Pulau Bunyu mulai banyak buaya, kami yang biasanya mencari kerang dipinggir pantai harus berhati-hati. Saya sudah mengajukan masalah ini sampai ditingkat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tapi kami tidak tahu keberlanjutan proses kami ini. Dari 2016 sampai sekarang kami belum menerima hasil.” Ujarnya.

Hariyono pun berharap sebagai masyarakat Bunyu dan pulau kecil, kedepannya pencemaran perlu diperhatikan karena di pulau kecil inilah sumber mata pencaharian masyarakat .



Penulis: Hilda Lestari

Editor: Na'ilah Panrita Hartono