(Foto: sedang berlangsungnya acara/Na'ilah)

Marhaen, Jakarta - Transparency International Indonesia (TII) bersama Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) serta instansi lainnya turut bergabung mengadakan diskusi publik bertajuk “Senja Kala Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)” yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube-nya. Senin (04/12/2023).

Upaya pelemahan KPK tampaknya bukan problematika baru bagi lembaga antirasuah ini. Hal ini telah terjadi bukan hanya pada era kepemimpinan Joko Widodo melainkan telah dimulai sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu menjabat sebagai presiden. Meski saat itu pelemahan ini berhasil digagalkan.

Namun, kini menurut mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, revisi Undang-Undang KPK Nomor 19 tahun 2019 telah menyebabkan lembaga tersebut tidak hanya melemah, tetapi justru lumpuh. Ia juga berpendapat bahwa KPK kini bukan lagi lembaga yang independen dan dipertanyakan kredibilitasnya.

“Apa yang diharapkan? Belum cukup membuat KPK lumpuh secara kelembagaan tadi diikuti dengan perubahan status pegawai harus ASN (Aparatur Sipil Negara) semuanya. Mana ada ASN yang dalam penegakan hukum di bidang korupsi itu bisa independen tentu ada tapi berbeda kualitasnya,” ucapnya.

Adapun bukti telah rusaknya lembaga ini terlihat dari persetujuan Firli Bahuri, kala itu sebagai pimpinan KPK mengenai tes wawasan kebangsaan. Akibat dari pengujian tersebut, adanya pengusiran atau pemecatan dianggap oleh Busyro sebagai suatu hal yang licik sebab mengakibatkan pemberhentian secara prosedural, tetapi dapat dinilai secara moral sendiri telah melawan prinsip transparansi yang ada.

“Dengan langkah itu maka saya simpulkan modalitas KPK itu yang sesungguhnya modalitas negara  berbasis  kepentingan rakyat. Sudah tidak bisa diharapkan lagi walaupun harus diakui dan saya tau  di bawah itu masih memiliki komitmen moral dan integritas yang dapat diharapkan,” ujarnya.

Busyro pun menyayangkan bahwa KPK kini sudah tidak lagi terjamin orisinalitasnya atau dalam artian pencegahan dan penindakan berbasis pendekatan yang integratif kini telah pudar. Ia menyatakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) , Undang-Undang Kesehatan, Revisi Undang-Undang KPK, dan Revisi Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga ikut andil dalam hilangnya esensi hal itu serta, sektor yang terdampak dari adanya beberapa undang undang.

“Jika KPK melakukan strategi pencegahan dan penindakan integratif akan merugikan taipan-taipan (pemodal) yang bermain di sektor  perizinan sehingga banyak yang berkesimpulan termasuk saya, revisi UU KPK yang baru sekarang ini Nomor 19 Tahun 2019 juga dilatarbelakangi kepentingan kepentingan pemodal-pemodal yang masih nyaman bermain di wilayah hitam wilayah sogok, gratifikasi dan seterusnya” pungkasnya.

Di akhir diskusi ia mengatakan bahwa KPK sekarang ini juga hasil dari bagaimana campur tangan atau intervensi yang dilakukan oleh istana presiden. Ini bisa dilihat dari asal panitia seleksi, mengakibatkan terpilihnya Firli Bahuri yang malah berujung menjadi tersangka kasus pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Maka dari itu, ia yakin di akhir kepemimpinan presiden sekarang ini bahwa pengembalian marwah KPK mustahil akan dilakukan.




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono

Editor : Bintang Prakasa