(Foto: tampak depan Kampung Susun Bayam/Devi)

Gelagat megahnya gedung stadion di Utara Jakarta, Jakarta International Stadium (JIS), memantik setiap orang untuk datang ke sana. Dari kejauhan, gedung yang disinyalir menjadi standar Federation Internationale de Football Association (FIFA) tersebut, tepat bersebelahan dengan Kampung Susun Bayam (KSB), gedung yang diperuntukkan bagi warga korban penggusuran Kampung Bayam.

Untuk memasuki KSB, perlu melewati lahan proyek JIS yang sampai sekarang belum selesai. Dengan jalanan yang penuh tanah lengket membuat saya harus ekstra menarik gas motor untuk sampai ke dalam KSB. Ada hal lain yang menorehkan perhatian, di sepanjang jalan menuju KSB, terpajang spanduk-spanduk berisi aspirasi kekecewaan warga Kampung Bayam terhadap pemerintah dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro).

Saat sampai, saya disambut oleh salah satu warga Kampung Bayam yang sedang mencangkul lahan kebun kecil berbentuk vertikal milik warga. Setelah tempat tinggal warga tergusur lantaran dijadikan gedung JIS, kebun yang menjadi mata pencaharian warga pun ikut hilang, hanya tersisa kebun kecil yang disediakan pemerintah sebagai pengganti lahan mereka yang tergusur.

Kebun kecil berada di samping KSB, yang dipisahkan oleh jalanan kecil menuju belakang. Ketika saya menyusuri dan melihat beberapa warga sedang mengambil air yang disebut sebagai sumur buatan warga sambil membawa galon untuk menampung cadangan air bagi anaknya mandi.

(Foto: sumur buatan warga/Devi)

Saya menengok ke arah sumur tersebut dan bertanya kepada warga mengenai air yang mereka pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Salah satu warga menjawab sambil menggaruk-garuk kaki, katanya air tersebut membuat gatal. Sama halnya dengan Neneng (warga eks Kampung Bayam) perempuan 43 tahun yang sedang duduk di pelataran (lantai 1 KSB) menuturkan kalau air sumur yang mereka buat tidak layak digunakan untuk minum.

"Sebenernya airnya gak layak konsumsi, tapi untuk cuci pakaian, cuci piring, apa boleh buat kan. Kadang ibu-ibu, dipake buat minum juga tapi didiamkan dulu selama satu malam, dan besoknya bisa buat masak air," tuturnya pada (14/01/24).

Neneng merasa di situasi tersebut, tidak ada pilihan lain selain menggunakan sumur sebagai sumber air. Selain itu di musim hujan seperti ini, warga menjadi terbantu. Selesai mengobrol dengan Neneng, saya beranjak ke lantai dua. Warga eks Kampung Bayam, menempati rusun tersebut hanya di satu lantai.

Di siang hari seperti ini, genset di KSB dimatikan, warga kembali menyalakan genset untuk kebutuhan listrik mereka di jam 18.00 sampai 06.00 pagi. Pencahayaan terbantu oleh pancaran sinar matahari dari sela-sela ventilasi gedung KSB. Sejak mereka menempati KSB (13/04/23), PT Jakpro mematikan sumber listrik dan air yang ada di KSB. Alhasil, warga mengandalkan genset milik bersama yang setiap harinya harus merogoh kocek bensin untuk genset total 15 liter selama 12 jam.

Sebelumnya, mereka hanya menempati pelataran dengan ruangan terbuka tanpa sekat, jika hujan deras, air tampias ke tempat mereka tidur. Hingga enam bulan ke depan, warga sepakat untuk pindah ke lantai dua sebab pintu kamar yang banyak tidak terkunci karena demi melindungi kesehatan anak-anak. 

Setelah mengelilingi lantai dua gedung KSB, saya kembali untuk turun ke bawah dan menemui Furqon, salah satu warga yang terlapor sekaligus sebagai Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam. Ia mengatakan bahwa warga mengalami intimidasi serta empat orang warga justru dilaporkan oleh pihak PT Jakpro dengan dugaan melakukan penyerobotan lahan, perusakan aset, hingga pencurian air di areal Hunian Pekerja Pendukung Operasional (HPPO).

"Kenapa dilaporkan perusakan, listrik patungan, beli genset patungan, bensin. Air tidak diperbolehkan memakai kran punya JIS," ucap Furqon selaku Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam sekaligus salah satu terlapor.

Menurutnya, jika PT Jakpro tidak mengizinkan KSB untuk ditempati, dapat membuat surat peraturan, sehingga warga dapat mengetahuinya. Selain itu, janji PT Jakpro untuk memberikan kunci kamar kepada warga pun hanya dongeng semata. Sampai saat ini, warga belum memperoleh kunci kamar yang ditempati.

"Kalau memang sedari awal, tidak diperbolehkan (untuk menempati) atau tidak berkenan keberadaan kita ya layangkanlah surat peraturan. Jangan dulu, tidak diperbolehkan, atau bagaimana, toh kita juga gak melanggar. Tapi, ini malah dibiarkan (oleh pihak JIS)," tandasnya. 

Bertani, yang sebelumnya menjadi mata pencaharian mereka. Kini, mereka harus beralih mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan. Walaupun penghasilan yang sekarang tidak sebesar saat menjadi petani. Peralihan mata pencaharian tersebut juga dirasakan oleh Furqon, sebagai tukang parkir. Ia mengaku bekerjanya pun ketika menunggu panggilan dibutuhkan, jadi tidak pasti. 

Hingga menunjukkan pukul 19.00, waktu rutin Furqon berangkat bekerja menjadi tukang parkir, tetapi malam ini tidak biasanya. Anak sulungnya, yang duduk berhadapan dengan Furqon masih menemani. Setiap sebelum ayahnya berangkat bekerja, ia kerap bergumam  "Ayah, nanti kalau ketemu polisi, jangan mau ikut ya, Yah," gumamnya.

Ironi, anak sekecil itu harus tahu bahwa ayahnya berhadapan dengan hukum dan aparat, seharusnya ia memikirkan sekolah serta bermain saja. Bagi Furqon, melaporkan warga ke polisi merupakan bukan solusi terhadap permasalahan ini, warga hanya menginginkan dialog dan hak-haknya dipenuhi.

"Melaporkan saya tidak bisa menjadi solusi, karena masih banyak Furqon-Furqon lain, yang akan memperjuangkan hak mereka mendapatkan tempat tinggal yang sudah dijanjikan," tegasnya.

Kesulitan warga untuk bertahan tanpa terjamah oleh bantuan pemerintah serta memperjuangkan ruang hidupnya tak pernah putus. Geliat perjuangan mereka menunjukkan bahwa penamaan gedung KSB yang menyertakan Kampung Susun Bayam merupakan hak warga Kampung Bayam.




Penulis: Devi Oktaviana

Editor: Bintang Prakasa