(Foto : berlangsungnya acara/Dinda)

Marhaen, Jakarta - Dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) bersama dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) mengadakan diskusi online “Perlindungan Perempuan Disabilitas Dari Kekerasan Seksual Refleksi Gerakan & Implementasi UU TPKS”. Jumat (15/03/2024). 

Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan khususnya penyandang disabilitas merupakan fenomena gunung es karena kompleksitas masalah yang dialami oleh perempuan disabilitas berbeda dengan perempuan pada umumnya. Negara kemudian mengakomodir masalah ini dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pengesahan UU tersebut telah dilakukan pada 9 Mei 2022 lalu sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual, tetapi sangat disayangkan karena tidak adanya perubahan yang signifikan dari jumlah korban setiap tahunnya sehingga tetap menyebabkan masifnya kasus kekerasan seksual yang diantaranya juga dialami oleh perempuan disabilitas. Hal ini, selaras dengan yang dikatakan Nena Hutahaean dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS).

“Setelah dua tahun lahirnya UU TPKS  hasilnya masih mengecewakan karena aturan belum berlaku kalau belum ada aturan pelaksanaannya. Nah bahkan catatan terakhirnya Komnas (perempuan) pun  kekerasan seksual hampir 65% terjadi dari 3500 lebih kasus tetapi, data korban disabilitas tidak jelas.” ujarnya.

Dilansir dari komnasperempuan.go.id dalam Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan 2020, angka kekerasan terhadap perempuan disabilitas cenderung tetap dibanding Catahu 2019. Di 2019 tercatat 89 kasus dan di 2020 tercatat 87 kasus. Namun, ia melihat ada kenaikan spesifik kasus kekerasan seksual dari 69% di 2018 menjadi 79% di 2019.

Hampir dua tahun UU TPKS telah disahkan, tetapi karena ketidakjelasan mengenai pengesahan UU turunannya mengakibatkan UU TPKS tidak dapat digunakan dengan optimal terkhusus bagi korban disabilitas yang tidak jarang terduga pelakunya ialah keluarga korban, maupun orang-orang yang berada disekitar.

“Kalau melihat dari kasus yang kami dampingi (di Sulawesi Selatan), belum ada perubahan sebelum atau sesudah Undang-Undang TPKS, terutama untuk menjemput keadilan perempuan disabilitas terutama untuk korban kekerasan seksual. Padahal awalnya ketika ada pembahasan tentang RUU TPKS ada optimisme dari kami bahwa UU ini akan benar-benar menjamin perlindungan perempuan untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan seksual kemudian mendapatkan penanganan hukum yang adil sampai kepada putusan” pungkas Maria Un selaku Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Sulawesi Selatan.

Maria juga menambahkan perlunya pengawalan bagaimana RUU TPKS diimplementasikan juga pemahaman terkait dengan UTP sendiri oleh semua pihak yang kemudian terlibat di dalam proses proses penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan khususnya di disabilitas juga perlunya mengawal keterangan saksi dan korban untuk membuktikan pelaku bersalah disertai oleh alat bukti yang sah.




Penulis: Dinda Aulia
Editor: Na’ilah Panrita Hartono