Begitu banyak peristiwa kelam negeri ini, pelanggaran demi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sampai saat ini belum kunjung tuntas malah mendapatkan impunitas. Keluarga korban yang nyawanya hilang terus menuntut agar kasus-kasus tersebut segera diselesaikan agar mereka mendapat keadilan. Namun, alih-alih mencoba memulihkan hak korban, malah menambah luka seperti apa yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Fadli Zon yang saat itu diwawancarai Uni Lubis seorang jurnalis IDN Times, mengatakan bahwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis tionghoa saat itu hanyalah cerita bukan fakta sebenarnya. Ia mempertanyakan di mana bukti bahwa peristiwa itu terjadi.
Bukannya minta maaf ataupun mundur sebab kesalahan yang ia lakukan cukup besar ia malah semakin menghunuskan pedang ke dada para penyintas ataupun keluarga korban dengan mengatakan dalam cuitan platform X bahwa hasil laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) hanya angka tanpa data pendukung. Jika dipikir-pikir, pemerintah kini juga hanya selalu peduli soal angka. Lalu, jika kita kaitkan dengan kasus ini Fadli Zon yang merupakan bagian pemerintah malah seolah-olah tak lagi menganggap angka sebagai sesuatu hal yang dapat diperhitungkan.
Dalam data yang dirilis, yaitu korban pemerkosaan sebanyak 52 orang dan korban perkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang serta korban kekerasan seksual lainnya yang berjumlah 14 orang, itu bukan angka yang sedikit atau tak bisa dihitung jari bahkan dua orang sekaligus. Maka dari data tersebut, Fadli Zon seorang yang bergelar doktor pada bidang sejarah seharusnya melihat dan mempertimbangkan itu sebagai suatu bukti dan fakta yang memang terjadi.
Lalu jika menurut Fadli Zon, bahwa sejarah harus sesuai fakta-fakta yang ada bagaimana dengan pernyataan Habibie yang mengakui pelanggaran HAM berat tersebut. Maka, bisa diartikan pernyataan Fadli Zon yang melakukan penyangkal sejarah secara tidak langsung berarti tidak mempercayai ataupun menganggap Habibie saat itu yang merupakan presiden mengeluarkan suatu perkataan bohong.
Ia juga berdalih bahwa ini dilakukan agar kita tidak menjelekkan bangsa sendiri, hal yang Fadli Zon katakan rasanya tak heran mengapa tingkat kriminalitas kita nomor dua se-Asia Tenggara sebab kalau ada kejahatan lebih baik tidak dibicarakan agar tak terkesan buruk dan maklumi saja. Bukan hanya bodoh dan cacat secara logika, keinginan menjadi bangsa yang maju rasanya hanya omon-omon jika petinggi negara saja masih berpikir seperti ini.
Jika orang-orang di sosial media menyarankan buku tentang pemerkosaan massal tahun 1998 itu agar Fadli Zon baca, sepertinya dengan amat yakin ia mengetahuinya, bisa dilihat di laman situs perpustakaan miliknya fadlizonlibrary.com di sana ada beberapa buku yang membahas hal tersebut. Jadi, kalau disimpulkan Fadli Zon minim literasi sehingga salah dalam mengucap rasanya tak mungkin, tetapi bisa jadi ia tak pernah benar-benar membaca dan hanya menjadikan buku itu sebagai pajangan.
Namun, lagi-lagi jika berbicara bukti dan saksi yang melandasi penyangkalan oleh Menteri Kebudayaan tersebut, Fadli Zon sepertinya pura-pura lupa bahwa pembungkaman sering kali menjadi senjata penguasa untuk menutup mulut kebenaran. Ita Martadinata seorang penyintas yang ingin bersaksi di hadapan PBB lalu, beberapa hari sebelum ia sempat memberitahu dunia semenakutkan apa negeri ini, ia dibunuh bahkan dituduh mencemarkan nama baik Indonesia dengan kesaksiannya. Maka, jelas negeri ini tak main-main untuk menjaga citra dan jika Ita masih hidup masihkah Fadli Zon bilang ini hanyalah cerita.
Kalau cerita saksi tadi masih kurang dan masih membutuhkan bukti ilmiah seperti apa yang dituntut seorang Fadli Zon, bagaimana dengan Lie Agustinus Darmawan seorang dokter yang mendampingi para penyintas korban pemerkosaan massal 1998 yang diteror dan bahkan sampai harus mengungsi ke Amerika.
Dipikir-pikir, saksi, fakta, bukti bukannya tak ada atau tak cukup kuat untuk bangsa ini mengakui dosa masa lalunya sebab itu semua jelas, bahkan terdokumentasi dengan sempurna. Hanya saja sebagai penguasa, Fadli Zon sepertinya lebih suka menutup mata dan pura-pura semuanya tidak ada.
Tak lagi heran karena sering terjadi, ucapan Fadli Zon yang kini merupakan bagian rezim yang berkuasa memang tak dapat diharapkan sehingga berbicara tanpa empati dan pura-pura tak hidup di tahun itu, menyaksikan kegetiran kondisi negara yang mana rasanya tak mungkin jika foto mereka juga banyak tersebar di Internet dan bahkan berbicara melawan tirani yang berkuasa.
Founding father negara ini pernah berkata “Jas merah” yang artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah, tetapi apa yang Fadli Zon lakukan sangat berseberangan dengan hal itu. Ia bukan cuman mau melupakan, tetapi mau mengubur dalam-dalam dan menutupnya dengan rapat. Ia tak peduli soal korban dan keadilan yang dia tahu memaksakan citra negeri kita ini luar biasa tanpa pernah ada darah yang tumpah hanya karena penguasa Orde Baru mengumpat di balik istana dan mencari tumbal kegagalannya.
Penulis : Na'ilah Panrita Hartono
Editor : M. Zacki P. Nasution
0 Comments