
(Foto :Ilustrasi seorang gadis yang memejamkan matanya / Pinterest)
Cerita pendek ini bakalan lebih fokus sama perjalanan singkat hidup Ica sebagai anak perempuan pertama dengan berbagai ujian-ujian kehidupan sebelum ia berusia 17 tahun dan tentang 17 tahun dia yang tak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
Kenalin gue Ica anak perempuan pertama dari 3 bersaudara, lahir dari keluarga yang bisa dibilang pas-pasan juga ngga dan berkecukupan juga alhamdulillah cukup. Punya adik 2 yang dua-duanya sama nyebelinnya, tapi jujur seseru itu walaupun kadang tensi darah gue naik akibat kelakuan dua anak itu, ayah yang selalu sibuk sama kerjaannya sampe suka lupa nanya “how was your day“ sama tiga anaknya, mamah yang selalu bisa jadi sahabat buat gue sampe kadang lupa kalau beliau ini seorang mamah yang teriakannya itu suka bikin sakit telinga, walaupun begitu gue tetap suka nahan sakitnya telinga soalnya kalo gak denger teriakan itu berarti dunia gua lagi gak baik-baik aja, oke jadi itu sedikit cerita tentang keluarga yang katanya cemara ini.
Ica adalah anak rantau dari kota Bekasi ke Jakarta timur, ia melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari MTS ke sekolah SMK Swasta daerah Makasar, pengennya sih waktu itu masuk di SMA Negeri tapi kalah sama umur jadi ketolak deh, sedikit penjelasan setelah Ica bersekolah di sana kedua adiknya juga ikut pindah sekolah juga, agar mamah kami tidak kerepotan bulak-balik dari Bekasi ke Jakarta Timur. Sejak saat itu Ica, mamah, dan kedua adiknya pisah tempat tinggal dengan ayah dan kami tinggal bersama uwa di daerah Halim. Berjalannya waktu, lama-kelamaan Ica melihat mamahnya kecapean karena harus memasak bukan hanya untuk anaknya, tapi juga untuk semua orang yang ada di rumah uwa, lalu dari situ mamah berbincang dengan ayah karena ingin pindah ke kontrakan saja agar kami bisa lebih leluasa.
Saat itu juga Ica, mamah, dan kedua adiknya pindah di kontrakan 3 petak itu. Awalnya semuanya berjalan baik, mamah yang sempat berjualan, Ica dan adiknya yang bersekolah dengan nyaman dan tenang. Seketika semuanya hancur, perekonomian keluarga yang merosot banget soalnya waktu itu tuh zaman Covid, akhirnya mama memutuskan untuk pergi bekerja di Bandung untuk bantu-bantu ayah yang lagi susah cari uang yang akhirnya cuman ada Ica dan kedua adiknya di kontrakan 3 petak itu, ayah yang masih berusaha kerja dan mamah yang pergi kerja di Bandung. Di situasi itu Ica cuman bisa nangis dan menerima semuanya yang terjadi walaupun itu semua ga mudah dan sangat berat.
Saat itu, usia Ica Masih 16 tahun anak yang baru mau beranjak dewasa itu harus ditinggal sama mamahnya yang sama sekali nggak bisa ketemu, bahkan ayahnya pun tak tinggal bersama karena pekerjaannya. Ica yang harus mengurus dirinya sendiri, rumah, dan kedua adiknya, untungnya sekolah kami online jadi Ica lebih mudah mengatur waktu. Berjalannya waktu kami bertiga mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran kedua orang tua walaupun itu semua menyakitkan terutama untuk Ica sendiri.
Hari demi hari dilewati walaupun berat tapi Ica harus kuat biar dua adiknya bangga punya kakak kayak dia. Ica yang harus memasak untuk kedua adiknya agar tidak kelaparan bahkan kita bertiga pernah loh makan dengan lauk makaroni bon cabe dan nasi hangat saja mungkin kelihatan miris, tapi bagi kita bertiga itu makanan yang sedap karena kita makannya bareng-bareng dan dengan rasa bersyukur tentunya. Di sekitar kontrakan kita bertiga juga ada orang baik namanya tante luis yang selalu nemenin Ica ke pasar buat beli bahan-bahan masakan, suka nanyain udah pada makan apa belum, dan selalu ngasih makanan kalo Ica lagi ga masak. Beliau ini teman dari mama kami, tante Luis sama mama temenannya masih dibilang baru, tapi tante Luis bisa sebaik itu sama kita bertiga bahkan di suatu ketika Ica ingin foto di kelurahan untuk pembuatan KTP dan dia diantar sama tante Luis ini dan yang paling diingat itu tante Luis ngasih makanan teri balado kering buat stok lauk kami bertiga Semoga tante selalu sehat ya di sana walaupun kita sudah ngga pernah ketemu.
Sampe saatnya, kami bertiga pindah dari kontrakan itu dan ikut tinggal bareng bibi kami yang rumahnya masih di daerah yang sama, saat itu juga Ica tepat berusia 17 tahun. Sebenernya waktu masih tinggal sama mama pernah bilang kayak gini “Mah, Ica kalo nanti 17 tahun pengen dibuatin nasi kuning aja ah, terus makan bareng keluarga sama teman-teman deket aja” kenyataan yang harus diterima itu beda. 17 tahun Ica itu di rumah bibi dan gak ada mamah maupun ayah di hari itu cukup jadi hari yang menyedihkan karena inget sama semua yang sudah direncanain tapi tidak dilaksanakan, tapi gapapa masih ada adik-adik yang nemenin Ica, dan karena bibi tau Ica sedang berulang tahun dia bertanya kek gini “Ica mau dibuatin apa? Kan hari ini ulang tahun” dan Ica cuman jawab “gausah repot-repot bi, ulang tahun kali ini Ica cuman pengen kumpul lagi sama mamah dan ayah” sontak bibi pun melihat ke arah Ica dengan mata yang berkaca-kaca kayak mau nangis.
Tapi di rumah bibi, ayah lumayan sering nengok keadaan kami bertiga gimana, bibi juga nerima kita dengan hangat walaupun dalam waktu yang singkat tinggal di sana tapi kita bertiga bersyukur punya bibi yang baik kayak bibi Noer. makasih ya bi udah mau nerima kita tinggal sementara sama bibi. Setelah itu kita bertiga dibawa sama ayah buat tinggal bareng-bareng tapi tanpa mamah, kami berempat tinggal di daerah Cilangkap di suatu kontrakan dekat tempat kerja ayah hari demi hari kita berempat lewati bersama-sama, ayah yang kerja, Ica dan adiknya sekolah setiap hari berjalan sama halnya seperti itu.
Waktu pertama kali berangkat sekolah dari Cilangkap, Ica dan adiknya itu naik grab mobil terus karena kita yang gatau rute umumnya itu bagaimana dan kecemasan ayah juga sih soalnya kami baru tinggal di daerah Cilangkap. Itu berlangsung sekitar 2 mingguan, kami selalu naik grab untuk berangkat dan pulang sekolah dan itu sangat amat boros. Akhirnya Ica mencoba mencari rute berangkat sekolah, awalnya kami nyasar karena ternyata salah naik angkot dan JakLingko, tapi dari kesalahan itu akhirnya kami bisa menemukan jalan yang sesungguhnya dan akhirnya setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah itu menggunakan transportasi umum.
Setelah beberapa bulan di kontrakan itu, mamah kami pun datang untuk menengok anak-anaknya walaupun hanya sebentar, tapi itu sangat membantu menghilangkan sedikit rasa rindu kami terhadap mamah, kami tidak sedikitpun marah pada kedua orang tua kami karena semua yang terjadi bukan kemauan mereka, tetapi takdir hidup yang harus terus dijalankan dengan lapang dada dan ikhlas. 2 hari bersama mamah kami habiskan untuk mengobrol tanpa henti dari pagi sampai menjelang malam. Setelah dua hari itu, mamah kembali untuk bekerja karena kontrak kerjanya yang belum selesai.
Kehidupan pun harus terus dijalankan, Ica yang semakin hari semakin menerima semua yang terjadi di kehidupannya itu dia mulai bangkit, dia aktif di kegiatan sekolahnya, dia mengikuti organisasi di luar sekolah, dia juga tetap atur waktu untuk belajar dan mengurus kedua adiknya dan ayahnya. Setelah beberapa bulan tinggal bersama ayah, mamah pun kembali tinggal bersama kami semua, akhirnya kami sekeluarga melanjutkan hidup dengan kumpul bersama-sama lagi dan hidup bahagia sampai saat ini.
Kabar selanjutnya kami sekeluarga tinggal lagi di daerah Bekasi, Ica yang sudah dewasa saat ini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di daerah Jakarta Pusat, pelajaran yang bisa Ica ambil dari semua perjalanan hidup yang sudah ia lewati yaitu pentingnya kebersamaan, setiap kesusahan pasti terasa ringan jika di lewati bersama dan penuh cinta, dan rumah tidak akan rusak jika di dalamnya saling cinta, sayang, dan jaga satu sama lain.
Penulis : Lisa Agustina
0 Comments