Judul : Sihir Perempuan
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978–602–03–4630–4
Jumlah halaman : 168
Tahun terbit : 2017
“Pemintal Kegelapan”, “Vampir”, “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”, “Mobil Jenazah”, “Pintu Merah”, “Mak Ipah dan Bunga-Bunga”, “Misteri Polaroid”, “Jeritan dalam Botol”, “Sejak Porselen Berpipi Merah Itu Pecah”, “Darah”, dan “Sang Ratu”. Sebelas judul cerita pendek (cerpen) tersebut termuat dalam buku berjudul Sihir Perempuan yang ditulis oleh Intan Paramaditha.
Intan Paramaditha merupakan seorang penulis dan akademisi kelahiran 1979 yang mengajar Kajian Media dan Film di Macquarie University, Sydney serta sebagai salah satu pendiri Sekolah Pemikiran Perempuan. Buku-bukunya yang telah diterbitkan diantaranya adalah Sihir Perempuan (2005), Kumpulan Budak Setan berkolaborasi dengan Ugoran Prasad dan Eka Kurniawan (2010), Gentayangan: Pilih Sendiri Sepatu Merahmu (2017), dan Malam Seribu Jahanam (2023).
Kemudian, dalam tulisan kali ini saya hanya ingin menuangkan apa yang saya dapatkan setelah membaca kumpulan cerpen yang terhimpun dalam Sihir Perempuan, ada beberapa judul yang berkesan dan berseliweran di kepala setelah membacanya. Seperti “Darah”, “Pintu Merah”, “Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari”, dan salah satu judul yang akan saya soroti lebih dalam pada tulisan kali ini, yakni “Pemintal Kegelapan”.
Ibu telah jujur pada akhirnya. Tak ada misteri, tak ada teka-teki.
Ibuku.
Pemintal Kegelapan.
Kalimat di atas merupakan penggalan penutup dari cerpen yang berjudul “Pemintal Kegelapan”. Cerpen tersebut menceritakan seorang ibu yang akhirnya dapat mencurahkan dan membongkar dengan pelan mengenai pengalaman-pengalaman pahit yang selama ini ia rasakan dan tanggung sendiri kepada anaknya yang kini telah beranjak dewasa.
Namun, dari kecil hingga anak tersebut menginjak remaja, ibunya hanya mendongengkan mengenai ada hantu perempuan di atas loteng rumahnya dan itu sebagai misteri dan teka-teki tersendiri bagi sang anak karena ibunya masih menyimpan rapat-rapat rahasianya. Hal tersebut dapat dibaca dalam kalimat di dalamnya, yakni Siang dan malam kucoba mengintip loteng rumahku, namun ibu selalu menguncinya.
Hal pelik lainnya dapat kutemukan setelah membaca penggalan-penggalan kalimat yang berbunyi Hantu itu mampu berubah wujud di siang hari, saat ia ingin berbaur dengan manusia. Ia bisa menjadi apa saja dari perempuan, laki-laki, anak kecil, sampai seorang tua renta—Hantu malang itu lupa kalau hanya di siang hari ia bisa berubah rupa. Malam telah menanggalkan topengnya, dan sinar bulan menyinari wajah telanjangnya. Laki-laki kekasihnya sekonyong-konyong berteriak. Perempuan cantik yang dikenalnya telah berubah menjadi makhluk buruk rupa yang begitu mengerikan. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa takut laki-laki itu. Ia lari terbirit-birit meninggalkan hantu perempuan itu sendirian. (Tertera pada halaman 3,4, dan 5).
Dengan membaca hal tersebut, ada hal getir dan pahit yang saya rasakan, yakni dalam kehidupan terlebih di sebuah keluarga, sosok perempuan harus bisa menjadi apapun dan mengerjakan banyak hal seperti bekerja, mengurus anak, membereskan rumah, hingga waktu untuk berduka saja direnggut karena sudah kehabisan tenaga. Hal tersebut terjadi karena masih langgengnya stigma usang seperti pekerjaan rumah tangga sering kali dianggap sebagai tanggung jawab maupun kewajiban seorang perempuan. Padahal, hal tersebut sangat keliru karena pekerjaan domestik seharusnya dan sebenarnya adalah bekal dasar kita agar dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mengenal jenis kelaminnya. Namun, itu semua terjadi karena budaya patriarki yang telah mengakar di Indonesia.
Kemudian, baru membalik satu halaman saja, saya langsung menemukan hal getir berikutnya yang termuat dalam sebuah penggalan kalimat yang berujar Aku berhenti memikirkan Si Pemintal Kegelapan ketika Ibu bercerai dengan Ayah. Sejak usiaku menginjak 13 tahun, aku tinggal berdua saja dengan Ibu. Ia masih bercerita, namun entah mengapa, ceritanya mulai terasa hambar—Ibuku berupaya membuat kehidupan kami tetap seperti semula. Ia tetap mengantarku sekolah, menyiapkan sarapan, meneleponku dari kantornya di siang hari, dan mencium pipiku sebelum tidur. (Tertera pada halaman 6).
Dalam penggalan kalimat tersebut mencoba mengungkap bahwa sosok ibu harus tetap berjalan melakukan segala hal agar kehidupan sehari-hari tetap seperti biasanya dan semestinya serta dirinya berusaha menyembunyikan segala perasaan sedih dan berdukanya kepada sosok aku dalam cerita tersebut yang merupakan anaknya.
Tak hanya sampai di situ saja, setelah sosok ibu tersebut bercerai ada hal kompleks lainnya yang timbul dalam cerpen ini, yakni menyuguhkan kita bahwa setelah mendapatkan status janda dianggap sebagai sebuah kesalahan yang fatal dan menjadi aib bagi masyarakat setempat. Hal ini tentu saja merupakan akibat dari stigma lapuk dan sistem patriarki yang telah mengakar dan melekat pada pikiran-pikiran kebanyakan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, Intan Paramaditha mampu mengemas cerita yang getir menggunakan diksi sederhana dan menggunakan gaya bertutur menarik serta dalam tiap judul cerpennya ada hal pedih, pahit, dan gelap di baliknya sehingga pembaca tidak hanya sekadar membaca saja melainkan diajak berpikir dan melihat realitas yang terjadi bahwa selama ini masih langgengnya stigma buruk yang beredar terjadi terhadap perempuan.
0 Comments