(Foto : Ilustrasi menggugat Fadli Zon/zacki) 

Fadli Zon menyatakan bahwa pemerkosaan massal itu rumor, hoaks dan menolak meminta maaf atas pernyataannya itu, baginya perbedaan pendapat biasa, bisa dijelaskan. Dia tidak  menegasikan adanya pemerkosaan, tetapi soal massal, perlu pembuktian hukum: ada fakta hukum, ada pelaku, ada pengadilannya, jika ada ia pasti mengecamnya sebagai kejahatan yang luar biasa. Pernyataan tersebut jelas mengganggu ingatan kolektif kita tentang peristiwa mengerikan itu dan membuka kembali luka sejarah yang perih.

Kira-kira bagaimana perasaan dari mereka para korban atau anggota keluarga korban pemerkosaan massal itu mendengar pernyataan tersebut dari pemerintah, sebagai entitas yang dipercaya mewakili kepentingannya, tetapi justru terkesan menganggap enteng peristiwa yang mencabik-cabik harkat martabat perempuan indonesia dan menganggap sepi kerja-kerja dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait peristiwa 98 tersebut yang juga bagian dari kerja pemerintah sendiri, maupun kerja penggiat lainya? atau  mau mendelegitimasi kerja pemerintahan sebelumnya?

Tidak diingkari bahwasanya indonesia adalah negara hukum, yang mensyaratkan legalitas dalam arti hukum: segala sesuatunya/perbuatan harus berdasarkan hukum, termasuk klaim-klaim, harus dapat dibenarkan dan sah menurut hukum. Oleh karenanya, pernyataanya itu seolah mengingatkan dan menantang agar jangan sembarang mengklaim, menuduh, Indonesia bukan negara kekuasaan, di mana segala sesuatunya sah jika dikehendaki penguasa, bukan hukum.

Tentu kita tidak akan membiarkan melengang begitu saja pernyataan dan arah kebijakan yang akan ia ambil terkait penulisan ulang sejarah, di mana soal pemerkosaan massal pada peristiwa 98 sepertinya hendak dihapus. Pertanyaannya: mengapa ia pilih kasus tersebut diantara peristiwa lain yang berlatar sama? Semata-mata karena tidak ada fakta hukum, tidak ada peradilannya? Lalu, siapa dan apa yang hendak ia untungkan? Publik lantas menuding, Fadli Zon ingin dan sedang membangun narasi baru tentang sejarah kelam pemerintahan orde baru, entah sebagai balas budi kepada penguasa saat ini atau kepentingannya yang lain. Tetapi bukan itu yang mau kita sampaikan. kita mau katakan bahwa sikapnya tersebut menunjukan pilihannya untuk mengabaikan suara hati nuraninya dan menyimpangi etika ia sebagai manusia dan etika ia sebagai pejabat negara. Pengabaian itu  memengaruhi bagaimana ia memandang kasus itu dari kacamata hukum dan etika politik. 

Pengabaian Hati Nurani

Hati nurani oleh K. Bertens, dikatakan: seolah-olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum dengan perilaku konkret. Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti ia mengemukakan suatu penalaran yang logis. Ucapan  hati nurani umumnya bersifat intuitif, namun kadang-kadang bersifat argumentatif. Boleh jadi Rasionalitas hati nurani dia mengatakan bahwa belum ada peradilan yang menyidangkan peristiwa tersebut, sehingga secara intuitif menilai: adalah tidak sah secara hukum temuan-temuan mengenai adanya pemerkosaan massal itu tak lebih sekedar rumor. Tetapi dengan pengetahuan etisnya, ia (seharusnya) dapat melakukan penalaran yang logis: bahwa adanya temuan-temuan yang sudah diuji kebenaranya itu, menunjukkan sungguh ada pemerkosaan massal itu.

Tidaklah masuk akal bila ia tidak mengetahui hasil temuan dari tim TGPF yang telah diverifikasi, tidaklah mungkin dia tidak mengetahui temuan dari Komisi HAM, tidaklah mungkin tidak mengetahui latar belakang lahirnya Komnas Perempuan, minimal ia sebagai penggiat sejarah dan sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan untuk mendokumentasikan sejarah, sungguh sulit diterima oleh akal bila ia tidak mengetahui itu. Pengandaiannya, sekurang-kurangnya dari membaca hasil laporan temuan-temuan dan pemberitaan di berbagai media tersebut, dengan kadar intelektual dan latar pendidikannya, hati nuraninya sudah berbisik, bahwa ada kejahatan luar biasa terhadap perempuan saat itu secara massal.

Etika Dia Sebagai Manusia

Manusia dibedakan dari binatang karena ia memiliki kesadaran, mana yang baik, mana yang buruk, apa yang harus dan tidak harus saya lakukan. Karena itu manusia memiliki keharusan moral bahwa segala tingkah lakunya berlandaskan pada kaidah-kaidah atau norma-norma sebagai hukum yaitu moralitas, tentang baik dan buruk, suatu fenomena manusiawi yang universal. Membuat pernyataan yang menyakitkan tidaklah baik, adalah norma umum yang menjadi hukum di masyarakat. Kita lalu bertanya tentang moral Fadli Zon sebagai manusia. Moral bersumber dari hati nurani dan mengalami perkembangan. Secara keilmuan, perkembangan moral dia sebagaimana dikatakan Kohlberg ada pada tingkat Konvensional: ia mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya.

Semua tahu bahwa Fadli Zon seorang yang sangat dekat dengan Prabowo, jauh sebelum Prabowo menjadi Presiden. Tidaklah heran jika ia sebagai bagian dari in group Prabowo memiliki nilai dan visi yang sama dengan Prabowo, berpegang pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri, yaitu membangun citra yang baru dan bersih tentang Prabowo beserta kelompoknya: Orde Baru, Kelompok Mawar dan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya.  Pandangan tentang baik dan buruk atau moralitas seseorang boleh jadi berbeda, oleh karena itu etika yang mengoreksi itu. Etika muncul ketika dua entitas bertemu, bukan tentang benar salahnya atau baik buruknya, tetapi pantas dan tidak pantasnya, apakah nilai yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain? Terhadap pernyataan Fadli Zon itu, dengan etika ini kita dapat mempertanyakan: apakah suatu fakta hukum sebagai sesuatu yang ia terima sebagai kebenaran, lebih tinggi nilainya dari fakta sejarah yang tidak memenuhi syarat sebagai fakta hukum? Apakah kebenaran lebih tinggi nilainya dari kepatutan? Apakah pantas di atas fakta tragedi kemanusiaan masih mempertanyakan fakta hukum?

Etika Dia Sebagai Pejabat Negara

Seorang Fred Harburg dari Kellogg Executive Leadership mengatakan: seorang leader itu harus memiliki kemampuan untuk memikirkan tentang apa yang ada dalam pikirannya dan menyadari tentang apa yang ada kesadarannya. Hal-hal ini disebut sebagai executive judgement. Dengan kata lain itu adalah etika untuk seorang pejabat negara: apa yang patut dan tidak patut untuk diucapkan maupun dilakukan, ia dapat memastikan terjaganya nilai bersama sebagai sebuah bangsa dan negara. Peristiwa pemerkosaan itu telah mengusik hati nurani kita sebagai bangsa, ada nilai bersama yang dirusak oleh tragedi itu, sudah semestinya negara hadir. Atas dasar itu, Negara membentuk TGPF, masyarakat pun mempercayai kredibilitas dan integritas kinerjanya, lalu ia membuat pernyataan sebaliknya dari temuan TGPF, seolah ia hendak menampik dan mendegradasi kinerja dari TGPF, apa yang hendak ia tuju? Bahwa tidak penting seberapa dahsyat kerusakan atau pilunya sebuah peristiwa asal bukan hukum yang mengatakan, maka itu sekedar fakta saja, sekedar rumor? sungguh tidak patut. 

Kita dapat mengerti dengan opininya tentang pemerkosaan massal itu serta dalih untuk meluruskan sejarah, tetapi apa pentingnya itu jika memperkosa hati nurani sendiri dan merobohkan kemanusiaan kita? Paham, ini negara hukum maka keniscayaan segala sesuatunya harus sah dan dibenarkan oleh hukum. Tetapi bukan sembarang hukum yang mau dibuat dan taati, namun hukum yang mencerminkan nilai kita sebagai manusia, maka, penyelenggaraanya harus dengan cara-cara yang dapat diterima oleh akal budi kita sebagai manusia. Hukum yang tidak memanusiakan manusia tidak layak ditaati.





Kontributor : Sri Mastuti (Dosen Universitas Bung Karno)
Editor : M. Zacki P. Nasution