
(Foto: kondisi trotoar yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas/antarafoto.com)
Beberapa hari lalu, saya baru membaca satu tulisan dari Marhaenpress sembari menunggu Transjakarta rute Blok M - Jakarta Kota, yakni sebuah artikel rubrik Nasional diterbitkan pada 13 Mei 2025 yang berjudul “Belum Tercapainya Ruang Publik yang Aman dan Nyaman bagi Perempuan” ditulis oleh Nesya Ajeng Murtiatin.
Dalam tulisan tersebut, penulis meluapkan keresahan dan kekesalannya selama ini dalam melihat serta menggunakan fasilitas publik yang ada. Mulai dari trotoar, taman kota, dan transportasi umum yang belum aman bagi perempuan. Namun, dalam tulisannya tidak disebutkan secara spesifik mengenai di mana letak tepatnya (Jakarta, Bandung, atau kota lainnya) yang menjadi pembahasan di dalam tulisannya.
Akan tetapi, saya sepakat dengan apa yang penulis berusaha suarakan mengenai keresahannya bahwa fasilitas publik tersebut masih jauh dari kata aman terlebih nyaman. Bahkan, jika melihat kondisi sekarang mengenai fasilitas publik, kata aman dan nyaman hanya formalitas yang digaungkan oleh negara dan aparaturnya, tetapi implementasinya nihil dan hanya dijadikan ajang pencitraan serta bersifat utopis semata.
Kemudian dalam tulisan kali ini saya hanya ingin menambahkan bahwasanya ruang publik tersebut juga tidak aman serta nyaman bagi kawan-kawan disabilitas dan anak-anak, tepatnya yang akan saya coba tuangkan dalam tulisan ini adalah yang saya lihat maupun lalui sendiri selama di Jakarta.
Jakarta Tidak Aman bagi Penyandang Disabilitas
“Every city is walkable if you're suicidal enough.”
Kata-kata di atas sering kali dapat kita temukan dalam media sosial ketika masyarakat sudah jenuh dan kesal terhadap tata kota terlebih Jakarta yang membingungkan, bikin kesal, serta ironisnya adalah tidak aman. Hal tersebut juga tentu sangat berdampak bagi kawan-kawan penyandang disabilitas.
Kondisi tidak aman bagi penyandang disabilitas tersebut, yakni mulai dari trotoar yang rusak, terdapat tiang listrik di tengah-tengah trotoar, sempit, dipakai buat parkir motor, belum merata bahkan tidak adanya guiding block, dan menjadi tempat berjualan. Sehingga dalam keadaan tersebut, dengan terpaksa kawan-kawan penyandang disabilitas harus bertarung di jalan raya dengan kondisi yang makin membahayakan dirinya karena kencangnya lalu lalang kendaraan.
Bobroknya negara dan aparaturnya dalam mengelola trotoar tersebut merupakan permulaan terhadap kondisi berbahaya yang selama ini dialami oleh kawan-kawan penyandang disabilitas. Selanjutnya adalah dalam ranah transportasi umum termasuk juga Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), halte, dan stasiun.
Seperti sering kali terjadi pada JPO menuju halte Transjakarta adalah terdapat jembatan yang bolong, petugas yang tidak sigap untuk membantu kawan-kawan disabilitas sedang kesulitan, tidak meratanya terkait guiding block, tidak tersedianya papan rute menggunakan huruf braille, maupun lift atau eskalator sedang rusak. Kondisi menyulitkan dan membahayakan tersebut juga terjadi di stasiun dengan keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di JPO ataupun halte.
Kemudian, di dalam transportasi umum juga terdapat hal-hal yang tidak ramah bagi kawan-kawan penyandang disabilitas, yakni tidak adanya petugas di dalam Transjakarta yang akan membuat kesulitan jika terjadi hal-hal tidak diinginkan terjadi di dalam bus dan terkait pengumuman pemberhentian halte selanjutnya sering kali pemberitahuan tersebut tidak ada atau terjadi keterlambatan. Selanjutnya adalah celah peron Kereta Rel Listrik (KRL) yang terlalu lebar dan tidak seragam serta hal tersebut juga terjadi pada Transjakarta. Kondisi tersebut sangat berbahaya oleh semua pihak terlebih terhadap kawan-kawan penyandang disabilitas.
Kondisi membahayakan tersebut tentu saja belum sepenuhnya saya tuangkan dalam tulisan ini, tetapi dengan terjadinya hal seperti itu menjadi pertanda bahwa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas hanya landasan formalitas belaka.
Karena sudah jelas termuat di dalamnya, yakni Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan. Selanjutnya dalam Pasal 2 poin (d), (h), (j), dan (k) membicarakan terkait Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berasaskan partisipasi penuh, aksesibilitas, inklusif, serta perlakuan khusus dan perlindungan lebih.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Jakarta masih sangat jauh dari kata aman dan nyaman bagi kawan-kawan penyandang disabilitas serta implementasi mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bagaikan mimpi di siang bolong. Selain hal tersebut, tidak diikutsertakan kawan-kawan penyandang disabilitas dalam membicarakan maupun merencanakan tata kota itu juga menjadi salah satu kelalaian yang langgeng dilakukan.
Kondisi yang meresahkan dan membahayakan tersebut tidak berhenti sampai di situ saja, kenyataannya Jakarta juga tidak aman terhadap anak-anak yang akan coba saya uraikan pada paragraf selanjutnya.
Jakarta Tidak Aman bagi Anak-anak
Kondisi membahayakan terhadap anak-anak tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang telah saya tulis pada paragraf sebelumnya. Mulai dari trotoar, JPO, halte dan stasiun, taman kota, serta transportasi umum masih membahayakan dikarenakan adanya kelalaian yang masih saja terjadi hingga saat ini.
Seperti di trotoar, terdapat banyak lubang-lubang ataupun rusak yang dapat membahayakan bagi anak-anak, belum lagi ruas trotoar yang sempit sehingga dengan terpaksa anak-anak harus bertarung di jalan raya serta ditambah pelican crossing yang belum tersedia secara merata dan berjalan dengan maksimal. Sungguh ironis dan mengenaskan terkait anak-anak yang ingin jalan kaki dengan aman dan nyaman saja tidak dapat terpenuhi di kota penuh dengan gedung-gedung tinggi dan gemerlapnya, yakni Jakarta.
Kemudian, mengenai Zona Selamat Sekolah (ZoSS) yang seharusnya menjadi salah satu upaya dalam memberikan keselamatan di lalu lintas bagi anak sekolah, tetapi hal tersebut belum tersedia merata serta hanya dijadikan aksesoris belaka. Padahal, adanya ZoSS dapat meminimalisir terjadinya kejadian-kejadian membahayakan terhadap anak-anak, khususnya di lingkup pendidikan.
Serta, hal lain yang seharusnya diperhatikan adalah mengenai ketersediaan bus sekolah yang hanya menyiapkan 5 armada dan hanya untuk melayani siswa-siswi di 3 Sekolah Luar Biasa (SLB), yakni melewati SLB Negeri 8, YPAC Jakarta, dan SLB Negeri 9. Padahal, jumlah keseluruhan SLB di DKI Jakarta sebanyak 87 (delapan puluh tujuh) SLB.
Dengan kondisi-kondisi yang telah saya uraikan di atas menunjukkan bahwasanya Jakarta hingga saat ini belum tersedianya ruang-ruang maupun fasilitas publik aman dan nyaman bagi kelompok rentan. Dikarenakan dalam membuat dan menjalankan sebuah kebijakan, negara tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak efektifnya suatu program dan hanya terkesan semu serta sebagai ajang pencitraan belaka.
Penulis: Bintang Prakasa
Editor: M. Zacki P. Nasution
0 Comments