Sejarah adalah catatan perjalanan manusia dan masyarakat dari masa lalu tentang keputusan-keputusan penting, peristiwa, kebijakan, dan interaksi yang membentuk dunia kita sekarang. Pentingnya memahami sejarah bukan hanya untuk mengenang, tetapi juga untuk belajar dari pola kesalahan dan keberhasilan yang terjadi. Seperti kata George Santayana seorang filsuf dan sejarawan, “Mereka yang tidak mengingat masa lalu akan terkutuk untuk mengulanginya.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa mengabaikan pelajaran sejarah berarti membuka peluang bagi kesalahan yang sama untuk muncul kembali.
Sejarah selalu mencoba memberi peringatan dalam diamnya, tetapi kita sudah disibukkan dengan perut kosong dan kurikulum sejarah yang monoton. Pada masa sekarang ini, pola lama berulang kembali, mulai dari krisis ekonomi yang menghantam, ketegangan sosial muncul di berbagai lapisan masyarakat, hingga polarisasi politik kian menajam. Inilah gambaran bagaimana sebuah rezim bisa menutupi fakta demi mempertahankan narasi yang menguntungkan penguasa.
Menjelang akhir pemerintahan Soeharto pada 1998, banyak peristiwa penting yang jarang diungkap secara resmi. Pemerintah lebih menekankan citra stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, sementara masyarakat merasakan tekanan yang nyata. Nilai rupiah anjlok, harga kebutuhan pokok melonjak, dan banyak perusahaan mengalami kesulitan. Demonstrasi mahasiswa, aksi mogok buruh, dan protes publik meningkat tajam, tetapi media yang dikontrol pemerintah jarang melaporkan fakta yang terjadi. Situasi ini menunjukkan bagaimana rezim bisa menutupi fakta penting agar narasi resmi tampak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Lebih jauh lagi, rezim Orde Baru juga membentuk narasi sejarah yang mendukung legitimasi pemerintah. Salah satu contohnya adalah peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal. Narasi resmi menekankan sepenuhnya tanggung jawab PKI, tetapi konteks politik yang lebih kompleks dan korban-korban lain sering diabaikan. Dilansir dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65), ratusan ribu bahkan jutaan orang yang terhubung atau hanya dicurigai terlibat PKI akhirnya menjadi korban pembantaian berdarah ini. Banyak di antaranya tidak pernah diadili, apalagi diberi kesempatan membela diri.
Kebiasaan menafsirkan ulang sejarah tidak berhenti di masa lalu. Pada era sekarang, sejumlah tokoh politik mencoba mengulang praktik serupa, menafsirkan kembali peristiwa sejarah untuk kepentingan mereka. Upaya ini bisa terlihat ketika sejarah dipakai untuk membangun narasi tertentu, memperkuat posisi politik, atau memutar kembali peristiwa lama sehingga tampak berbeda dari kenyataan. Salah satu contoh nyata sempat menjadi sorotan publik adalah Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan yang dilansir dari Tempo mengeluarkan kocek senilai Rp11 miliar dan menghadirkan 113 penulis untuk melakukan penulisan sejarah ulang.
Bersamaan dengan perkembangan digital dan budaya populer saat ini, sejarah tidak hanya dibentuk oleh catatan resmi atau pidato politik, tetapi juga oleh cara media menceritakannya. Film, buku, dokumenter dan konten media sosial kerap menafsirkan peristiwa masa lalu dengan sudut pandang tertentu. Beberapa buku dan film menyoroti sisi heroik atau dramatis dan menyederhanakan peristiwa kompleks agar lebih mudah dicerna, sehingga beberapa aspek penting bisa kurang terlihat. Dalam media sosial, narasi sejarah juga dapat tersebar dengan cepat tanpa selalu disertai verifikasi yang mendalam.
Fenomena ini berpotensi mengulang pola lama yang sama seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru. Sejarah yang dikontrol atau ditafsirkan ulang cenderung menguntungkan pihak tertentu, sementara masyarakat umum kehilangan akses pada fakta sebenarnya. Hal ini berisiko menciptakan kesalahan yang sama dengan versi baru. Ketika narasi sejarah diputarbalikkan, masyarakat bisa mendapatkan pandangan yang terdistorsi tentang masa lalu, sehingga mereka sulit memahami konteks nyata dari peristiwa yang terjadi dan mengambil pelajaran yang benar.
Salah satu alasan sejarah kerap berulang adalah karena kita mempelajarinya tidak menyeluruh, hanya dari sudut pandang tokoh-tokoh besar yang memimpin atau memutuskan arah peristiwa. Padahal, pengalaman orang-orang biasa yang terdampak langsung sering kali menyimpan pelajaran penting tentang konsekuensi kebijakan atau tindakan tersebut. Ketika suara mereka diabaikan, risiko mengulangi kesalahan serupa akan semakin besar, sebab kita kehilangan perspektif yang memperingatkan dampak nyatanya bagi kehidupan sehari-hari.
Penting untuk diingat bahwa memiliki kesadaran kritis terhadap sejarah bukan berarti menolak narasi resmi secara membabi buta, tetapi mengkaji dengan membandingkan berbagai sumber, memahami siapa yang bercerita dan apa tujuan di baliknya. Dengan cara itu, masyarakat bisa menilai yang benar-benar fakta dan mana hanya interpretasi belaka. Belajar dari sejarah bukan sekadar menghafal tanggal dan nama, tapi memahami pola, strategi, serta konsekuensi dari tindakan manusia di masa lalu. Kesadaran ini seharusnya menjadi bekal agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi.
Oleh karena itu, keterbukaan informasi, kebebasan akademik, dan keberanian mengajukan pertanyaan serta menyisipkan rasa skeptis menjadi hal yang sangat penting dalam menjaga integritas sejarah. Tanpa itu semua, sejarah akan selalu rawan dimonopoli oleh pihak yang berkuasa atau mereka yang memiliki agenda tersembunyi. Masyarakat yang teredukasi dengan baik akan melihat peristiwa secara utuh dan lebih sulit dimanipulasi serta akan melihat dari berbagai sisi, bukan hanya dari sudut pandang yang sengaja dibatasi. Mengingat sejarah berarti menjaga agar pengalaman dan pengorbanan generasi sebelumnya tidak hilang begitu saja, melainkan merawatnya dengan seksama. Dengan melek akan sejarah, kita mencoba memahami luka, kegagalan dan keberhasilan mereka, sehingga kita dapat belajar dari kesalahan serta menghargai perjuangan dari kaum yang pada awalnya tertindas.
Penulis: Nandana Arieanta Putra Pramono
Editor: Reysa Aura P.
0 Comments